Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Sunday, October 6, 2019

Filsafat Hukum Pancasila


 Image result for pancasila

Pandangan hidup bangsa Indonesia sejak dari dahulu hingga kini adalah Pancasila. Dalam dinamika proses‑proses kemasyaraka­tan, Pancasila diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang kehidupan hukum. Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan ketentuan‑ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila. Keseluruhan Tata Hukum sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan penjaba­ran atau penerapan 

Pancasila pada bidang hukum, dapat disebut Hukum Pancasila.

Hukum Pancasila sebagai hukum positif tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat Indonesia untuk mengatur dan mewujudkan ketertiban yang adil dalam kehidupan kemasyarakatan di Indonesia. Karena itu, Hukum Pancasila dapat juga disebut Hukum (Nasional) Indonesia. Proses terbentuknya peraturan‑peratuan hukum positif itu dapat melalui tindakan nyata para warga masya­rakat dalam menjalani kehidupan sehari‑hari. Dalam hal ini, maka terbentuklah hukum tidak tertulis. Proses terbentuknya peraturan hukum itu dapat juga terjadi secara disengaja melalui keputusan‑keputusan para pejabat, yuris­prudensi dan perundang‑undangan. Produk dari keseluruhan proses pembentukan peraturan hukum positif itu mewujudkan Tata Hukum. Hukum Adat yang tumbuh dari dan di dalam lingkungan‑lingkungan masyarakat Adat Indonesia, juga merupakan penjelmaan Pancasila pada bidang hukum pada tahap perkembangan tertentu. Karena itu, Hukum Adat adalah bagian dari Hukum (Nasional) Indonesia. Tentu saja, dalam proses dinami­ka perkembangan masyarakat dapat terjadi adanya peraturan-peraturan hukum (adat) positif dan institusi‑institusi hukum (adat) yang sudah tidak sesuai dan tidak memenuhi lagi kebutuhan konkret masyarakat dan para anggotanya. Hal ini dapat juga ter­jadi pada produk perundang‑undangan dan keputusan-keputusan peja­bat lainnya. Dalam keadaan demikian, maka dipaksakannya penerapan peraturan‑peraturan dan institusi‑institusi hukum itu akan tidak lagi merupakan penjelmaan Pancasila dalam situasi konkret. Adalah bijaksana jika peraturan‑peraturan dan institusi‑institusi itu diubah dan disesuaikan pada kenyataan yang riil. Sebab arti dan makna konkret suatu asas (nilai, kaidah) selalu ditentukan oleh kenyataan yang riil yang di dalamnya asas itu hendak di realisasikan (kontekstual dan karena itu historisch bepaald). Yang penting adalah bahwa segala sesuatu dilaksanakan mela­lui prosedur-prosedur berdasarkan hukum serta dijiwai oleh Panca­sila, sebagai landasan kefilsafatan dan norma kritik bagi Tata Hukum Indonesia.


Pada bagian ini akan dibicarakan gagasan atau cita-hukum (the idea of law, rechtsidee) dalam alam pikiran berdasarkan Pancasila.

Hukum timbul dari rasa wajib yang tertanam dalam jiwa manusia, yakni dalam akalbudi dan budi-nurani manusia, yang mengharuskan manusia bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu terhadap dan berkenaan dengan adanya manusia (manusia-manusia) lain, untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat, sedemikian rupa sehingga martabat dan kodrat manusia tidak tertin­das. Keharusan itu menimbulkan hak untuk menuntut agar apa yang diharuskan dilaksanakan; jadi, adanya kewajiban itu sekaligus menimbulkan hak. Kewajiban bersikap dan berperilaku tertentu terhadap orang lain itu dirasakan sebagai apa yang sudah sepan­tasnya dan seadilnya menjadi hak orang lain itu. Manusia merasa berwajib dan dituntut untuk memberikan kepada orang lain apa yang menjadi bagiannya atau haknya. Kewajiban dan hak itu timbul karena dan di dalam hubungan antar-manusia; jadi, adanya hak dan kewajiban itu mengatur hubungan antar-manusia. Hak dan kewajiban itu selalu berarti dan hanya dapat dipahami sebagai hak dan kewajiban terha­dap manusia atau manusia‑manusia lain. Jadi, hak dan kewajiban itu menunjuk atau mengungkapkan hubungan antar-manusia. Karena itu, hukum pada hakikatnya adalah hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat.

