Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Saturday, October 5, 2019

“SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN BERBASIS TERINTEGRASISEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA APARATUR SIPIL NEGARA (ASN)”

Dalam survei terbaru yang dilakukan Transparency International, Indonesia menempati peringkat 96 (dari 180 negara di dunia) pada Indeks Persepsi Korupsi 2017. Skor yang diperoleh Indonesia dalam daftar indeks tersebut adalah 37, masih sama seperti skor yang didapat Indonesia di tahun sebelumnya.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sejatinya menggambarkan berbagai komponen penentu seperti  layanan publik, kepastian hukum, kemudahan berbisnis, relasi antara politik dengan bisnis, dan lainnya. Perbaikan sejumlah parameter itu menjadi tugas seluruh  pemangku kepentingan di Indonesia.  Ini menjadi upaya bersama berbagai elemen bangsa". Ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya IPK Indonesia. Korupsi yang terjadi di Indonesia tak semata dalam bentuk mark-up dan suap, namun juga hadir di sistem politik, perizinan dan sebagainya. “Selain penindakan,  melakukan perbaikan sistem seperti dalam pengadaan barang dan jasa, perizinan, penerimaan negara, tata kelola niaga dan impor, dan sektor lainnya sebagai upaya pencegahan korupsi.
Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK), merupakan indeks komposit/ gabungan yang mengukur persepsi publik terhadap korupsi di negara-negara di dunia. Sejak diluncurkan pada tahun 1995 IPK telah digunakan oleh banyak negara sebagai rujukan tentang situasi korupsi periodik tahun per tahun.
Dalam upaya pencegahan korupsi ada beberapa langkah alternative seperti:
1. Identifikasi kebutuhan kelembagaan yg selama ini tidak terhindarkan secara sosial budaya, namun tidak dapat terwadahi APBN, dirasionalisasi dalam skala prioritas keperluan, berapa besarannya yang perlu dianggarakan dalam APBN, yg tdk perlu, disosialisasikan bahwa kedepannya tidak perlu dianggarkan kembali.
2. Revisi regulasi keuangan agar dinamika kegiatan di lapangan dapat terakomodasi secara feasibel (do-able) dan akuntabel.
Dengan perubahan tersebut tindak manipulatif/ koruptif akan lebih terpapar secara admin maupun moral, karena tidak ada lagi alasan excusse.
3. Sumber daya aparatur yang berintegritas.

Dalam rangka pelaksanaan cita cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki  integritas, profesional, netral dan bebas dari  intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip  dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara;

