Dalam survei terbaru yang dilakukan Transparency
International, Indonesia menempati peringkat 96 (dari 180 negara di dunia) pada
Indeks Persepsi Korupsi 2017. Skor yang diperoleh Indonesia dalam daftar indeks
tersebut adalah 37, masih sama seperti skor yang didapat Indonesia di tahun
sebelumnya.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sejatinya
menggambarkan berbagai komponen penentu seperti layanan publik, kepastian
hukum, kemudahan berbisnis, relasi antara politik dengan bisnis, dan lainnya.
Perbaikan sejumlah parameter itu menjadi tugas seluruh pemangku
kepentingan di Indonesia. Ini menjadi
upaya bersama berbagai elemen bangsa". Ada banyak faktor yang menyebabkan
naik turunnya IPK Indonesia. Korupsi yang terjadi di Indonesia tak semata dalam
bentuk mark-up dan suap, namun juga hadir di sistem politik, perizinan dan
sebagainya. “Selain penindakan,
melakukan perbaikan sistem seperti dalam pengadaan barang dan jasa,
perizinan, penerimaan negara, tata kelola niaga dan impor, dan sektor lainnya
sebagai upaya pencegahan korupsi.
Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK), merupakan indeks komposit/ gabungan yang mengukur persepsi publik terhadap korupsi di negara-negara di dunia. Sejak diluncurkan pada tahun 1995 IPK telah digunakan oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi korupsi periodik tahun per tahun.
Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK), merupakan indeks komposit/ gabungan yang mengukur persepsi publik terhadap korupsi di negara-negara di dunia. Sejak diluncurkan pada tahun 1995 IPK telah digunakan oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi korupsi periodik tahun per tahun.
Dalam upaya pencegahan korupsi ada beberapa langkah
alternative seperti:
1. Identifikasi kebutuhan kelembagaan yg selama ini tidak terhindarkan secara sosial budaya, namun tidak dapat terwadahi APBN, dirasionalisasi dalam skala prioritas keperluan, berapa besarannya yang perlu dianggarakan dalam APBN, yg tdk perlu, disosialisasikan bahwa kedepannya tidak perlu dianggarkan kembali.
2. Revisi regulasi keuangan agar dinamika kegiatan di lapangan dapat terakomodasi secara feasibel (do-able) dan akuntabel.
Dengan perubahan tersebut tindak manipulatif/ koruptif akan lebih terpapar secara admin maupun moral, karena tidak ada lagi alasan excusse.
3. Sumber daya aparatur yang berintegritas.
1. Identifikasi kebutuhan kelembagaan yg selama ini tidak terhindarkan secara sosial budaya, namun tidak dapat terwadahi APBN, dirasionalisasi dalam skala prioritas keperluan, berapa besarannya yang perlu dianggarakan dalam APBN, yg tdk perlu, disosialisasikan bahwa kedepannya tidak perlu dianggarkan kembali.
2. Revisi regulasi keuangan agar dinamika kegiatan di lapangan dapat terakomodasi secara feasibel (do-able) dan akuntabel.
Dengan perubahan tersebut tindak manipulatif/ koruptif akan lebih terpapar secara admin maupun moral, karena tidak ada lagi alasan excusse.
3. Sumber daya aparatur yang berintegritas.
Dalam
rangka pelaksanaan cita cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, perlu dibangun aparatur sipil
negara yang memiliki integritas,
profesional, netral dan bebas dari
intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,
serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu
menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Untuk
mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu
ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban
mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya
dan menerapkan prinsip dalam pelaksanaan
manajemen aparatur sipil negara;
Aparatur Sipil Negara adalah Profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan
Pegawai Pemerintah yang bekerja pada Instansi Pemerintah yang berlandaskan pada
prinsip nilai dasar, kode etik dan prilaku, komitmen, integritas dan moral
serta bertanggung jawab pada pelayanan publik, hal ini berimplikasi pada
Pertanggung Jawaban pengelolaan dan penggunaan keuangan atau anggaran, baik
yang bersumber dari Pusat maupun dari Daerah.
