Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Monday, October 7, 2019

Mengapa Sampai Bersumpah Demi Waktu ?


 Image result for demi waktu
Sumpah palapa yang diucapkan Mahapatih Gajah Mada tercantum dalam catatan sejarah. Dan sang maha patih, memegang teguh sumpah itu hingga dia bisa menunaikannya. Orang-orang yang konsekuen tidak sembarangan mengumbar sumpah. Sebab, mereka tahu bahwa sumpah itu pantang dilanggar. Dan jika seseorang bersumpah, biasanya kita menjadikan sumpah itu sebagai pegangan bagi sebuah kepercayaan. Bagaimana seandainya yang bersumpah itu adalah Tuhan? Guru mengaji saya disurau dulu menyampaikan sebuah petikan dari kitab suci yang menyatakan bahwa Tuhan bersumpah demi waktu. Lho, mengapa kok Tuhan bersumpah demi waktu?

Dalam sebuah penerbangan international, kami berhenti untuk transit selama dua jam disebuah bandara. Para penumpang memanfaatkan waktu 2 jam itu untuk urusan masing-masing. Ada yang mampir ke toko buku. Ada yang mejeng di cafe. Dan, tentu saja ada yang belanja belanji. Satu jam lima puluh lima menit kemudian seluruh penumpang sudah kembali berada di pesawat untuk meneruskan perjalanan. Setidaknya begitulah yang dipikirkan orang-orang. Namun, tidak demikian halnya dengan data yang ada dalam catatan awak kabin. Sehingga pilot mengumkan bahwa pintu pesawat belum bisa ditutup karena masih menunggu 2 orang penumpang yang belum kembali.

Para penumpang lain tidak terlampau peduli dengan pengumuman itu karena toh masih ada waktu 5 menit untuk terbang. Namun, ketika lima menit kemudian penumpang yang ditunggu itu belum juga kembali, mulai ada yang menggerutu. Sepuluh menit sesudah itu; mereka tidak kunjung muncul juga. Sudah ada yang mulai marah. Dan sekitar lima belas menit kemudian dari arah depan terdengar suara berisik. Oh, rupanya penumpang yang ditunggu-tunggu itu sudah masuk kedalam pesawat. Kedua tangan mereka menggenggan beragam barang belanjaan. Dan, ketika mereka melintasi gang menuju ketempat duduknya mereka berkata sambil cengar-cengir; "Walaaah pada nungguin..., sory sory ya...hihihi. ...." mendengar cekikikannya, orang tahu bahwa mereka sama sekali tidak menyesal. Dalam hati saya berbisik; "duh, ternyata mereka orang Indonesia... ...."

Dari jaket seragam yang dikenakannya, kita bisa tahu bahwa mereka berangkat dalam rombongan. Dan ketika mereka sampai ke kursi bersama rombongannya, temannya menegur;"kemana aja sih elo? Penumpang laen udah pada kesel tuch...."

Salah satu orang yang telat itu menjawab;"tapi kita ditunguin kaaaann....hihihi. ...." Hati saya kembali menjerit. Ingin rasanya telinga ini mendengar penumpang berkebangsaan lain berkata;"Tenang saja mas, kami semua tidak mengerti apa yang bangsa anda katakan..... "

Diruang meeting sebuah kantor di Jakarta; seorang penyelenggara rapat duduk menunggu. Lalu muncul seorang direktur. "Lho, yang lain pada kemanan nih?"
"Masih belum pada datang Pak," jawabnya.
"Wah, kalau begitu saya balik ke ruangan dulu. Kalau yang lain sudah datang, kasih tahu saya." Lalu beliau keluar dari ruang meeting.

Setelah itu, direktur lain datang. Mengajukan pertanyaan yang sama. Lalu pergi lagi. Direktur lainnya lagi datang. Bertanya lagi. Dan pergi lagi. Akhirnya, penanggung jawab rapat yang terbilang paling yunior itu hanya bisa mengurut dada.

Pada kesempatan lain, ada rapat sebuah lembaga pelayanan masyarakat. Para tokoh diundang untuk hadir membicarakan kepentingan masyarakat. Diundangan tertera rapat dimulai jam 19.30 WIB. Anehnya, tepat pada jam itu ditempat rapat baru ada 2 orang manusia aneh. Walhasil, rapat dimulai jam sembilan malam. Dan diisi perdebatan seru hingga larut malam.