Aparatur Sipil Negara adalah Profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah yang bekerja pada Instansi Pemerintah yang berlandaskan pada prinsip nilai dasar, kode etik dan prilaku, komitmen, integritas dan moral serta bertanggung jawab pada pelayanan publik, hal ini berimplikasi pada Pertanggung Jawaban pengelolaan dan penggunaan keuangan atau anggaran, baik yang bersumber dari Pusat maupun dari Daerah.
Bentuk pertanggung jawaban keuangan Negara, dijelaskan secara rinci pada Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan keuangan dan Kinerja Instansi/ Pemerintah, dinyatakan dalam pertanggung jawaban pelaksanaan APBN/APBD setiap Entitas Pelaporan, wajib menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja. Ketentuan ini tentunya memberikan kejelasan atas hirarki penyusunan laporan keuangan pemerintah dan keberadaan pihak pihak yang bertanggungg jawab didalamnya, serta menjelaskan pentingnya laporan kinerja sebagai tambahan informasi dalam pertanggung jawaban keuangan Negara.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 ditetapkan bahwa pihak yang wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan disebut dengan Entitas Pelaporan. Instansi pemerintah yang termasuk entitas pelaporan adalah: (i) Pemerintah pusat, (ii) Pemerintah daerah, (iii) setiap Kementerian Negara/Lembaga, dan (iv) Bendahara Umum Negara. Entitas pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. Sedangkan Entitas akuntansi adalah unit pemerintahan yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan, namun laporan keuangan yang dihasilkannya untuk digabungkan pada Entitas Pelaporan. Instansi yang termasuk entitas akuntansi antara lain kuasa Pengguna Anggaran, termasuk entitas pelaksana Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan, untuk tingkat pemerintah pusat, serta SKPD, Bendahara Umum Daerah (BUD) dan kuasa Pengguna Anggaran tertentu untuk tingkat pemerintah daerah.
Selain itu, entitas pelaporan juga wajib menyusun dan menyajikan laporan kinerja sebagai tambahan informasi dalam pertanggungjawaban keuangan APBN/APBD. Laporan kinerja berisi ringkasan informasi tentang input, process, output, outcome, benefit dan impact dari setiap kegiatan/program yang dijalankan oleh pemerintah, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat ekonomis, efisiensi dan efektifitas kegiatan/program pemerintah.
Apabila melihat aturan mengenai Pengelolaan Sistem Keuangan Daerah, akan menghasilkan sebuah pertanggung jawaban yang sesuai, akan tetapi pada kenyataanya masih banyak sekali terjadi kebocoran anggaran, apakah itu berasal dari perencanaan yang tidak tepat maupun tingkat integritas aparatur Negara yang tidak baik, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam suatu kesempatan pada Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) Tahun 2016 di Gedung Balai Kartini, Jakarta, Kamis, 1 Desember 2016, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa bangsa Indonesia menghadapi tiga problem besar, yaitu pertama yang berkaitan dengan korupsi, yang kedua berkaitan dengan inefisiensi birokrasi, dan yang ketiga berkaitan dengan ketertinggalan infrastruktur. Dari pernyataan Presiden, mengisyaratkan bahwa korupsi merupakan musuh terbesar bangsa Indonesia saat ini. Presiden mendukung penuh penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi, baik dari sisi kelembagaan maupun kemandirian. Reformasi internal di institusi kejaksaan dan kepolisian diharapkan menghasilkan penegak-penegak hukum yang profesional. Dalam pemberantasan korupsi bisa berjalan efektif dan tidak berjalan sendiri-sendiri, Kepolisian dan Kejaksaan Agung harus memperkuat sinergi dengan KPK. Namun, kondisi terkini memperlihatkan bahwa penindakan para koruptor masih juga menunjukkan trend peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum selama ini ternyata belum sepenuhnya memberikan efek jera bagi para koruptor. Walau demikian, Presiden meminta seluruh pihak untuk tidak patah semangat. Presiden berharap, bahwa kita harus bekerja lebih keras lagi, lebih komprehensif, dan lebih terintegrasi, serta jangkauan pemberantasan korupsi pun harus mulai dari hulu sampai hilir.
Pernyataan diatas, menunjukkan kegalauan Presiden Joko Widodo melihat kondisi korupsi di Indonesia saat ini yang belum memperlihatkan kemajuan yang berarti. Dalam pemberitaan di media massa, baik media cetak, elektronik, sampai media sosial, mempertontonkan kepada masyarakat Indonesia perilaku korup para penyelenggara negara, bagaimana mereka merampok uang rakyat, melakukan suap maupun gratifikasi, dengan tidak memperlihatkan sikap penyesalan malahan seakan bangga menjadi pesakitan. Tak terkecuali, para penegak hukum yang seharusnya menjadi garda paling depan dalam penegakan hukum, justru ikut berpesta pora dalam penjarahan uang rakyat. Lebih-lebih ketika kita melihat lebih jauh dalam proses peradilan sampai kasus dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Tak terbayangkan lagi, bagaimana sikap mereka (pesakitan) ketika aparat penegak hukum memberikan vonis ringan, baik berupa hukuman pengembalian uang/denda maupun hukuman badan, seakan drama yang baru saja dimainkan berakhir dengan happy ending. Itulah kondisi hukum di negeri kita tercinta ini, yang konon hukum dianggap sebagai panglima. Sebagaimana dalam konstitusi kita disebutkan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat)”.
Sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBD diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang tertuang dalam BAB IX PERTANGGUNG JAWABAN PELAKSANAAN APBD, yang berbunyi sebagai berikut ;
BAB IX PERTANGGUNG JAWABAN PELAKSANAAN APBD,
Pasal 99
(1) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyelenggarakan  akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang dan ekuitas dana,  yang berada dalam tanggung jawabnya.
(2) Penyelenggaraan akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencatatan/penatausahaan atas transaksi keuangan di lingkungan SKPD dan menyiapkan laporan keuangan sehubungan dengan pelaksanaan anggaran dan barang yang dikelolanya.
(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
dari laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan yang disampaikan kepada kepala daerah melalui PPKD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(4) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran/pengguna barang
memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBD yang menjadi tanggung jawabnya telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 100
(1) PPKD menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan,
aset, utang, dan ekuitas dana,  termasuk transaksi pembiayaan  dan perhitungannya.
(2) PPKD menyusun laporan keuangan  pemerintah daerah terdiri dari:
a.Laporan Realisasi Anggaran;
b.Neraca;
c.Laporan Arus Kas; dan
d.Catatan Atas Laporan Keuangan.
(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)  disusun dan disajikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
(4) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan laporan ikhtisar realisasi kinerja dan laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan daerah.
(5) Laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan laporan keuangan SKPD.
(6) Laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) disampaikan kepada kepala daerah dalam rangka  memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.


