Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Thursday, April 30, 2020

putusan bebas (vrijspraak) VS putusan lepas (onslag van recht vervolging),




saya akan mengutip Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tentang putusan bebas dan putusan lepas, sebagai berikut:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
Menjawab pertanyaan Anda, maka perbedaan antara putusan bebas dan putusan lepas adalah sebagai berikut:
Menurut Lilik Mulyadi dalam bukunya Hukum Acara Pidana, terbitan PT Citra Aditya Bakti (Bandung 2007), pada hal. 152-153, perbedaan antara putusan bebas dan lepas dapat ditinjau dari segi hukum pembuktian, yaitu:
Pada putusan bebas (vrijspraak) tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Dengan kata lain, tidak dipenuhinya ketentuan asas minimum pembuktian (yaitu dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah) dan disertai keyakinan hakim (Vide Pasal 183 KUHAP)
Sedangkan, pada putusan lepas (onslag van recht vervolging), segala tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan jaksa/penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana, karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, misalnya merupakan bidang hukum perdata, hukum adat atau hukum dagang.
Selain berdasarkan pendapat dari Lilik Mulyadi sebagaimana dimaksud di atas, menurut hemat penulis, penjatuhan Putusan Bebas dan Putusan Lepas oleh seorang hakim atas pelaku suatu tindak pidana (yang unsur-unsur pasal yang didakwakan terbukti), dapat dibedakan dengan melihat ada atau tidak adanya alasan penghapus pidana (Strafuitsluitingsgronden), baik yang ada dalam undang-undang, misalnya alasan pembenar (contoh Pasal 50 KUHP) atau alasan pemaaf (contoh Pasal 44 KUHP), maupun yang ada di luar undang-undang (contoh: adanya izin).
Untuk itu, penjawab akan menggunakan contoh penerapan Pasal 310 ayat (3) KUHP sebagai suatu alasan penghapus pidana yang ada dalam undang-undang:

Pasal 310 ayat (3) KUHP
“Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.”
Arti Pasal 310 ayat (3) KUHP tersebut yakni dalam hal terbuktinya suatu perbuatan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh seseorang, namun ia melakukan pencemaran nama baik tersebut karena ia terpaksa untuk membela dirinya, maka hakim harus menjatuhkan putusan lepas (onslag van recht vervolging) dan bukan putusan bebas (vrisjpraak).
Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.
Dasar hukum:
1.   Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 73)

Thursday, April 23, 2020

Mudik vs Pulang Kampung

Repost From Deni Siregar. 



Kata "mudik" dan "pulang kampung" itu kalau secara "arti kata" jelas sama, yaitu sama-sama pulang ke daerah asal.

Tapi dalam masa pandemi ini, istilah itu sengaja dibedakan. Catat ya, selama masa pandemi atau wabah.

Pulang kampung diartikan sebagai seseorang yang bekerja di sebuah kota besar. Dia biasanya pulang ke rumahnya, entah setiap hari, entah setiap bulan atau setahun sekali.

Saya termasuk orang yang sering pulang kampung, karena bekerja di kota A tapi rumah di kota B.

Nah dimasa pandemi ini, karena kota tempat saya bekerja kena PSBB, saya harus pulang kampung untuk waktu lama. Kenapa ? Karena di kota tempat saya bekerja sudah tidak ada kerjaan. Jadi saya pulang ke rumah di kota B dan bekerja di rumah.

Banyak orang yang seperti saya. Mereka pulang, karena di kota tempat mereka bekerja sudah tidak ada kerjaan. Daripada mereka harus tinggal di kota tapi gak punya kerjaan, ya lebih baik mereka pulang kampung.

Kalau mereka tetap diam di kota, tanpa pendapatan dan pengeluaran yang besar, mereka ini bisa menimbulkan masalah besar, yaitu masalah sosial. Itulah kenapa pulang kampung tidak dilarang..

Nah, kalau mudik beda lagi.

Mudik itu tidak punya masalah dengan kerjaan dan ekonomi. Biasanya orang yang kerja di kota A dan rumah di kota yang sama. Dia mudik ke kota B untuk mengunjungi keluarga besarnya, silaturahmi, beramai-ramai.

Ini yang dilarang. Karena mudik dalam masa wabah ini, bukan suatu hal yang sangat penting.

"Lah, kan pulang kampung sama mudik sama-sama punya potensi menyebarkan virus ?"

Memang. Tapi lebih mudah mengkarantina orang yang pulang kampung, karena gada kerjaan di kota. Orang ini biasanya sendirian, karena dia kepala keluarga atau pencari nafkahnya. Mengkarantina satu orang akan lebih mudah dilakukan Pemerintah daerah.

Tapi kalau mudik, biasanya beramai-ramai dalam satu waktu yang sama. Satu keluarga. Dan mereka akan berkumpul dengan keluarga lainnya di satu rumah.

Bayangkan, gimana karantinanya ketika ada beberapa keluarga dari berbagai kota kumpul di satu rumah dalam waktu yang bersamaan ?

Repot, kan ?

Makanya, daripada nanti merepotkan Pemerintah daerah setempat, ya dilarang lebih bagus. Itu logika berfikirnya..

Analogi sederhananya dalam bahasa inggris, pulang kampung itu tunggal, sedangkan mudik itu jamak.

Sekali lagi catat, pembeda antara pulang kampung dan mudik ini hanya saat masa wabah dan tidak berlaku selamanya.

Paham, kan ? Atau pura-pura gak paham supaya punya bahan bullyan ? Hayo, ngaku..