Bentuk pertanggung jawaban keuangan Negara, dijelaskan secara rinci pada
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan keuangan dan Kinerja
Instansi/ Pemerintah, dinyatakan dalam pertanggung jawaban pelaksanaan
APBN/APBD setiap Entitas Pelaporan, wajib menyusun dan menyajikan Laporan
Keuangan dan Laporan Kinerja. Ketentuan ini tentunya memberikan kejelasan atas
hirarki penyusunan laporan keuangan pemerintah dan keberadaan pihak pihak yang
bertanggungg jawab didalamnya, serta menjelaskan pentingnya laporan kinerja sebagai
tambahan informasi dalam pertanggung jawaban keuangan Negara.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
ditetapkan bahwa pihak yang wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan
disebut dengan Entitas Pelaporan. Instansi pemerintah yang termasuk entitas
pelaporan adalah: (i) Pemerintah pusat, (ii) Pemerintah daerah, (iii) setiap
Kementerian Negara/Lembaga, dan (iv) Bendahara Umum Negara. Entitas pelaporan
adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. Sedangkan Entitas akuntansi adalah
unit pemerintahan yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan menyusun
laporan keuangan, namun laporan keuangan yang dihasilkannya untuk digabungkan
pada Entitas Pelaporan. Instansi yang termasuk entitas akuntansi antara lain
kuasa Pengguna Anggaran, termasuk entitas pelaksana Dana Dekonsentrasi/Tugas
Pembantuan, untuk tingkat pemerintah pusat, serta SKPD, Bendahara Umum Daerah
(BUD) dan kuasa Pengguna Anggaran tertentu untuk tingkat pemerintah daerah.
Selain itu, entitas pelaporan juga wajib menyusun
dan menyajikan laporan kinerja sebagai tambahan informasi dalam
pertanggungjawaban keuangan APBN/APBD. Laporan kinerja berisi ringkasan
informasi tentang input, process, output, outcome, benefit
dan impact dari setiap kegiatan/program yang dijalankan oleh
pemerintah, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat ekonomis,
efisiensi dan efektifitas kegiatan/program pemerintah.
Apabila melihat aturan mengenai Pengelolaan Sistem Keuangan Daerah, akan
menghasilkan sebuah pertanggung jawaban yang sesuai, akan tetapi pada
kenyataanya masih banyak sekali terjadi kebocoran anggaran, apakah itu berasal
dari perencanaan yang tidak tepat maupun tingkat integritas aparatur Negara
yang tidak baik, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan Tindak Pidana
Korupsi.
Dalam suatu kesempatan pada Konferensi Nasional
Pemberantasan Korupsi (KNPK) Tahun 2016 di Gedung Balai Kartini, Jakarta,
Kamis, 1 Desember 2016, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa bangsa
Indonesia menghadapi tiga problem besar, yaitu pertama yang berkaitan dengan
korupsi, yang kedua berkaitan dengan inefisiensi birokrasi, dan yang ketiga
berkaitan dengan ketertinggalan infrastruktur. Dari pernyataan Presiden,
mengisyaratkan bahwa korupsi merupakan musuh terbesar bangsa Indonesia saat
ini. Presiden mendukung penuh penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi, baik dari
sisi kelembagaan maupun kemandirian. Reformasi internal di institusi kejaksaan
dan kepolisian diharapkan menghasilkan penegak-penegak hukum yang profesional.
Dalam pemberantasan korupsi bisa berjalan efektif dan tidak berjalan
sendiri-sendiri, Kepolisian dan Kejaksaan Agung harus memperkuat sinergi dengan
KPK. Namun, kondisi terkini memperlihatkan bahwa penindakan para koruptor masih
juga menunjukkan trend peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa penegakan
hukum selama ini ternyata belum sepenuhnya memberikan efek jera bagi para
koruptor. Walau demikian, Presiden meminta seluruh pihak untuk tidak patah
semangat. Presiden berharap, bahwa kita harus bekerja lebih keras lagi, lebih
komprehensif, dan lebih terintegrasi, serta jangkauan pemberantasan korupsi pun
harus mulai dari hulu sampai hilir.