Pasal 101
Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan  APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa  Keuangan (BPK) paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Pasal 102
(1) Laporan keuangan pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 100 ayat (2) disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.
(3) Apabila sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) BPK belum menyampaikan laporan hasil pemeriksaan, rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 diajukan kepada DPRD. Pasal 103 Kepala daerah memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian terhadap laporan keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1).
Kemudian diatur lebih rinci dalam Permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagai berikut ;
Paragraf 5
Pertanggungjawaban Penggunaan Dana
Pasal 220
(1) Bendahara pengeluaran secara administratif wajib mempertanggungjawabkan penggunaan uang persediaan/ganti uang persediaan/tambah uang persediaan kepada kepala SKPD melalui PPK SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
(2) Dokumen yang digunakan dalam menatausahakan pertanggungjawaban pengeluaran mencakup:
a. register penerimaan laporan pertanggungjawaban pengeluaran (SPJ);
b.register pengesahan laporan pertanggungjawaban pengeluaran (SPJ);
c.surat penolakan laporan pertanggungjawaban pengeluaran (SP));
d.register penolakan laporan pertanggungjawaban pengeluaran (SP)); dan
e.register penutupan kas.
(3) Format dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran D.XIX peraturan menteri ini.
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan uang persediaan, dokumen laporan pertanggungjawaban yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  mencakup:
a.buku kas umum;
b.ringkasan pengeluaran per rincian obyek yang disertai dengan bukti-bukti pengeluaran yang sah atas pengeluaran dari setiap rincian obyek yang tercantum dalam ringkasan pengeluaran per rincian obyek dimaksud;
c.bukti atas penyetoran PPN/PPh ke kas negara; dan
d.register penutupan kas.
(5) Buku kas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a ditutup setiap bulan dengan sepengetahuan dan persetujuan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.
(6) Dalam hal laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah sesuai,
pengguna anggaran menerbit kan surat pengesahan laporan pertanggungjawaban.
(7) Ketentuan batas waktu penerbitan surat pengesahan laporan pertanggungjawaban pengeluaran dan sanksi keterlambatan penyampaian laporan pertanggungjawaban ditetapkan dalam peraturan kepala daerah.
(8)Untuk tertib laporan pertanggungjawaban pada akhir tahun anggaran, pertanggungjawaban pengeluaran dana bulan Desember disampaikan paling lambat tanggal 31 Desember.
(9)Dokumen pendukung SPP-LS dapat dipersamakan dengan bukti pertanggungjawaban atas pengeluaran pembayaran beban langsung kepada pihak ketiga.
(10)Bendahara pengeluaran pada SKPD wajib mempertanggungjawabkan secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengeluaran kepada PPKD selaku BUD paling lambat  73 tanggal 10 bulan berikutnya.
(11) Penyampaian pertanggungjawaban bendahara pengeluaran secara fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilaksanakan setelah diterbitkan surat pengesahan pertanggungjawaban pengeluaran oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran.
(12) Format laporan pertanggungjawaban pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (10) tercantum dalam Lampiran D.XX peraturan menteri ini.

