Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Thursday, October 17, 2019

PRIBUMI dan NON PRIBUMI (Prof Dr Yusril Ihza Mahendra)




Ahli hukum tata negara Prof Dr Yusril Ichza Mahendra telah mengingatkan agar kita tidak melupakan sejarah atas munculnya istilah "Orang Indonesia Asli" atau Pribumi. Istilah itu muncul dari aturan diskriminatif pemerintah kolonial Hindia Belanda jaman dulu.

"Saya hanya ingin mengingatkan kita semua agar jangan sekali-sekali melupakan sejarah," cuitnya. Persoalan pribumi dan non pribumi kembali mencuat ke permukaan seiring dengan munculnya isi kesenjangan ekonomi belakangan ini.

Menurutnya, dilihat dari sudut sejarah ketatanegaraan, negara RI bukanlah penerus Majapahit, Sriwijaya atau lainnya, melainkan meneruskan "semi negara" Hindia Belanda. Karena itu aturan peralihan UUD 45 (sblm amandemen) mengatakan segala bhw segala badan negara dan peraturan yg ada masih langsung berlaku seblm diadakan yg baru menurut UUD ini.

Yang dimaksud peraturan yg ada dan langsung berlaku itu, lanjutnya. baik dalam konsepsi maupun dalam kenyataan, bukanlah badan negara dan peraturan zaman Majapahit, Sriwijaya atau warisan penguasa militer Jepang, melainkan badan dan peraturan yg diwariskan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Adapun mengenai penduduk Indonesia, peraturan yg ada dan lembaga yg mengurus/menanganinya yg berlaku dan dipahami orang sejak zaman Hindia Belanda adalah peraturan dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk Indonesia (Hindia Belanda) dalam tiga golongan, yakni Golongan Eropa, Golongan Timur Asing (terutama Tionghoa dan Arab) dan Golongan "Inlander" atau pribumi atau "orang Indonesia asli" yang pada umumnya beragama Islam dan sebagian menganut agama Hindu, Buddha dan lainnya.

'MOrang Inlander atau pribumi yang beragama Kristen status mereka sama dengan golongan Eropa," tuturnya.

Dalam hal kelahiran dan perkawinan, golongan Eropa dan Inlander (Pribumi) Kristen mereka tunduk pada Hukum Eropa (Burgerlijk Wetboek) dan lembaga yg mengurusinya adalah Burgerlijk Stand (Catatan Sipil). Orang Tionghoa Kristen juga sama.

Sementara bagi Inlander Muslim atau Hindu/Buddha tunduk pada hukum adat masing2 dan tidak ada lembaga negara jajahan Hindia Belanda yg mengurusinya.

''Status sosial, ekonomi dan hukum bagi ketiga golongan ini berbeda. Tiga golongan ini dapat dikatakan seperti urutan dari atas ke bawah. Tempat tinggal mereka dimana-mana juga beda," tambahnya.

Kalau di Jakarta Golongan Eropah tinggal di Weltevreden (sekitar lap. banteng), Mester Cornelis (Jatinegara, Polonia), Sementara Gol Timur Asing Tionghoa mendominasi daerah Pecinan Glodok. Sedangkan Inlander ya tinggal di pinggiran, Krukut, Klender, Condet, Cengkareng dsb.

Ekonomi ketiga golongan ini jelas, Golongan Eropa paling makmur, Golongan Timur Asing lumayan kaya. Golongan Inlander atau pribumi adalah yg paling miskin di antara semua.

Maka tak heran, jika golongan Inlander inilah yg ngotot ingin merdeka karena ketidakadilan dan diskriminasi yg mereka alami di zaman penjajahan.

Dengan latar belakang sejarah ketatanegaraan itu, kita dapat memahami maksud kata-kata dalam draf UUD 45 yang pasal 6 ayat (1) mengatakan "Presiden Indonesia adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam". Kata "beragama Islam" dihapuskan pada tanggal 18 Agustus 45.

Jadi syarat jadi Presiden adalah "orang Indonesia asli" yakni "Inlander" atau pribumi dengan merujuk kepada Ps 163 IS, jadi bukan orang dari Gol Eropa dan bukan pula dari Gol Timur Asing.