Pernyataan diatas, menunjukkan kegalauan Presiden
Joko Widodo melihat kondisi korupsi di Indonesia saat ini yang belum
memperlihatkan kemajuan yang berarti. Dalam pemberitaan di media massa, baik
media cetak, elektronik, sampai media sosial, mempertontonkan kepada masyarakat
Indonesia perilaku korup para penyelenggara negara, bagaimana mereka merampok
uang rakyat, melakukan suap maupun gratifikasi, dengan tidak memperlihatkan
sikap penyesalan malahan seakan bangga menjadi pesakitan. Tak
terkecuali, para penegak hukum yang seharusnya menjadi garda paling depan dalam
penegakan hukum, justru ikut berpesta pora dalam penjarahan uang rakyat.
Lebih-lebih ketika kita melihat lebih jauh dalam proses peradilan sampai kasus
dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Tak terbayangkan
lagi, bagaimana sikap mereka (pesakitan) ketika aparat penegak hukum
memberikan vonis ringan, baik berupa hukuman pengembalian uang/denda maupun
hukuman badan, seakan drama yang baru saja dimainkan berakhir dengan happy
ending. Itulah kondisi hukum di negeri kita tercinta ini, yang konon hukum
dianggap sebagai panglima. Sebagaimana dalam konstitusi kita disebutkan
bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat)”.
Sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBD diatur
dalam Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah yang tertuang dalam BAB IX PERTANGGUNG JAWABAN PELAKSANAAN APBD, yang
berbunyi sebagai berikut ;
BAB IX
PERTANGGUNG JAWABAN PELAKSANAAN APBD,
Pasal 99
(1)
Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset,
utang dan ekuitas dana, yang berada
dalam tanggung jawabnya.
(2)
Penyelenggaraan akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pencatatan/penatausahaan atas transaksi keuangan di lingkungan SKPD dan
menyiapkan laporan keuangan sehubungan dengan pelaksanaan anggaran dan barang
yang dikelolanya.
(3)
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
dari
laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan yang
disampaikan kepada kepala daerah melalui PPKD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
(4)
Kepala SKPD selaku pengguna anggaran/pengguna barang
memberikan
pernyataan bahwa pengelolaan APBD yang menjadi tanggung jawabnya telah
diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai, sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Pasal 100
(1) PPKD
menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan,
aset,
utang, dan ekuitas dana, termasuk
transaksi pembiayaan dan perhitungannya.
(2) PPKD
menyusun laporan keuangan pemerintah
daerah terdiri dari:
a.Laporan
Realisasi Anggaran;
b.Neraca;
c.Laporan
Arus Kas; dan
d.Catatan
Atas Laporan Keuangan.
(3)
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan disajikan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
(4)
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan laporan
ikhtisar realisasi kinerja dan laporan keuangan badan usaha milik
daerah/perusahaan daerah.
(5)
Laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun
berdasarkan laporan keuangan SKPD.
(6)
Laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada kepala
daerah dalam rangka memenuhi
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Pasal 101
Kepala
daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa
laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling lambat 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
Pasal 102
(1)
Laporan keuangan pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) disampaikan kepada
BPK selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2)
Pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan
dari pemerintah daerah.
(3)
Apabila sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) BPK belum
menyampaikan laporan hasil pemeriksaan, rancangan peraturan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 101 diajukan kepada DPRD. Pasal 103 Kepala daerah
memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian terhadap laporan keuangan
berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1).
Kemudian diatur lebih rinci dalam Permendagri nomor
13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagai berikut ;
Paragraf
5
Pertanggungjawaban
Penggunaan Dana
Pasal 220
(1)
Bendahara pengeluaran secara administratif wajib mempertanggungjawabkan
penggunaan uang persediaan/ganti uang persediaan/tambah uang persediaan kepada
kepala SKPD melalui PPK SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
(2)
Dokumen yang digunakan dalam menatausahakan pertanggungjawaban pengeluaran
mencakup:
a.
register penerimaan laporan pertanggungjawaban pengeluaran (SPJ);
b.register
pengesahan laporan pertanggungjawaban pengeluaran (SPJ);
c.surat
penolakan laporan pertanggungjawaban pengeluaran (SP));
d.register
penolakan laporan pertanggungjawaban pengeluaran (SP)); dan
e.register
penutupan kas.