Pasal 221
Dalam melakukan verifikasi atas laporan pertanggungjawaban yang disampaikan, PPK-SKPD berkewajiban:
a.meneliti kelengkapan dokumen laporan pertanggungjawaban dan keabsahan bukti-bukti  pengeluaran yang dilampirkan;
b.menguji kebenaran perhitungan atas pengeluaran per rincian obyek yang tercantum dalam ringkasan per rincian obyek;
c.menghitung pengenaan PPN/PPh atas beban pengeluaran per rincian obyek; dan
d.menguji kebenaran sesuai dengan SPM dan SP2D yang diterbitkan periode sebelumnya.

Pasal 222
(1) Bendahara pengeluaran pembantu dapat ditunjuk berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi dan/atau rentang kendali dan pertimbangan objektif Iainnya.
(2) Bendahara pengeluaran pembantu wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap seluruh pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.
(3)Dokumen-dokumen yang digunakan oleh bendahara pengeluaran pembantu dalam
menatausahakan pengeluaran mencakup:
a.buku kas umum;
b.buku pajak PPN/PPh; dan
c.buku panjar.
(4) Bendahara pengeluaran pembantu dalam melakukan penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan bukti pengeluaran yang sah.
(5) Bendahara pengeluaran pembantu wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengeluaran kepada bendahara pengeluaran paling fambat tanggal 5 bulan berikutnya.
(6)Laporan pertanggungjawaban pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
mencakup:
a.buku kas umum;
b.buku pajak PPN/PPh; dan
c.bukti pengeluaran yang sah.
(7)Bendahara pengeluaran melakukan verifikasi, evaluasi dan analisis atas laporan pertanggungjawaban pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6).

Pasal 223
(1)Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran melakukan pemeriksaan kas yang
dikelola oleh bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran sekurang kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
(2)Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran melakukan pemeriksaan kas yang dikelola oleh bendahara penerimaan pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.
(3)Pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam 74 berita acara pemeriksaan kas.
(4)Berita acara pemeriksaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan register penutupan kas sesuai dengan Lampiran D.XXI peraturan menteri ini.

Pasal 224
Bendahara pengeluaran yang mengelola belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, belanja tidak terduga, dan pembiayaan melakukan penatausahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 225
Pengisian dokumen penatausahaan bendahara pengeluaran dapat menggunakan aplikasi komputer dan/atau alat elektronik lainnya.

Pasal 226
Dalam hal bendahara pengeluaran berhalangan, maka:
a.apabila melebihi 3 (tiga) hari sampai selama-lamanya 1 (satu) bulan, bendahara pengeluaran tersebut wajib memberikan surat kuasa kepada pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pembayaran dan tugas-tugas bendahara pengeluaran atas tanggung jawab  bendahara pengeluaran yang bersangkutan dengan diketahui kepala SKPD;
b.apabila melebihi 1 (satu) bulan sampai selama-lamanya 3 (tiga) bulan, harus ditunjuk pejabat bendahara pengeluaran dan diadakan berita acara serah terima;
c.apabila bendahara pengeluaran sesudah 3 (tiga ) bulan belum juga dapat melaksanakan tugas, maka dianggap yang bersangkutan telah mengundurkan diri atau berhenti dari jabatan sebagai bendahara pengeluaran dan oleh karena itu segera diusulkan penggantinya.

Pasal 227
Ringkasan prosedur penatausahaan bendahara pengeluaran tercantum dalam Lampiran D.XXII peraturan menteri ini.

Tata cara penatausahaan dan penyusunan laporan pertanggungjawaban diaplikasikan dalam Permendagri Nomor 55 tahun 2008 tentang TATA CARA PENATAUSAHAAN DAN PENYUSUNAN LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA SERTA PENYAMPAIANNYA dan dijelaskan secara terperinci dalam Peraturan Daerah (PERDA), dimana didalam Peraturan Daerah tersebut mengatur tentang format dan bentuk serta jenis surat pertanggungjawaban.

PERTANGGUNGJAWABAN DAN PENYAMPAIANNYA
Bendahara pengeluaran wajib menyampaikan pertanggung-jawaban atas pengelolaan uang yang terdapat dalam kewenangannya. Pertanggungjawaban tersebut terdiri atas:
A.   pertanggungjawaban penggunaan UP
B.   pertanggungjawaban penggunaan TU
C.   pertanggungjawaban administratif
D.  pertanggungjawaban fungsional.