Demikian pula pasal-pasal mengenai kewarganegaraan dalam draf pasal 26 yg mengatakan bahwa yang menjadi warganegara Indonesia adalah orang Indonesia asli dan orang2 dari bangsa lain yang disahkan oleh UU menjadi warganegara.

Tuesday, October 15, 2019

BUDAYA JAWA DILARANG HIDUP DI TANAH JUJUR!)

Teman ku berpendapat  : BUDAYA JAWA DILARANG HIDUP DI TANAH JUJUR!) kenapa  bisa demikian ;

Pertama :
Wanita dikerudungin kemudian dicadarin.

Artinya apa? Sanggul dan kebaya perlahan tapi pasti akan hilang dari tanah Jawa. Hampir semua wanita Jawa yg sudah kerudungan tak akan mau atau tak "enak hati" saat disuruh pakai sanggul.

Kedua :
Musik dan Nyanyi dilarang.

Walau saling bertentangan tapi ada gerakan mengharamkan musik dan pelarangan wanita menyanyi. Apa akibatnya? Gamelan, Campursari, tayub, ludruk, kethoprak, wayang akan tinggal cerita.

Ketiga :
Adat istiadat dan tradisi dilarang.

Akhir-akhir ini banyak yg berceramah tentang pelarangan selamatan, bersih desa, sedekah bumi, larung sesaji dll. Suka tidak suka akan terus menggerogoti pada keberadaan kebudayaan Jawa.

Keempat :
Pelarangan kata-kata yg berbau tradisional.

Yg terbaru adanya pelarangan penyebutan pada ibu Pertiwi, Sri, Wisnu dan lain sebagainya.

Kelima :
Lemahnya kebanggaan orang Jawa pada budayanya sehingga terkesan cuek saat ada pihak lain yg ingin merusaknya.

Kalau yg ini erat kaitannya dengan orang tua dan pemerintahan terutama dinas pendidikan yg lebih condong pada budaya Arab.

Walaupun budaya Jawa saat ini masih eksis, lambat laun akan semakin tergerus oleh gerakan mereka yg sekarang sudah semakin terang-terangan.

Mau lanjut penjajahan ini atau tidak?
Kita yg cinta budaya Jawa yg menentukan.


#JujurKadangPahit.
#jowo_ojo_kalah.

Sunday, October 13, 2019

Empat Aturan Fundamental dari Perdagangan Sukses


Memilih strategi perdagangan yang tepat hanyalah setengah dari pertarungan. Untuk mendapatkan manfaat terbesar dengan risiko minimal, Anda memerlukan keterampilan Manajemen Uang.


Manajemen uang adalah pondasi di mana penghasilan Anda akan dibangun. Berikut adalah dasar-dasar yang akan membantu Anda mengunakan dana Anda dalam perdagangan dengan benar.


Risikokan tidak lebih dari 3%

Tidak peduli betapa pun terbuktinya srategi perdagangan Anda, jangan risikokan lebih dari yang dibutuhkan. Jika harga tidak bergerak ke arah yang Anda inginkan, nominal perdagangan yang terinflasi akan mengarah pada kerugian. Ketika biaya untuk satu perdagangan tidak melebihi 3% dari saldo akun, mudah bagi Anda untuk mengatasi waktu yang tidak menguntungkan dan menutup kerugian.



Batasi potensi kerugian Anda per harinya

Ini akan membantu mengurangi kerugian. Batasi potensi kerugian setiap harinya. Strategi itu akan sesuai secara berbeda pada hari tertentu dan waktu-waktu tertentu. Jika pergerakan harga berubah dan Anda menjadi negatif, sebaiknya Anda berhenti dan menunda perdagangan hingga hari berikutnya. Kerugian harian tidak boleh lebih dari 15% dari total saldo akun Anda.



Jangan emosional

Pemula seringkali masuk dalam jebakan ini. Bertindaklah tenang dan percaya diri. Ikuti strategi perdagangan Anda, bahkan meskipun prediksi Anda tidak benar. Dan yang paling penting: jika Anda merasakan emosi yang kuat, apakah itu positif atau negatif, istirahat sekitar 15 menit.