(3)
Format dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran
D.XIX peraturan menteri ini.
(4) Dalam
mempertanggungjawabkan pengelolaan uang persediaan, dokumen laporan
pertanggungjawaban yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a.buku
kas umum;
b.ringkasan
pengeluaran per rincian obyek yang disertai dengan bukti-bukti pengeluaran yang
sah atas pengeluaran dari setiap rincian obyek yang tercantum dalam ringkasan
pengeluaran per rincian obyek dimaksud;
c.bukti
atas penyetoran PPN/PPh ke kas negara; dan
d.register
penutupan kas.
(5) Buku
kas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a ditutup setiap bulan dengan
sepengetahuan dan persetujuan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.
(6) Dalam
hal laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah sesuai,
pengguna
anggaran menerbit kan surat pengesahan laporan pertanggungjawaban.
(7)
Ketentuan batas waktu penerbitan surat pengesahan laporan pertanggungjawaban
pengeluaran dan sanksi keterlambatan penyampaian laporan pertanggungjawaban
ditetapkan dalam peraturan kepala daerah.
(8)Untuk
tertib laporan pertanggungjawaban pada akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban
pengeluaran dana bulan Desember disampaikan paling lambat tanggal 31 Desember.
(9)Dokumen
pendukung SPP-LS dapat dipersamakan dengan bukti pertanggungjawaban atas
pengeluaran pembayaran beban langsung kepada pihak ketiga.
(10)Bendahara
pengeluaran pada SKPD wajib mempertanggungjawabkan secara fungsional atas
pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan
pertanggungjawaban pengeluaran kepada PPKD selaku BUD paling lambat 73 tanggal 10 bulan berikutnya.
(11)
Penyampaian pertanggungjawaban bendahara pengeluaran secara fungsional
sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilaksanakan setelah diterbitkan surat
pengesahan pertanggungjawaban pengeluaran oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran.
(12)
Format laporan pertanggungjawaban pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(10) tercantum dalam Lampiran D.XX peraturan menteri ini.
Pasal 221
Dalam
melakukan verifikasi atas laporan pertanggungjawaban yang disampaikan, PPK-SKPD
berkewajiban:
a.meneliti
kelengkapan dokumen laporan pertanggungjawaban dan keabsahan bukti-bukti pengeluaran yang dilampirkan;
b.menguji
kebenaran perhitungan atas pengeluaran per rincian obyek yang tercantum dalam
ringkasan per rincian obyek;
c.menghitung
pengenaan PPN/PPh atas beban pengeluaran per rincian obyek; dan
d.menguji
kebenaran sesuai dengan SPM dan SP2D yang diterbitkan periode sebelumnya.
Pasal 222
(1)
Bendahara pengeluaran pembantu dapat ditunjuk berdasarkan pertimbangan
tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja,
lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif Iainnya.
(2)
Bendahara pengeluaran pembantu wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap
seluruh pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.
(3)Dokumen-dokumen
yang digunakan oleh bendahara pengeluaran pembantu dalam
menatausahakan
pengeluaran mencakup:
a.buku
kas umum;
b.buku
pajak PPN/PPh; dan
c.buku
panjar.
(4)
Bendahara pengeluaran pembantu dalam melakukan penatausahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menggunakan bukti pengeluaran yang sah.
(5)
Bendahara pengeluaran pembantu wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban
pengeluaran kepada bendahara pengeluaran paling fambat tanggal 5 bulan
berikutnya.
(6)Laporan
pertanggungjawaban pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
mencakup:
a.buku
kas umum;
b.buku
pajak PPN/PPh; dan
c.bukti
pengeluaran yang sah.