A. Pertanggungjawaban Penggunaan Uang Persediaan
Bendahara pengeluaran melakukan pertanggungjawaban penggunaan uang persediaan setiap akan mengajukan GU. Dalam melakukan pertanggungjawaban tersebut dokumen yang disampaikan adalah Laporan Pertanggungjawaban Uang Persediaan dan dilampiri dengan bukti-bukti belanja yang sah.
Langkah-langkah dalam membuat pertanggungjawaban uang persediaan adalah sebagai berikut:
1)   Mengumpulkan bukti-bukti yang sah atas belanja yang menggunakan uang persediaan termasuk bukti-bukti yang dikumpulkan oleh bendahara pengeluaran pembantu, jika ada sebagian uang persediaan yang sebelumnya dilimpahkan kepada bendahara pengeluaran pembantu
2)   Berdasarkan bukti-bukti yang sah tersebut bendahara pengeluaran merekapitulasi belanja kedalam Laporan Pertanggungjawaban Uang Persediaan sesuai dengan program dan kegiatannya masing-masing.
3)   Laporan Pertanggungjawaban Uang Persediaan tersebut dijadikan lampiran pengajuan SPP-GU 

A.   Pertanggungjawaban Penggunanan TU
Bendahara pengeluaran melakukan pertanggungjawaban penggunaan TU apabila TU yang dikelolanya telah habis/selesai digunakan untuk membiayai suatu kegiatan atau telah sampai pada waktu yang ditentukan sejak TU diterima.
Dalam melakukan pertanggungjawaban tersebut dokumen yang disampaikan adalah Laporan Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan. Dokumen ini dilampirkan dengan bukti-bukti belanja yang sah dan lengkap.

Langkah-langkah dalam membuat pertanggungjawaban TU adalah sebagai berikut:
1)   Bendahara pengeluaran mengumpulkan bukti-bukti belanja yang sah atas penggunaan tambahan uang persediaan.
2)   Apabila terdapat TU yang tidak digunakan bendahara pengeluaran melakukan setoran ke Kas Umum Daerah. Surat Tanda Setoran atas penyetoran itu dilampirkan sebagai lampiran laporan pertanggungjawaban TU.
3)   Berdasarkan bukti-bukti belanja yang sah dan lengkap tersebut dan bukti penyetoran sisa tambahan uang persediaan (apabila tambahan uang persediaan melebihi belanja yang dilakukan) bendahara pengeluaran merekapitulasi belanja kedalam Laporan Pertanggung-jawaban Tambahan Uang Persediaan sesuai dengan program dan kegiatannya yang dicantumkan pada awal pengajuan TU.
4)   Laporan pertanggungjawaban tersebut kemudian diberikan kepada Pengguna Anggaran melalui PPK SKPD.
5)   PPK SKPD kemudian melakukan verifikasi atas pertanggung-jawaban yang dilakukan oleh bendahara pengeluaran.
6)   Pengguna Anggaran kemudian menandatangani laporan pertanggungjawaban TU sebagai bentuk pengesahan.


B.   Pertanggungjawaban Fungsional

Pertanggungjawaban fungsional dibuat oleh bendahara pengeluaran dan disampaikan kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Pertanggungjawaban fungsional tersebut berupa Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang merupakan penggabungan dengan SPJ Bendahara Pengeluaran Pembantu. SPJ tersebut dilampiri dengan:
·         Laporan Penutupan Kas
·         SPJ Bendahara Pengeluaran Pembantu.

Pertanggungjawaban fungsional pada bulan terakhir tahun anggaran disampaikan paling lambat hari kerja terakhir bulan tersebut. Pertanggungjawaban tersebut dilampiri bukti setoran sisa uang persediaan.