Tingkatkan volume perdagangan yang sesuai dengan pertumbuhan saldo akun Anda

Jika Anda menggunakan strategi yang efektif dan mengelola modal Anda dengan benar, ukuran saldo Anda akan naik. Selaras pertumbuhan itu, Anda juga dapat meningkatkan jumlah dana yang Anda gunakan untuk perdagangan. Selanjutnya, modal Anda akan semakin meningkat. Lakukan secara bertahap dan jangan lupa tentang tiga aturan pertama di atas!

Melupakan Hukum, Memedulikan Hati Nurani

Prof, Dr, Satjipto Rahardjo, SH,
(Ditulis untuk Kompas, 17 Oktober 2003)

Judul artikel ini tidak dimaksud untuk bersifat sarkastis, apalagi fatalistik, tetapi hanya ingin mengajak pembaca menjelajahi dimensi lain dalam usaha pemulihan hukum kita dari keterpurukan dan dari situ mencoba menyusun agenda alternatif bagi pemulihan hukum.

Semakin terasakan, krisis yang kita alami bukan krisis “biasa”, bukan di permukaan yang nanti akan lewat dengan sendirinya. Ia tidak bersifat teknis dan sektoral, tetapi sudah mendasar, mendalam, dan meluas sekali. Krisis juga melanda hukum dan sejak ia bersifat mendalam dan mendasar, maka usaha pemulihannya pun tidak bisa hanya ditujukan kepada struktur formal hukum Indonesia itu sendiri, seperti perundang-undangan, legislasi, peradilan, birokrasi, dan penegakan hukum.

Krisis itu sudah begitu mendasar sehingga untuk memulihkannya kita perlu menyentuh aspek-aspek lain dari masyarakat yang tidak langsung berhubungan dengan dunia hukum. Maka kita pun bicara tentang usaha pemulihan hukum tanpa lewat jalan hukum dan tanpa bicara mengenai hukum.

Suatu pertanyaan kritis

Kendati dikatakan sistem hukum Indonesia termasuk salah satu terburuk di dunia, tetapi dalam kehidupan sehari-hari hukum masih menjalankan fungsinya yang esensial, yaitu mengatur masyarakat. Polisi masih menjalankan tugasnya, begitu pula para legislator, hakim, advokat, dan lain-lain. Orang tidak merampok begitu saja untuk mendapatkan barang dan perampokan masih tetap diterima sebagai kejahatan yang harus dilawan. Jual-beli juga masih mengindahkan aturan hukum dan orang tidak boleh menyerobot begitu saja. Dan seterusnya dan sebagainya.

Dari kenyataan itu kita belajar, hukum tidak (bekerja) otonom penuh. Ini memunculkan pertanyaan kritis “apakah masyarakat masih berjalan teratur semata karena prestasi hukum?”, “apakah ada kekuatan lain yang bekerja di situ?”

Menemukan substansi

Dalam harian ini pernah ditulis peran perilaku dalam hukum (Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri, Kompas, 23/9/2002). Jawaban terhadap pertanyaan kritis itu kemungkinan besar dapat ditemukan dalam perilaku itu. Perilaku substansial itulah yang menyebabkan hukum di Indonesia masih berjalan kendati dikatakan terpuruk, buruk, dan lain-lain. Secara substansial orang tetap menginginkan ketertiban. Itulah penjelasan mengapa hukum tetap dipakai dan dijalankan. Perilaku substansial itu sebetulnya tidak langsung berhubungan dengan kepatuhan hukum. Ia berdiri sendiri.

Lagi-lagi di sini Jepang ingin dijadikan rujukan guna memastikan peran dari perilaku dalam hukum. Bangsa Jepang adalah bangsa yang amat berdisiplin. Meski perilaku generasi Jepang masa kini mengalami perubahan, tetapi tetap saja perilaku disiplin menjadi tetenger (landmark) negeri ini. Kita tidak bisa membuat penilaian mengenai kualitas penyelenggaraan hukum di Jepang dengan mengabaikan peran substansial dari perilaku disiplin itu. Jepang menjadi tertib dan teratur, bukan pertama-tama karena hukum, polisi, dan lain kelengkapan suatu negara hukum, tetapi karena perilaku yang substansial itu.