Dua minggu kemudian, rapat lanjutan dilakukan. Seperti biasa, diundangan ditulis rapat dimulai jam 19.30 WIB. Kali ini, prestasi dicapai dengan lebih baik, karena rapat sudah berhasil dimulai pada jam 20.30 WIB. Lalu, salah seorang peserta rapat yang sok sibuk, dan pura-pura menghargai waktu angkat bicara. "Bapak pimpinan rapat," katanya. "Saya sangat menghargai rapat ini..." katanya. Seluruh mata memandang tajam kearahnya. "Karena," orang itu melanjutkan. "Rapat kali ini lebih baik dari rapat sebelumnya. Jika rapat sebelumnya kita molor satu setengah jam dari jadwal, namun rapat kali ini hanya molor satu jam saja." Semua orang memelototinya seperti melihat alien yang baru mendarat di kebun jagung orang.

"Saya berharap semoga rapat mendatang bisa terlambat setengah jam. Dan rapat-rapat selanjutnya, bisa terlambat enol menit......" Sang alien mengakhiri pidatonya. Setelah itu, terdengar tertawaan nyaris seperti di panggung pentas srimulat. Setelah argumen ini dan itu keluar, sang Alien akhirnya menyadari bahwa kata-katanya tidak bisa mengubah keadaan.

Ketiga peristiwa yang saya ceritakan itu adalah kisah-kisah nyata yang sungguh-sungguh terjadi didunia ini. Hanya saja, saya sedikit menyamarkannya supaya tidak menyinggung kepentingan siapapun. Tapi, jika saya mengingat peristiwa-peristiwa itu; saya jadi mulai lebih mengerti; mengapa Tuhan bersumpah atas nama waktu. Mungkin saja kita tidak akan mengerti sepenuhnya mengapa Tuhan melakukan itu. Tapi, setidaknya itu menunjukkan bahwa :

Tuhan pun sangat prihatin dengan bagaiman cara kita menghargai waktu. Dan menghargai orang-orang yang menghargai waktu. 


PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT BANGSA INDONESIA



Kelompok generasi pertama sarjana hukum orang Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang memiliki keahlian di bidang hukum yang terdidik secara akademik, mempelajari hukum di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta yang dibentuk pada tahun 1924 oleh Pemerintah Hindia-Belanda, dan di Universitas Leiden. Para gurubesar yang mengajar pun adalah orang-orang Belanda. Kurikulum dan sistem pengajarannya dan obyek yang diajarkannya (hukum dan Ilmu Hukum) adalah juga sama dengan yang dijalankan di Belanda. Jadi, hukum, Ilmu Hukum dan cara berpikir yuridik yang diajarkan dan yang dipelajari, baik yang di Jakarta maupun yang di Belanda (Leiden), adalah hukum dan Ilmu Hukum serta cara berpikir yuridik Belanda (civil law). Dan, Ilmu Hukum, hukum dan cara berpikir hukum itulah juga yang kemudian diajarkan kepada generasi-generasi berikutnya. Pada masa kini, juga cara berpikir yuridik Amerika (common law), varian lain dari cara berpikir Barat, mulai mempengaruhi cara berpikir para ahli hukum orang Indonesia. Jadi, para ahli hukum Indonesia itu terbentuk melalui sistem pendidikan Barat, dan dengan demikian cara berpikir yang tertanam ke dalam para ahli hukum itu adalah cara berpikir Barat. Secara lebih umum, dapat dikatakan bahwa kelompok orang-orang terdidik Indonesia terbentuk melalui sistem pendidikan Barat dan ilmu yang diajarkan pun berasal dari Barat. Dengan demikian, untuk membangun masa depan bangsa Indonesia pada masa kini kita harus melakukannya dengan menggunakan ilmu yang memang kita terima dari Barat dan sudah diteruskan dari generasi pertama orang Indonesia terdidik sampai ke generasi sekarang.