Hukum mewujudkan diri sebagai proses‑proses sosial pengaturan atau pengkaidahan cara berperilaku. Proses sosial itu menghasilkan kaidah‑kaidah hukum. Hukum adalah pengaturan perilaku manusia dalam menyelenggarakan hubungan antar-sesamanya di dalam masyara­kat. Sebagai pengaturan perilaku, selain untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat, hukum juga dimaksudkan untuk mewujud­kan asas keadilan. Karena itu, hukum diarahkan untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagiannya sesuai dengan jasa atau apa yang telah diberikannya; memberikan perlakuan yang sama menurut proporsinya, memberikan imbalan sesuai dengan kecakapan dan jasanya terhadap masyarakat, dan memberikan hukuman sesuai dengan kesalahannya. Kesemuanya ini adalah akibat yang timbul dari kenyataan bahwa keberadaan manusia dikodratkan berstruktur ada-bersama-dengan-sesamanya (ada dalam kebersamaan dengan sesamanya). Karena manusia dikodratkan ada bersama dengan sesamanya dalam masyarakat, maka manusia tidak dapat mengelakkan diri dari kebera­daan dalam pergaulan dengan sesamanya. Justru karena itu, maka ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat yang dikehendaki (yang manusiawi) adalah yang tidak kaku, yang semata‑mata hanya berdasarkan perhitungan untung‑rugi saja, yang (dapat) mewujudkan keterti­ban yang menekan perkembangan kemanusiaan.

Yang dikehendaki adalah ketertiban dan keteraturan yang bersua­sana ketenteraman batin, kesenangan bergaul di antara sesamanya, keramahan dan kesejahteraan yang memungkinkan terselenggaranya interaksi antar-manusia yang sejati. Karena itu, hukum yang diji­wai oleh Pancasila adalah hukum yang berasaskan semangat keruku­nan. Karena itu juga hukum secara langsung diarahkan untuk mewu­judkan keadilan sosial yang memberikan kepada masyarakat sebagai kesatuan dan masing‑masing warga masyarakat kesejahteraan (mater­ial dan spiritual) yang merata dalam keseimbangan yang propor­sional. 

Terpaut pada asas kerukunan adalah asas kepatutan. Asas ini juga adalah asas tentang cara menyelenggarakan hubungan antar-warga masyarakat yang di dalamnya para warga masyarakat diharapkan untuk berperilaku dalam kepanta­san yang sesuai dengan kenyataan‑kenyataan sosial. Juga dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang sah menurut hukum, para warga masyarakat diharapkan untuk memperhatikan kepantasan, yakni dari para warga masyarakat diharapkan berperilaku sedemikian rupa hingga tidak merendahkan martabatnya sendiri dan atau orang lain.

Sifat lain yang memberikan ciri pada Hukum Pancasila adalah asas keselarasan. Asas ini menghendaki terselenggaranya harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan asas ini, maka penye­lesaian masalah‑masalah konkret, selain harus didasarkan pada pertimbangan kebenaran dan kaidah‑kaidah hukum yang berlaku, juga harus dapat diakomodasikan pada proses‑proses kemasyarakatan sebagai keseluruhan yang utuh dengan mempertimbangkan perasaan‑perasaan yang sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat.

Karena itu dari para warga masyarakat dan pelaksana hukum diharapkan kepatutan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, sedemikian sehingga kerukunan dan kesejahteraan bermasyarakat dapat diperta­hankan dan dikembangkan. 

Asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan sebagai ciri‑ciri khas dari Hukum Pancasila dapat dicakup denagn satu istilah, yakni sifat kekeluargaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Hukum Pancasila adalah hukum bersemangat kekeluargaan. Semangat kekeluargaan menunjuk pada sikap yang berdasarkannya kepribadian setiap warga masyarakat diakui dan dilindungi oleh masyarakat. 

Tujuan hidup manusia adalah mewujudkan kebahagiaan. Dalam bahasa filsafat dikatakan, bahwa tujuan hidup manusia itu adalah mewujudkan kehidupan yang sempurna, atau setidak‑tidaknya menjal­ani kehidupan yang sesempurna mungkin sebagai manusia, yakni dengan mengembangkan semua potensi‑potensi manusiawi yang ada dalam dirinya secara utuh.