Lebih luas dari disiplin, Jepang mengunggulkan spiritualisme (Zen, Konfusianisme, dan tradisi Samurai). Dalam hubungan itu Jepang amat memedulikan faktor hati nurani (kokoro, honne). Dalam bahasa Jepang dikenal ungkapan “Anata no kokoro, anata no utsukushisa” (hatimu, kecantikanmu). Besarnya kepedulian Jepang terhadap jiwa dan kejiwaan manusia inilah yang diduga menghasilkan suasana keteraturan yang substansial. Dari pemuliaan terhadap jiwa, nurani, dan hati itu, bangsa Jepang tidak terjebak ke dalam formalisme (baca: hukum). Secara singkat, bangsa Jepang lebih mengunggulkan dan mendengarkan kata hati nuraninya. Maka muncullah pepatah “Denwa o kakeru… kokoro o kakeru” (Putarlah nomor telepon dan putarlah hatimu).

Berkait dengan hal-hal itu maka bangsa Jepang amat memisahkan antara tatemae (yang di luar, hukum positif) dan mengutamakan honne (yang di dalam, hati nurani, spiritisme). Seorang pejabat publik yang terkena perkara biasanya segera mengundurkan diri dari jabatannya, sekaligus proses hukumnya (diselidiki, disidik) baru dimulai. Sanksi moral ternyata bekerja dengan amat efektif. Bangsa Jepang tidak membaca hukum sebagai kaidah perundang-undangan (tatemae), tetapi lebih daripada itu sebagai kaidah moral (honne).

Melupakan hukum

Pada awal artikel dikatakan, krisis hukum kita bukan semata-mata krisis teknis, struktur, atau peraturan, tetapi lebih mendalam dan mendasar dari itu. Karena itu pemulihan dan “pengobatannya pun” harus melewati jalan lebih mendasar atau substansial, yaitu perilaku.

Pada saat kemudian diajukan pertanyaan kritis tentang masih adanya ketertiban sehari-hari, kita mengemukakan, apakah itu disebabkan prestasi hukum? Atau oleh bekerjanya faktor lain? Hal itu kini akan dijawab, perilaku substansilah penyebab ketertiban tetap terjaga. Masyarakat banyak mengeluh dan mengumpat tentang hukum, komunitas internasional pun berkata tentang buruknya sistem hukum Indonesia, tetapi secara garis besar hukum masih dicari orang. Maka kesimpulannya, masyarakat membutuhkan hukum karena tidak ingin terjadi ketidaktertiban lebih besar. Dengan demikian urusan hukum sudah bergeser ke pilihan perilaku.

Kendati hukum masih berjalan, tetapi kita mencatat, yang lebih banyak terjadi adalah orang-orang yang “bermain dengan peraturan dan prosedur”, bukan menjalankan hukum untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan. Keadaan diperparah korupsi dalam hukum dan hukum sudah dijadikan barang dagangan.

Seorang tokoh publik pernah mengatakan, hukum harus dipisahkan dari moral. Bila kita bicara mengenai hukum, maka hanya hukum yang boleh dibicarakan. Soal moral harus dibuang jauh. (Himaya Saputra, SH.) Inilah pukulan mematikan. Inilah awal bencana bagi negara hukum Indonesia.

Sebuah agenda alternatif

Berdasar pengamatan dan analisis itu, di sini ingin diajukan saran tentang agenda pemulihan hukum yang bersifat alternatif. Untuk memberi basis yang lebih kuat terhadap agenda alternatif, maka di sini ingin diusulkan agar negara hukum kita menggunakan paradigma ganda. Artinya, negara hukum kita tidak hanya menggunakan “paradigma peraturan”, tetapi juga “paradigma moral”.