Namun, upaya membangun hari esok bangsa kita itu harus dilakukan ketika kita sedang mengalami krisis yang sangat dahsyat, krisis moral yang berintikan krisis identitas atau krisis harga diri (orang tidak mampu menghormati dirinya sendiri sesuai dengan statusnya). Ini berarti, bahwa upaya untuk merancang masa depan itu harus dilakukan dengan menemukan terlebih dahulu apa landasan pikiran yang akan dijadikan titik tolaknya. Kita perlu menentukan terlebih dahulu apa pandangan hidup dan cara berpikir yang mau kita gunakan untuk merumuskan rancangan pembangunan masa depan kita. Berkenaan dengan hal ini, tepatlah apa yang disarankan oleh Sunaryati-Hartono dalam Oratio Dies Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Tahun 2008, untuk ”tetap setia pada nilai-nilai Pancasila yang ... harus kita jiwai dan terapkan sebagai volksgeist Indonesia.” (2008: 10)   

Soediman Kartohadiprodjo bersama-sama dengan Notonagoro termasuk ke dalam sedikit orang di antara sarjana-sarjana hukum Indonesia generasi pertama yang memberikan perhatian khusus terhadap Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. Dari para gurubesarnya yang orang Belanda, beliau memperoleh pelajaran bahwa hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia bermasyarakat bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Namun beliau melihat keanehan dalam sistem hukum dari bangsa Belanda yang diajarkan kepada beliau, yaitu bahwa sistem hukum Belanda memberikan tempat pada kolonialisme, padahal jelas bahwa kolonialisme itu secara diametral bertentangan dengan rasa keadilan. Sebagai warga dari suatu bangsa yang selama ratusan tahun dijajah, beliau sangat merasakan ketidak-adilan itu.
  1. Upaya untuk memperoleh pemahaman terhadap hal yang dirasakannya ganjil itu dikemukakan oleh Soediman Kartohadirpodjo dalam Oratio Dies Natalis Universitas Katolik Parahyangan pada tanggal 17 Januari 1962 yang berjudul ”PENGLIHATAN MANUSIA TENTANG TEMPAT INDIVIDU DALAM PERGAULAN HIDUP (Suatu Masalah).” (jadi, 47 yahun yang lalu). Setelah itu beliau mengembangkan lebih lanjut pemikirannya tentang hubungan antara Pancasila dan hukum dalam berbagai artikel dan makalah, yang pada tahun 1965 dipublikasi dalam buku berjudul ”KUMPULAN KARANGAN”, diterbitkan oleh P.T. Pembangunan, Jakarta. Dalam oratio dies itu, Soediman Kartohadiprodjo mengemukakan bahwa dalam setiap ketentuan dalam bidang hukum terdapat unsur keadilan. Bagi beliau, hukum itu bertujuan untuk mewujudkan masyarakat manusia yang tertib berkeadilan. Unsur keadilan yang menjadi unsur esensial dalam hukum itu adalah suatu penilaian yang dilakukan oleh manusia tentang perilaku manusia dalam hubungan dengan sesama manusia dalam suatu pergaulan hidup. Jadi, yang melakukan penilaian itu adalah manusia. Yang dinilai adalah perilaku manusia. Perilaku manusia yang dinilai itu adalah perilaku yang berlangsung atau yang terjadi dalam pergaulan hidup manusia, di dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan antar-manusia. Karena itu, Soediman Kartohadiprodjo sampai pada keyakinan bahwa penilaian tentang perilaku manusia itu dalam intinya akan tergantung pada pandangan atau filsafat hidup manusia yang memunculkan penilaian itu, yakni pada penglihatan manusia yang melakukan penilaian dan manusia yang perilakunya dinilai tentang tempat manusia individual di dalam pergaulan hidup. Dengan keyakinan itu, Soediman Kartohadiprodjo mulai memfokuskan penelusurannya pada substansi pandangan hidup yang dianut yang tercermin ke dalam sistem hukum yang ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersangkutan. Jadi, sistem hukum Belanda atau sistem hukum Barat pada umumnya, pasti mencerminkan pandangan hidup dan cara berpikir yuridik yang dianut oleh bangsa Belanda sebagai suatu bagian dari bangsa-bangsa barat. Cara berpikir yuridik itulah yang juga meresap ke dalam alam pikiran para sarjana hukum Indonesia sampai sekarang.
B.Arief Sidharta
 


KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...