Kelompok generasi pertama sarjana hukum orang Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang memiliki keahlian di bidang hukum yang terdidik secara akademik, mempelajari hukum di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta yang dibentuk pada tahun 1924 oleh Pemerintah Hindia-Belanda, dan di Universitas Leiden. Para gurubesar yang mengajar pun adalah orang-orang Belanda. Kurikulum dan sistem pengajarannya dan obyek yang diajarkannya (hukum dan Ilmu Hukum) adalah juga sama dengan yang dijalankan di Belanda. Jadi, hukum, Ilmu Hukum dan cara berpikir yuridik yang diajarkan dan yang dipelajari, baik yang di Jakarta maupun yang di Belanda (Leiden), adalah hukum dan Ilmu Hukum serta cara berpikir yuridik Belanda (civil law). Dan, Ilmu Hukum, hukum dan cara berpikir hukum itulah juga yang kemudian diajarkan kepada generasi-generasi berikutnya. Pada masa kini, juga cara berpikir yuridik Amerika (common law), varian lain dari cara berpikir Barat, mulai mempengaruhi cara berpikir para ahli hukum orang Indonesia. Jadi, para ahli hukum Indonesia itu terbentuk melalui sistem pendidikan Barat, dan dengan demikian cara berpikir yang tertanam ke dalam para ahli hukum itu adalah cara berpikir Barat. Secara lebih umum, dapat dikatakan bahwa kelompok orang-orang terdidik Indonesia terbentuk melalui sistem pendidikan Barat dan ilmu yang diajarkan pun berasal dari Barat. Dengan demikian, untuk membangun masa depan bangsa Indonesia pada masa kini kita harus melakukannya dengan menggunakan ilmu yang memang kita terima dari Barat dan sudah diteruskan dari generasi pertama orang Indonesia terdidik sampai ke generasi sekarang.
Namun, upaya membangun hari esok bangsa kita itu
harus dilakukan ketika kita sedang mengalami krisis yang sangat dahsyat,
krisis moral yang berintikan krisis identitas atau krisis harga diri
(orang tidak mampu menghormati dirinya sendiri sesuai dengan statusnya).
Ini berarti, bahwa upaya untuk merancang masa depan itu harus dilakukan
dengan menemukan terlebih dahulu apa landasan pikiran yang akan dijadikan
titik tolaknya. Kita perlu menentukan terlebih dahulu apa pandangan hidup
dan cara berpikir yang mau kita gunakan untuk merumuskan rancangan
pembangunan masa depan kita. Berkenaan dengan hal ini, tepatlah apa yang
disarankan oleh Sunaryati-Hartono dalam Oratio Dies Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Tahun 2008, untuk ”tetap setia pada
nilai-nilai Pancasila yang ... harus kita jiwai dan terapkan sebagai volksgeist Indonesia.” (2008: 10)
Soediman Kartohadiprodjo bersama-sama dengan
Notonagoro termasuk ke dalam sedikit orang di antara sarjana-sarjana hukum
Indonesia generasi
pertama yang memberikan perhatian khusus terhadap Pancasila sebagai
filsafat hidup bangsa Indonesia.
Dari para gurubesarnya yang
orang Belanda, beliau memperoleh pelajaran bahwa hukum yang berkaitan
dengan kehidupan manusia bermasyarakat bertujuan untuk mewujudkan
keadilan. Namun beliau melihat keanehan dalam sistem hukum dari bangsa
Belanda yang diajarkan kepada beliau, yaitu bahwa sistem hukum Belanda
memberikan tempat pada kolonialisme, padahal jelas bahwa kolonialisme itu
secara diametral bertentangan dengan rasa keadilan. Sebagai warga dari
suatu bangsa yang selama ratusan tahun dijajah, beliau sangat merasakan
ketidak-adilan itu.
- Upaya untuk memperoleh pemahaman terhadap hal yang dirasakannya ganjil itu dikemukakan oleh Soediman Kartohadirpodjo dalam Oratio Dies Natalis Universitas Katolik Parahyangan pada tanggal 17 Januari 1962 yang berjudul ”PENGLIHATAN MANUSIA TENTANG TEMPAT INDIVIDU DALAM PERGAULAN HIDUP (Suatu Masalah).” (jadi, 47 yahun yang lalu). Setelah itu beliau mengembangkan lebih lanjut pemikirannya tentang hubungan antara Pancasila dan hukum dalam berbagai artikel dan makalah, yang pada tahun 1965 dipublikasi dalam buku berjudul ”KUMPULAN KARANGAN”, diterbitkan oleh P.T. Pembangunan, Jakarta. Dalam oratio dies itu, Soediman Kartohadiprodjo mengemukakan bahwa dalam setiap ketentuan dalam bidang hukum terdapat unsur keadilan. Bagi beliau, hukum itu bertujuan untuk mewujudkan masyarakat manusia yang tertib berkeadilan. Unsur keadilan yang menjadi unsur esensial dalam hukum itu adalah suatu penilaian yang dilakukan oleh manusia tentang perilaku manusia dalam hubungan dengan sesama manusia dalam suatu pergaulan hidup. Jadi, yang melakukan penilaian itu adalah manusia. Yang dinilai adalah perilaku manusia. Perilaku manusia yang dinilai itu adalah perilaku yang berlangsung atau yang terjadi dalam pergaulan hidup manusia, di dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan antar-manusia. Karena itu, Soediman Kartohadiprodjo sampai pada keyakinan bahwa penilaian tentang perilaku manusia itu dalam intinya akan tergantung pada pandangan atau filsafat hidup manusia yang memunculkan penilaian itu, yakni pada penglihatan manusia yang melakukan penilaian dan manusia yang perilakunya dinilai tentang tempat manusia individual di dalam pergaulan hidup. Dengan keyakinan itu, Soediman Kartohadiprodjo mulai memfokuskan penelusurannya pada substansi pandangan hidup yang dianut yang tercermin ke dalam sistem hukum yang ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersangkutan. Jadi, sistem hukum Belanda atau sistem hukum Barat pada umumnya, pasti mencerminkan pandangan hidup dan cara berpikir yuridik yang dianut oleh bangsa Belanda sebagai suatu bagian dari bangsa-bangsa barat. Cara berpikir yuridik itulah yang juga meresap ke dalam alam pikiran para sarjana hukum Indonesia sampai sekarang.
No comments:
Post a Comment