Kalau ngga, gak kukasi kopi loo..
#lawan_covid19

Tuesday, April 21, 2020

BUNG saja, Jangan PADUKA atau YANG MULIA


Mengapa Bung Karno dan teman-teman seperjuangan tidak suka dipanggil Pak, Tuan, atau sederet panggilan yang menunjukkan kebesaran? Jawaban termudah adalah karena mereka memilih bersikap egaliter yang menjunjung tinggi kesetaraan dan persaudaraan.



Penelusuran tentang kisah pemanggilan sebutan "bung" ini diawali ketika Bung Karno datang ke Uni Sovyet dan berpidato di hadapan ratusan ribu rakyat Leningrad. Bung Karno kemudian meminta kepada protokoler agar dipanggil "bung" saja, bukan Paduka Yang Mulia, sebuah sebutan umum bagi presiden di jaman tersebut.

Dahulu, dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikenal varian kelas yang mengkotak-kotakkan diri antar mereka. Varian kelas tersebut jarang sekali membuat kehidupan antar mereka berbaur secara fleksibel. Keberbatasan usia, kelas sosial, interests dan sebagainya, membuat segala bentuk proses keakraban antar penghuni masyarakat Indonesia harus berbatas.

Meski panggilan "bung" telah dipakai sejak dulu dalam beberapa bahasa daerah, tetapi “Bung Karnolah yang mula-mula mempopulerkan nama panggilan dan sebutan "bung" untuk panggilan kepada setiap insan Indonesia yang revolusioner yang bercita-cita melenyapkan imperialisme, kolonialisme dan kapitalisme, bercita-citakan Indonesia merdeka,” tulis Achmad Notosoetardjo dalam "Revolusi Indonesia Berdasarkan Adjaran Bung Karno".

Suatu waktu, Bung Karno menginginkan sebuah poster sederhana namun kuat sebagai propaganda membangkitkan semangat pemuda. Pada poster itu, penyair Chairil Anwar memberinya frasa: “Boeng, Ajo Boeng!” yang ia dapat dari wanita tuna susila di Senen. Lalu poster propaganda itu tersebar kemana-mana.

Menurut Parakitri T. Simbolon dalam "Menjadi Indonesia", Bung Karno memperkenalkan sapaan “bung” sejak terbentuknya Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 17-18 Desember 1927. “Dipanggil ‘Bung’ (panggilan akrab kepada saudara) sesuai anjurannya, Bung Karno berhasil menjadikan semboyan seluruh cita-cita pergerakan, dan kebetulan juga ideologi PNI, yakni ‘merdeka’." (1-Next)

Sc. The Big Bung
---
#soekarno

Monday, April 20, 2020

Pembebasan Narapidana melalui Program Asimilasi


Asimilasi adalah proses pembinaan Narapidana dan Anak yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dan Anak dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya semua Narapidana dapat diberikan asimilasi, kecuali bagi narapidana yang terancam jiwanya atau yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup.

Pengeluaran dan pembebasan tersebut didasarkan pada peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19. Serta Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No.M.HH-19 PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.



Hal tersebut juga tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan No.: PAS-497.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang hal yang sama.
Untuk, Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020, pengeluaran Narapidana dan Anak melalui asimilasi harus dilakukan dengan berbagai ketentuan.
1. Narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020;
2. Anak yang 1/2 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020
3. Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP Nomor 99 Tahun 2012
4. Tidak sedang menjalani subsidair dan bukan warga negara asing (WNA).



Selain itu, asimilasi dilaksanakan di rumah dan surat keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas dan pembimbingan serta pengawasan asimilasi dan integrasi dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan. 
Hasil wawancara dengan salah salah satu wargabinaan yang tidak disebutkan Namanya, mengungkapkan kebahagiaannya  “Saya ucapkan rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada Bapak Presiden Joko Widodo, Bapak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly, Bapak Dirjen Pemasyarakatan, Bapak Kakanwil Kemenkumham DKI Jakarta, Bapak Kadiv Pemasyarakatan dan Bapak Kalapas Narkotika Jakarta atas program asimilasi dan integrasi ini, Dan Kami Tidak Dibebankan atau Dipungut Biaya Apapun".
Menurut saya, program asimilasi adalah bagian dari hak-hak Narapidana atau warga binaan, yakni pengembalian hak kemerdekaan nya yang telah diambil oleh negara. Karena suatu proses panjang peradilan. Dengan cara percobaan pembauran warga binaan dengan masyarakat lingkungan sekitar, tentunya setiap warga binaan yang menjalani program tersebut memiliki syarat serta  kewajiban, yang harus dipenuhi selama sebelum dan sesudah percobaan. Diantaranya sebagai berikut :
Narapidana yang melakukan tindak pidana tersebut dapat diberikan asimilasi selama ia memenuhi persyaratan: berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir; aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana, serta melampirkan dokumen-dokumen persyaratan yang diperlukan.

Secara umum alasan pembebasan tahanan itu ada 3 :
1.Pengeluaran tahanan karena penangguhan penahanan.
2.karena tidak diperlukan lagi penahanan.3.pabila hukuman telah sesuai dengan masa tahanan yang dijalani.

Saran saya untuk para pembaca yang budiman
Pahami dengan cermat dan baik, jangan mudah terpancing, terpolitisasi dari setiap formulasi kebijakan yang dilaksanakan oleh para pembantu presiden. Memang benar ada kebijakan yg populer dan tidak populer, ada yg tepat sasaran, ada juga yang jauh dari arah dan tujuan. 

Semoga kita mendapat pencerahan, dan yang terakhir pesan saya, Sebaiknya Perjuangan anda, jangan berhenti karena membaca artikel ini.


Apriyan Sucipto, SH.MH

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...