Biasanya bila kita berbicara tentang hukum, pemulihan hukum, dan sebagainya, titik api perhatian adalah pada hukum. Dengan kata lain, pemulihan dilakukan melalui hukum.

Dalam agenda alternatif ini kita tidak melakukan cara itu. Pintu masuk (entry point) kita, perilaku substansial bangsa Indonesia. Meminjam kosakata Jepang, kita mengusahakan peningkatan kualitas spiritualitas bangsa kita. Kredo kita bukan lagi membangun hukum, tetapi membangun spiritualisme bangsa. Moral yang diunggulkan di sini antara lain kejujuran, pengendalian diri, menjaga harkat sebagai manusia, rasa malu, mengurangi keakuan (selfishness), dan lebih memberi perhatian terhadap orang lain.

Tulisan ini menaruh harapan besar terhadap kekuatan-kekuatan (dalam) masyarakat yang sudah mulai menggeliat dengan mengorganisir berbagai gerakan. Meski gerakan itu tidak khusus berbicara tentang hukum dan lebih menjamah ranah moral dan spiritualisme, namun secara diam-diam sumbangan mereka terhadap pemulihan hukum sungguh besar.

Gerakan itu yaitu “Gerakan Jalan Lurus”, “Skenario Indonesia 2010″, “Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa”, “Skenario Indonesia Bangkit”, “Gerakan Moral Tokoh Agama”, dan masih banyak lagi (Kompas, 11/8). Selain itu, tak dapat diabaikan peran LSM-LSM yang aktif mengawal kehidupan bangsa. Mudah-mudahan para tokoh dalam berbagai gerakan dan LSM itu sempat membaca dan merenungkan usulan agenda ini


Friday, October 11, 2019

Cerita Soal Daging Sapi

Produksi daging sapi lokal diprediksi belum mampu memenuhi total kebutuhan dalam negeri.   Data Kementerian Pertanian, menyebutkan total produksi daging sapi nasional sepanjang 2019 diperkirakan mencapai sekitar 403.668 ton dengan total  kebutuhan mencapai 663.290 ton. Sehingga pemenuhan kebutuhan daging sapi masyarakat baru 70,9% yang mampu dipenuhi dari peternak sapi lokal.
Dengan proyeksi angka tersebut, pemerintah akan mengambil langkah guna memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri dan mendukung capaian swasembada daging salah satunya dengan percepatan peningkatan populasi sapi atau kerbau.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita mengatakan guna mendorong optimalisasi produksi sapi salah satu upaya yang akan ditempuh pemerintah ialah dengan meningkatkan pembiayaan di subsektor peternakan khususnya sapi. Alokasi anggaran untuk peternakan sapi akan diperbesar dan difokuskan kepada Upsus SIWB (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting).

“Dengan program yang dijalankan pemerintah, produktivitas sapi lokal diharapkan bisa meningkat,” kata Ketut dalam keterangan resmi, pekan lalu.

Selain itu, untuk strategi pengembangan sapi potong akan lebih diarahkan pada struktur hulu yaitu ke arah pembibitan dan pengembangbiakan. Pasalnya, industri sapi dan daging sapi saat ini cenderung berkembang ke arah hilir, terutama untuk bisnis penggemukan dan impor daging.

Karenanya, swasambeda akan mengubah pola pikir peternak, dari yang semula memiliki cara beternak sambilan, menuju perilaku usaha serius dan menguntungkan. Dengan begitu, harapannya Indonesia bisa merealisasikan tujuannya sebagai lumbung pangan Asia pada 2045.


Sedangkan untuk mewujudkan percepatan swasembada daging, Ketut menjelaskan pihaknya juga melakukan pengembangan sapi ras baru, yaitu Belgian Blue, yang disupervisi oleh komisi ahli dan akademisi serta praktisi di bidang perbibitan. Kementan bahkan telah meneken MoU dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk program percepatan pengembangan tersebut.

Dengan program baru tersebut, pihaknya berharap pada 2020 bakal lahir sebanyak 1.000 ekor sapi Belgian Blue, dengan target kelahiran tahun ini sebanyak 500 ekor dan tahun depan menyusul sisanya sebanyak 500 ekor. Meski jumlahnya relatif sedikit, namun hal tersebut dinilai bisa menjadi alternatif penambahan sumber bibit sapi potong.