(7)Bendahara
pengeluaran melakukan verifikasi, evaluasi dan analisis atas laporan
pertanggungjawaban pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Pasal 223
(1)Pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran melakukan pemeriksaan kas yang
dikelola
oleh bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran sekurang kurangnya 1 (satu)
kali dalam 3 (tiga) bulan.
(2)Bendahara
penerimaan dan bendahara pengeluaran melakukan pemeriksaan kas yang dikelola
oleh bendahara penerimaan pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu
sekurang-kurangnya
1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
(3)Pemeriksaan
kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam 74 berita
acara pemeriksaan kas.
(4)Berita
acara pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan
register penutupan kas sesuai dengan Lampiran D.XXI peraturan menteri ini.
Pasal 224
Bendahara
pengeluaran yang mengelola belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial,
belanja bagi hasil, bantuan keuangan, belanja tidak terduga, dan pembiayaan
melakukan penatausahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 225
Pengisian
dokumen penatausahaan bendahara pengeluaran dapat menggunakan aplikasi komputer
dan/atau alat elektronik lainnya.
Pasal 226
Dalam hal
bendahara pengeluaran berhalangan, maka:
a.apabila
melebihi 3 (tiga) hari sampai selama-lamanya 1 (satu) bulan, bendahara
pengeluaran tersebut wajib memberikan surat kuasa kepada pejabat yang ditunjuk
untuk melakukan pembayaran dan tugas-tugas bendahara pengeluaran atas tanggung
jawab bendahara pengeluaran yang
bersangkutan dengan diketahui kepala SKPD;
b.apabila
melebihi 1 (satu) bulan sampai selama-lamanya 3 (tiga) bulan, harus ditunjuk
pejabat bendahara pengeluaran dan diadakan berita acara serah terima;
c.apabila
bendahara pengeluaran sesudah 3 (tiga ) bulan belum juga dapat melaksanakan
tugas, maka dianggap yang bersangkutan telah mengundurkan diri atau berhenti
dari jabatan sebagai bendahara pengeluaran dan oleh karena itu segera diusulkan
penggantinya.
Pasal 227
Ringkasan
prosedur penatausahaan bendahara pengeluaran tercantum dalam Lampiran D.XXII
peraturan menteri ini.
Tata
cara penatausahaan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban diaplikasikan
dalam Permendagri Nomor 55 tahun 2008 tentang TATA CARA PENATAUSAHAAN DAN
PENYUSUNAN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA SERTA PENYAMPAIANNYA dan dijelaskan secara terperinci dalam Peraturan
Daerah (PERDA), dimana didalam Peraturan Daerah tersebut mengatur tentang
format dan bentuk serta jenis surat pertanggungjawaban.
PERTANGGUNGJAWABAN DAN
PENYAMPAIANNYA
Bendahara pengeluaran wajib menyampaikan
pertanggung-jawaban atas pengelolaan uang yang terdapat dalam kewenangannya.
Pertanggungjawaban tersebut terdiri atas:
A.
pertanggungjawaban penggunaan
UP
B.
pertanggungjawaban penggunaan
TU
C.
pertanggungjawaban
administratif
D. pertanggungjawaban fungsional.
A. Pertanggungjawaban Penggunaan Uang Persediaan
Bendahara pengeluaran melakukan pertanggungjawaban
penggunaan uang persediaan setiap akan mengajukan GU. Dalam melakukan
pertanggungjawaban tersebut dokumen yang disampaikan adalah Laporan
Pertanggungjawaban Uang Persediaan dan dilampiri dengan bukti-bukti belanja
yang sah.
Langkah-langkah dalam membuat
pertanggungjawaban uang persediaan adalah sebagai berikut:
1)
Mengumpulkan bukti-bukti yang
sah atas belanja yang menggunakan uang persediaan termasuk bukti-bukti yang
dikumpulkan oleh bendahara pengeluaran pembantu, jika ada sebagian uang
persediaan yang sebelumnya dilimpahkan kepada bendahara pengeluaran pembantu
2)
Berdasarkan bukti-bukti yang
sah tersebut bendahara pengeluaran merekapitulasi belanja kedalam Laporan
Pertanggungjawaban Uang Persediaan sesuai dengan program dan kegiatannya
masing-masing.