C.   Pertanggungjawaban Administratif
Pertanggungjawaban administratif dibuat oleh bendahara pengeluaran dan disampaikan kepada Pejabat Pengguna Anggaran paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Pertanggungjawaban administratif tersebut berupa Surat Pertanggungjawaban (SPJ) yang menggambarkan jumlah anggaran, realisasi dan sisa pagu anggaran baik secara kumulatif maupun per kegiatan. SPJ ini merupakan penggabungan dengan SPJ Bendahara Pengeluaran Pembantu.
Pertanggungjawaban administratif berupa SPJ dilampiri dengan:
a.    Buku Kas Umum;
b.   Laporan Penutupan Kas; dan
c.    SPJ Bendahara Pengeluaran Pembantu.
Pertanggungjawaban administratif pada bulan terakhir tahun anggaran disampaikan paling lambat hari kerja terakhir bulan tersebut. Pertanggungjawaban tersebut harus dilampiri bukti setoran sisa uang persediaan.
Langkah-langkah dalam membuat dan menyampaikan SPJ bendahara pengeluaran adalah sebagai berikut:
1)    Bendahara pengeluaran menyiapkan laporan penutupan kas.
2)    Bendahara pengeluaran melakukan rekapitulasi jumlah-jumlah belanja dan item terkait lainnya berdasarkan BKU dan buku pembantu BKU lainnya serta khususnya Buku Pembantu Rincian Obyek untuk mendapatkan nilai belanja per rincian obyek.
3)    Bendahara pengeluaran menggabungkan hasil rekapitulasi tersebut dengan hasil yang ada di SPJ Bendahara pengeluaran pembantu.
4)    Berdasarkan rekapitulasi dan penggabungan itu, bendahara pengeluaran membuat SPJ atas pengelolaan uang yang menjadi tanggungjawabnya.
5)    Dokumen SPJ beserta BKU, laporan penutupan kas dan SPJ bendahara pengeluaran pembantu kemudian diberikan ke PPK SKPD untuk dilakukan verifikasi.
6)    Setelah mendapatkan verifikasi, Pengguna Anggaran menandatangani sebagai bentuk pengesahan.

Melihat dari sistematika pertanggung jawaban yang diatur oleh perundang-undangan, seharusnya telah menunjukkan suatu system yang baik, dan apabila diimplementasikan secara sesuai, maka pengelolaan keuangan pemerintah akan berjalan dengan baik pula. Tetapi dalam pelaksanaanya terbukti masih banyak sekali ditemukan pelanggaran serta penyimpangan anggaran yang berakibat terjadinya Tindak Pidana Korupsi.
Menurut hasil survey Transparancy Internasional Indonesia, dari data Global Corruption Barometer  Tahun 2017 versi Indonesia, “Birokrasi termasuk didalam 3 Besar menjadi Institusi atau lembaga yang paling Korup, disamping lembaga DPR dan POLRI“ 
Korupsi dalam Black’s Law Dictionary adalah “suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain
(Henry Cambell Black, 1990)

Pengertian korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikelompokan menjadi: (1) delik yang dapat merugikan keuangan negara; (2) delik penyuapan; (3) delik penggelapan; (4) delik pemerasan dalam jabatan; (5) delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan. Dengan memahami pengertian korupsi, diharapkan pemberantasan korupsi dalam bentuk pencegahan dan penindakan dapat diwujutkan, sehingga pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.

Sampai saat ini masih terdapat kecenderungan bahwa segala permasalahan hanya dapat diselesaikan dengan undang-undang, padahal hukum baru bermakna apabila dijalankan dan ditegakkan dalam praktek secara nyata. Jika penerapan suatu peraturan perundang-undangan tidak dilakukan secara integral dan tidak diikuti upaya sistemik lainnya, terutama tindakan pencegahan, maka penegakan hukum tersebut masih kurang maknanya dalam upaya pemberantasan korupsi
(Marwan Effendy, 2012: 6)

Harus kita sadari bahwa sanksi pidana saja tidak dapat menjamin turunnya perilaku yang koruptif dari masyarakat. Perilaku yang koruptif tersebut tumbuh subur karena  dorongan dari masyarakat sendiri, yang ingin mendapatkan pelayanan secara instan tanpa  melalui prosedure yang baku. Perilaku sebagian masyarakat yang demikian itu secara tidak sadar telah menghancurkan integritas para petugas, penguasa atau pihak-pihak yang berwenang.