“Kami harapkan semua pihak dapat memiliki presepsi dan pandangan yang sama terkait kebijakan pemerintah tersebut, tentunya dengan tetap mengkedepankan kepentingan nasional,” jelasnya.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), penyediaan sapi potong dan daging sapi dalam negeri saat ini sekitar 98% masih berasal dari peternakan rakyat dengan jumlah pekerja hingga 4,2 juta rumah tangga peternak. Karenanya, sektor peternakan bisa menjadi lokomotif pembangunan pertanian jika diorganisasi dan dikonsolidasi dengan baik.



Apriyan.

Arloji Tua





Warisan dari kakek buyutmu, usianya lebih dari 200 tahun". "Sebelum Ayah wariskan kepadamu, Ayah mau kamu bawa Arloji tua ini ke toko jam seberang jalan itu.
Katakan kepada pemilik toko bahwa kamu mau menjualnya.
Tanya berapa harganya"

Sang anak pergi dan tidak lama kemudian kembali lalu berkata :
"Pemilik toko jam itu bilang bahwa harganya cuma 5 dollar, karena ini adalah Arloji tua"

Kemudian si Ayah berkata :
"Sekarang coba kamu bawa Arloji ini ke toko barang-barang antik dan tanyakan harganya"

Si anak pergi lalu kembali dan berkata :
"Pemilik toko bilang, harga arloji ini mencapai 5000 dollar"

Sang Ayah berkata :
"Sekarang coba bawa ke museum dan katakan ke mereka bahwa kamu menjual Arloji tua ini"

Si anak pun pergi lalu kembali dan berkata :
"Mereka mendatangkan pakar Arloji untuk memperkirakan harganya, lalu mereka menawarkan 1 juta dollar untuk Arloji ini !!" Si Ayah berkata :
"Nak, aku sedang mengajarkanmu bahwa kamu hanya akan dihargai dengan benar ketika kamu berada di lingkungan yang tepat.

Oleh karena itu, jangan pernah kamu tinggal di tempat yang salah lalu marah karena tidak ada yang menghargaimu"

Karena mereka yang mengetahui nilai kamu akan selalu menghargaimu.

Maka jangan pernah bergaul ditempat tidak layak untukmu.

Pelajari Dan Ketahui nilai Anda.

Monday, October 7, 2019

Lelaki Penentang Badai (alm.Taufik Kiemas)


Related image

 Menunjuk 31 Desember  di penghujung tahun 1942, di sebuah rumah sederhana di Gang Abu  -sekarang masuk kawasan sekitar Harmoni Jakarta- lahir anak pertama pasangan Tjik Agus Kiemas dan Hamzatun Rusjda. Sang putra itu diberi nama Taufiq Kiemas.

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan di  awal masa pendudukan Jepang itu keadaan serba susah. Tjik Agus Kiemas yang saat itu bekerja di Persatuan Warung Kebangsaan Indonesia (Perwabi)-- organisasi yang berafiliasi dengan Partai Masjumi-- harus bekerja membanting tulang demi menghidupi keluarganya. Sedangkan Hamzatun, yang pernah mengenyam pendidikan bidan, fokus mengurus kebutuhan Taufiq dan adik-adiknya yang lahir kemudian.

Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Tjik Agus Kiemas -- yang sudah perwira TNI hasil lulusan pendidikan perwira PETA di Bogor-- memboyong keluarganya di Yogyakarta. Mereka mengikuti para pejabat pemerintah yang memutuskan memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta.

Baru setelah penyerahan kedaulatan, Taufiq dan keluarganya kembali ke Jakarta. Ketika ayahnya ditugaskan sebagai pejabat di Djawatan Perdagangan di Makassar, Taufiq tidak ikut serta. "Oleh ayahnya, yang simpatisan militan Masjumi, ia justru dimasukkan ke SMP Katolik Mardiyuana di Sukabumi," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin (31/12/2018).