3)
Laporan Pertanggungjawaban
Uang Persediaan tersebut dijadikan lampiran pengajuan SPP-GU
A.
Pertanggungjawaban
Penggunanan TU
Bendahara pengeluaran melakukan pertanggungjawaban
penggunaan TU apabila TU yang dikelolanya telah habis/selesai digunakan untuk
membiayai suatu kegiatan atau telah sampai pada waktu yang ditentukan sejak TU
diterima.
Dalam melakukan pertanggungjawaban tersebut dokumen yang
disampaikan adalah Laporan Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan. Dokumen
ini dilampirkan dengan bukti-bukti belanja yang sah dan lengkap.
Langkah-langkah dalam membuat pertanggungjawaban TU
adalah sebagai berikut:
1)
Bendahara pengeluaran
mengumpulkan bukti-bukti belanja yang sah atas penggunaan tambahan uang
persediaan.
2)
Apabila terdapat TU yang tidak
digunakan bendahara pengeluaran melakukan setoran ke Kas Umum Daerah. Surat
Tanda Setoran atas penyetoran itu dilampirkan sebagai lampiran laporan
pertanggungjawaban TU.
3)
Berdasarkan bukti-bukti
belanja yang sah dan lengkap tersebut dan bukti penyetoran sisa tambahan uang
persediaan (apabila tambahan uang persediaan melebihi belanja yang dilakukan)
bendahara pengeluaran merekapitulasi belanja kedalam Laporan
Pertanggung-jawaban Tambahan Uang Persediaan sesuai dengan program dan
kegiatannya yang dicantumkan pada awal pengajuan TU.
4)
Laporan pertanggungjawaban
tersebut kemudian diberikan kepada Pengguna Anggaran melalui PPK SKPD.
5)
PPK SKPD kemudian melakukan
verifikasi atas pertanggung-jawaban yang dilakukan oleh bendahara pengeluaran.
6)
Pengguna Anggaran kemudian
menandatangani laporan pertanggungjawaban TU sebagai bentuk pengesahan.
B.
Pertanggungjawaban
Fungsional
Pertanggungjawaban fungsional dibuat oleh bendahara
pengeluaran dan disampaikan kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya. Pertanggungjawaban fungsional tersebut berupa Surat
Pertanggungjawaban (SPJ) yang merupakan penggabungan dengan SPJ Bendahara
Pengeluaran Pembantu. SPJ tersebut dilampiri dengan:
·
Laporan Penutupan Kas
·
SPJ Bendahara Pengeluaran
Pembantu.
Pertanggungjawaban fungsional
pada bulan terakhir tahun anggaran disampaikan paling lambat hari kerja
terakhir bulan tersebut. Pertanggungjawaban tersebut dilampiri bukti setoran
sisa uang persediaan.
C. Pertanggungjawaban
Administratif
Pertanggungjawaban administratif dibuat oleh bendahara
pengeluaran dan disampaikan kepada Pejabat Pengguna Anggaran paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya. Pertanggungjawaban administratif tersebut berupa
Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang menggambarkan jumlah anggaran, realisasi
dan sisa pagu anggaran baik secara kumulatif maupun per kegiatan. SPJ ini
merupakan penggabungan dengan SPJ Bendahara Pengeluaran Pembantu.
Pertanggungjawaban administratif berupa SPJ dilampiri
dengan:
a.
Buku Kas Umum;
b.
Laporan Penutupan Kas; dan
c.
SPJ Bendahara Pengeluaran
Pembantu.
Pertanggungjawaban administratif pada bulan terakhir
tahun anggaran disampaikan paling lambat hari kerja terakhir bulan tersebut.
Pertanggungjawaban tersebut harus dilampiri bukti setoran sisa uang persediaan.
Langkah-langkah dalam membuat dan menyampaikan SPJ
bendahara pengeluaran adalah sebagai berikut:
1) Bendahara pengeluaran menyiapkan laporan penutupan
kas.