Masalah penanggulangan korupsi melalui upaya pencegahan dalam konferensi ketiga PBB di Doha tanggal 9 s/d 13 Nopember 2009 yang telah lalu, dari 4 resolusi yang dihasilkan ternyata masalah pencegahan masih mendapat perhatian yang serius dari peserta konferensi tersebut. Hal itu terlihat bahwa dari 4 resolusi yang dihasilkan tersebut, masalah pencegahan ditempatkan pada urutan kedua setelah kajian mekanisme penanggulangan
tindak pidana korupsi.

Selanjutnya urutan ketiga pengembalian aset dan yang keempat bantuan teknis( Marwan Effendy, 2012: 7)

Korupsi terkait dengan berbagai permasalahan, tidak hanya masalah hukum dan penegakannya, tetapi juga menyangkut masalah moral/sikap mental, masalah pola hidup, budaya dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan ekonomi dan kesenjangan social ekonomi, masalah sistem ekonomi, masalah sistem politik, serta masalah mekanisme  pembangunan dan lemahnya birokrasi administrasi termasuk sistem pengawasan di bidang keuangan dan pelayanan publik. Jadi kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen  untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), antara lain bisa di bidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, birokrasi/administrasi
(Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008: 71)

Upaya pemerintah untuk memberantas korupsi sudah dimulai sejak tahun 1957 dengan membuat peraturan perundang-undangan sebagai alat untuk memberantas korupsi, antara lain:
1.   Peraturan Penguasa Militer untuk Daerah Kekuasaan Angkatan Darat No. Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957 tentang Pemberantasan Koropsi;
2.   Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957 tentang Penilikan Terhadap Harta Benda;
3.   Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.Prt/Peperpu/013/1958, 13 April 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda;
4.   Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No.Prt/Z.I/I/7 tanggal 17 April 1958;
5.   Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 Tahun 1960 tanggal 9 Juni 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1961 telah menjadi Undang-Undang dan disebut Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960, sejak tanggal 1 Januari 1961;
6.   Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
7.   Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
8.   Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
9.   Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
10.        Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Di samping itu Pemerintah juga telah mengeluarkan:
1.   Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tanggal 5 April 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2.   Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tanggal 21 Agustus 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(S. Anwary, 2005: 133-134).

Ternyata peraturan perundang-undangan tersebut belum memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Masalah hukum yang menjadi tuntutan adalah mengenai penegakan dan penerapannya, atau law enforcement. Sesungguhnya hukum berperan untuk mengantarkan masyarakat kepada kesejahteraan dalam hidupnya
(Jeremy Bentham, 2006: 26)

Seorang filosof hukum aliran realisme bernama Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itubukan apa-apa (law is nothing)
(Antonius Sujata, 2000: 6)

Pendapat itu cukup masuk akal bagi Indonesia karena terbukti bahwa dengan banyaknya aturan, ternyata juga makin banyak tuntutan. Secara lengkap Wilhelm Lundsted kemudian menegaskan bahwa hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan, hukum bukan apa-apa
(Satjipto Rahardjo, 2008: 6)

Satjipto Rahardjo menyatakan penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hokum. Penegakan hukum dimulai dari pembuatan sampai ke pelaksanaan undang-undang tersebut. Keinginan-keinginan hukum dilakukan melalui manusia, sehingga manusia yang menjalankan penegakan hukum benar-benar menempati kedudukan yang penting dan menentukan
(Satjipto Rahardjo, 2009: 1-2).

Relevan dengan hal tersebut B.M. Taverne menyatakan: berikan padaku hakim yang baik, jaksa yang baik serta polisi yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun, saya bisa mendatangkan keadilan. Artinya,bagaimanapun lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung aparatur penegak hukum yang baik, memiliki moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk
(Satjipto Rahardjo, 2007: 6).

Penguatan pada sistem pertanggung jawaban pengelolaan keuangan Negara, akan berimplikasi langsung terhadap lembaga lainnya. (M.Henry Faisal,SH,MH) Oleh karena itu diperlukan Suatu sistem untuk mendukung peraturan yang ada, sebagai upaya untuk pencegahan Tindak Pidana Korupsi pada Aparatur Sipil Negara .

No comments:

Post a Comment

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...