Setamat SMP, kata Basarah,    Taufiq bergabung kembali dengan keluarganya yang sudah bermukim di Palembang, kampung halaman sang ayah. Saat remaja di Palembang, Taufiq tumbuh menjadi seorang Soekarnois yang militan. Militansi itu berawal dari kekaguman saat ia mendengar pidato Bung Karno di radio. Seakan  ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mengetahui lebih jauh sosok dan pemikiran Bung Karno.

Berbagai hal pun dilakukan Taufiq untuk memuaskan rasa ingin tahunya tersebut. Mulai dari meminjam buku-buku karya Bung Karno atau yang membicarakan pemikiran sang proklamator. Dia  terus berupaya agar selalu bisa menyimak pidato Bung Karno di radio.  Dari seorang remaja yang semula hobby hura-hura dengan geng Don Quixote, pelahan tapi pasti, Taufiq bertransformasi menjadi seorang aktivitis mahasiswa.

Tak lama setelah ia masuk Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Taufiq memutuskan bergabung dengan GMNI. Meski untuk itu, ia harus bertengkar hebat dengan ayahnya, yang ingin anak sulungnya itu berkecimpung di organisasi mahasiswa Islam.  Karena militansinya dan kepandaiannya bergaul, dalam waktu singkat Taufiq dipercaya menjadi Ketua GMNI Palembang. Pergaulan politiknya pun tidak lagi sebatas anak-anak GMNI, juga dengan tokoh-tokoh politik di Palembang. Bahkan dengan sejumlah tokoh muda nasional, seperti Guntur Soekarnoputra.

Peristiwa Gestok 1965, membalikkan suasana. Kekuasaan Bung Karno surut. Para Soekarnois sejati, termasuk Taufiq, harus mendekam di penjara rezim Orde Baru. Dua kali ia dipenjara: di Markas CPM Palembang dan RTM Budi Utomo Jakarta.    Tapi, penjara tidak membuat Taufiq patah semangat, justru memberikan pelajaran berharga baginya. Pelajaran dari penjara itu terus diingat oleh Taufiq. Bukan sekadar menjadi pengetahuan penghias kepala belaka, tapi juga ia praktikkan dalam kehidupan kesehariannya.

"Seiring perjalanan politiknya, romansa asmaranya dengan Megawati Soekarnoputri pun tumbuh. Saat mendekam di penjara di Palembang, angan-angan atau firasat Taufiq untuk menyunting Megawati Soekarnoputri sudah bersemi," ujarnya.

Firasat itu rupanya membekas di garis tangan.  Di awal tahun 1971, setelah Megawati menjanda karena suaminya, Letnan (Penerbang) Surindro Suprijarso  wafat akibat kecelakaan pesawat di sekitar Pulau Biak, ia diperkenalkan dengan Taufiq oleh Guntur Soekarnoputra. Perkenalan itu berlanjut menjadi jalinan asmara, hingga akhirnya pasangan ini menikah Maret 1973.

Sambil mengarungi biduk rumah tangga-- pasangan ini memiliki tiga anak. Yakni Muhammad  Rizki Pratama, Muhammad Prananda Prabowo,  dan Puan Maharani. Taufiq dan Megawati kemudian terjun ke dunia politik. Mereka berkiprah di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Di masa-masa kritis, terutama setelah KLB PDI di Surabaya akhir tahun 1993 dimana Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI, Taufiq terus mendampingi sang istri. Ia lebih banyak bergerak di belakang layar.

Di masa reformasi, Taufiq merupakan motor utama pendirian PDI Perjuangan. Ia pula yang berperan besar mengantarkan Megawati Soekarnoputri menjadi Wakil Presiden RI, dan kemudian Presiden RI. Puncak karir politik Taufiq Kiemas sendiri adalah saat terpilih secara aklamasi sebagai Ketua MPR RI di tahun 2009. Ditengah masa kepemimpinannya, 8  Juni 2013, beliau berpulang ke haribaan Allah SWT.  Kini, Taufiq Kiemas, lelaki yang menentang badai itu, sudah lima tahun lebih wafat.

Pojok MPR/Https://Hukum.online

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...