2) Bendahara pengeluaran melakukan rekapitulasi
jumlah-jumlah belanja dan item terkait lainnya berdasarkan BKU dan buku
pembantu BKU lainnya serta khususnya Buku Pembantu Rincian Obyek untuk
mendapatkan nilai belanja per rincian obyek.
3) Bendahara pengeluaran menggabungkan hasil
rekapitulasi tersebut dengan hasil yang ada di SPJ Bendahara pengeluaran
pembantu.
4) Berdasarkan rekapitulasi dan penggabungan itu,
bendahara pengeluaran membuat SPJ atas pengelolaan uang yang menjadi
tanggungjawabnya.
5) Dokumen SPJ beserta BKU, laporan penutupan kas dan SPJ bendahara pengeluaran pembantu kemudian
diberikan ke PPK SKPD untuk dilakukan verifikasi.
6) Setelah mendapatkan verifikasi, Pengguna Anggaran
menandatangani sebagai bentuk pengesahan.
Melihat dari sistematika pertanggung jawaban yang diatur oleh
perundang-undangan, seharusnya telah menunjukkan suatu system yang baik, dan
apabila diimplementasikan secara sesuai, maka pengelolaan keuangan pemerintah
akan berjalan dengan baik pula. Tetapi dalam pelaksanaanya terbukti masih
banyak sekali ditemukan pelanggaran serta penyimpangan anggaran yang berakibat
terjadinya Tindak Pidana Korupsi.
Menurut hasil survey Transparancy Internasional Indonesia, dari data Global Corruption Barometer Tahun 2017 versi Indonesia, “Birokrasi
termasuk didalam 3 Besar menjadi Institusi atau lembaga yang paling Korup,
disamping lembaga DPR dan POLRI“
Korupsi
dalam Black’s Law Dictionary adalah “suatu perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban
resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk
orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain
(Henry
Cambell Black, 1990)
Pengertian
korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikelompokan menjadi:
(1) delik yang dapat merugikan keuangan negara; (2) delik penyuapan; (3) delik
penggelapan; (4) delik pemerasan dalam jabatan; (5) delik yang berkaitan dengan
pemborongan, leveransir dan rekanan. Dengan memahami pengertian korupsi,
diharapkan pemberantasan korupsi dalam bentuk pencegahan dan penindakan dapat
diwujutkan, sehingga pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera,
tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.
Sampai
saat ini masih terdapat kecenderungan bahwa segala permasalahan hanya dapat
diselesaikan dengan undang-undang, padahal hukum baru bermakna apabila
dijalankan dan ditegakkan dalam praktek secara nyata. Jika penerapan suatu
peraturan perundang-undangan tidak dilakukan secara integral dan tidak diikuti
upaya sistemik lainnya, terutama tindakan pencegahan, maka penegakan hukum
tersebut masih kurang maknanya dalam upaya pemberantasan korupsi
(Marwan
Effendy, 2012: 6)
Harus
kita sadari bahwa sanksi pidana saja tidak dapat menjamin turunnya perilaku
yang koruptif dari masyarakat. Perilaku yang koruptif tersebut tumbuh subur
karena dorongan dari masyarakat sendiri,
yang ingin mendapatkan pelayanan secara instan tanpa melalui prosedure yang baku. Perilaku
sebagian masyarakat yang demikian itu secara tidak sadar telah menghancurkan
integritas para petugas, penguasa atau pihak-pihak yang berwenang.
Masalah
penanggulangan korupsi melalui upaya pencegahan dalam konferensi ketiga PBB di
Doha tanggal 9 s/d 13 Nopember 2009 yang telah lalu, dari 4 resolusi yang
dihasilkan ternyata masalah pencegahan masih mendapat perhatian yang serius
dari peserta konferensi tersebut. Hal itu terlihat bahwa dari 4 resolusi yang
dihasilkan tersebut, masalah pencegahan ditempatkan pada urutan kedua setelah
kajian mekanisme penanggulangan
tindak
pidana korupsi.
Selanjutnya
urutan ketiga pengembalian aset dan yang keempat bantuan teknis( Marwan
Effendy, 2012: 7)
Korupsi
terkait dengan berbagai permasalahan, tidak hanya masalah hukum dan
penegakannya, tetapi juga menyangkut masalah moral/sikap mental, masalah pola
hidup, budaya dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan ekonomi dan kesenjangan
social ekonomi, masalah sistem ekonomi, masalah sistem politik, serta masalah
mekanisme pembangunan dan lemahnya
birokrasi administrasi termasuk sistem pengawasan di bidang keuangan dan
pelayanan publik. Jadi kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas
(multidimensi), antara lain bisa di bidang moral, sosial, ekonomi, politik,
budaya, birokrasi/administrasi
(Nyoman
Serikat Putra Jaya, 2008: 71)
Upaya
pemerintah untuk memberantas korupsi sudah dimulai sejak tahun 1957 dengan
membuat peraturan perundang-undangan sebagai alat untuk memberantas korupsi,
antara lain:
1.
Peraturan
Penguasa Militer untuk Daerah Kekuasaan Angkatan Darat No. Prt/PM-06/1957
tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Koropsi;
2.
Peraturan
Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957 tentang Penilikan Terhadap Harta Benda;
3.
Peraturan
Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.Prt/Peperpu/013/1958, 13 April 1958
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan
Harta Benda;
4.
Peraturan
Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No.Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April
1958;
5.
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 Tahun 1960 tanggal 9 Juni 1960
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang
menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1961 telah menjadi Undang-Undang dan disebut
Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960, sejak tanggal 1 Januari 1961;
6.
Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7.
Undang-undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
8.
Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
9.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
10.
Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di
samping itu Pemerintah juga telah mengeluarkan:
1.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tanggal 5 April 2000 tentang
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tanggal 21 Agustus 2000
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(S. Anwary, 2005:
133-134).
Ternyata
peraturan perundang-undangan tersebut belum memberikan hasil sebagaimana yang
diharapkan. Masalah hukum yang menjadi tuntutan adalah mengenai penegakan dan
penerapannya, atau law enforcement. Sesungguhnya hukum berperan untuk
mengantarkan masyarakat kepada kesejahteraan dalam hidupnya
(Jeremy
Bentham, 2006: 26)
Seorang
filosof hukum aliran realisme bernama Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum
itubukan apa-apa (law is nothing)
(Antonius
Sujata, 2000: 6)
Pendapat
itu cukup masuk akal bagi Indonesia karena terbukti bahwa dengan banyaknya
aturan, ternyata juga makin banyak tuntutan. Secara lengkap Wilhelm Lundsted
kemudian menegaskan bahwa hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa
penegakan, hukum bukan apa-apa
(Satjipto
Rahardjo, 2008: 6)
Satjipto
Rahardjo menyatakan penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah
pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam
peraturan-peraturan hokum. Penegakan hukum dimulai dari pembuatan sampai ke
pelaksanaan undang-undang tersebut. Keinginan-keinginan hukum dilakukan melalui
manusia, sehingga manusia yang menjalankan penegakan hukum benar-benar
menempati kedudukan yang penting dan menentukan
(Satjipto
Rahardjo, 2009: 1-2).
Relevan
dengan hal tersebut B.M. Taverne menyatakan: berikan padaku hakim yang baik,
jaksa yang baik serta polisi yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun,
saya bisa mendatangkan keadilan. Artinya,bagaimanapun lengkapnya suatu rumusan
undang-undang, tanpa didukung aparatur penegak hukum yang baik, memiliki
moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk
(Satjipto
Rahardjo, 2007: 6).
Penguatan pada sistem pertanggung jawaban pengelolaan keuangan Negara,
akan berimplikasi langsung terhadap lembaga lainnya. (M.Henry Faisal,SH,MH) Oleh karena itu diperlukan
Suatu sistem untuk mendukung peraturan yang ada, sebagai upaya untuk pencegahan
Tindak Pidana Korupsi pada Aparatur Sipil Negara .
No comments:
Post a Comment