Tiap manusia akan berupaya untuk mewujudkan tujuan hidupnya masing‑masing. Upaya itu dilaksanakan dengan menjalankan perilaku. Hanya dengan perilaku, manusia dapat mewujudkan tujuan hidupnya. Tetapi, perilaku saja tidak cukup; untuk dapat mewujudkan tujuan hidupnya itu, manusia juga perlu mempergunakan berbagai hal lain yang ada di luar dirinya, misalnya benda mati dan binatang. Karena kodrat kebersamaan dengan sesamanya, maka segala upaya yang dilakukan manusia itu berlangsung dalam hubungan‑hubungan kemasyarakatan. Di lain pihak, terbawa oleh kodratnya, manusia tidak dapat dijadikan obyek dan alat oleh sesamanya tanpa meniadakan kemanusiaannya. Karena setiap manusia memerlukan ben­da-benda dan binatang‑binatang itu untuk memenuhi tujuan hidupnya masing‑masing, dan tidak ada seorang pun yang mau dijadikan obyek atau alat oleh orang lain, maka di dalam hubungan kemasyarakatan itu dengan sendirinya timbul pengertian hak bahwa setiap manusia sama‑sama mempunyai hak untuk menggunakan benda‑benda dan bina­tang‑binatang itu serta untuk tidak dijadikan obyek atau alat oleh orang lain; dan bersamaan dengan itu timbul pengertian hu­kum Dapat kita pahami, pelaksanaan hak untuk hidup dan mencapai tujuan hidup masing‑masing tidak mungkin terjadi secara wajar bila di dalam masyarakat terdapat kekacauan. Dengan kata lain, manusia memerlukan terselenggaranya ketertiban dan keteraturan di dalam masyarakat. Karena ketertiban dan keteraturan itu diwujudkan dalam perilaku manusia, maka diperlukan sejumlah peraturan perilaku yang kepatuhannya tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada kemauan bebas setiap manusia. Peraturan‑peraturan perilaku yang demikian itu disebut hukum, yang pelaksanaannya harus dapat dipaksakan oleh otoritas publik. Jadi, dapatlah disimpulkan, bahwa salah satu tujuan dari hukum adalah mengatur perilaku manusia di dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan, jika perlu dengan paksaan, sehingga terwujud ketertiban dan keteraturan, secara singkat: mewujud­kan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.

Tetapi, ketertiban dan ketenteraman itu bukanlah tujuan akhir dari hukum, melainkan tujuan antara. Sebab, di dalam masyarakat dapat saja, dengan menggunakan kekuatan, dipaksakan suatu ke­tertiban yang bersifat tiranik, yang menindas nilai‑nilai manus­iawi. Tujuan lebih jauh dari hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati di dalam masyarakat. Kedamaian sejati akan terwujud, bila­mana setiap warga masyarakat merasakan ketenteraman dalam batin­nya. Para warga masyarakat akan merasa tenteram, bilamana:
a.    ia yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan, termasuk hal mempertahankan, haknya tidak tergantung pada kekuatan. Selain dari itu, perasaan tenteram akan ada;
b.      bilamana para warga masyarakat merasa yakin, bahwa sepanjang tidak melanggar hak dan tidak merugikan orang lain, tanpa pera­saan khawatir, secara bebas dapat menjalankan apa yang diyakininya sebagai benar;
c.        secara bebas ia dapat mengembangkan bakat‑bakat dan kese­nangannya;
d.      ia akan selalu mendapat perlakuan secara wajar dan berperikemanusiaan, adil dan beradab, juga ketika ia telah melakukan suatu kesalahan
 
Dalam tujuan hukum yang digambarkan tadi, secara implisit, sudah mencakup tujuan lain dari hukum, yakni mewujudkan keadilan. Kelangsungan ketertiban dan kedamaian sangat tergantung pada terlaksananya keadilan. Karena itu, terselenggaranya keadilan adalah sangat esensial dalam mewujudkan hukum. Pengertian keadi­lan meliputi beberapa aspek.
 
Secara umum dikatakan, bahwa keadilan berarti dengan sukare­la secara tetap dan mantap terus menerus memberikan kepada tiap orang apa yang memang sudah menjadi bagiannya atau haknya (Iusti­tia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere). Berdasarkan rumusan tadi, pengertian keadilan dapat dibedakan dalam beberapa aspek  berikut ini. Keadilan Distributif (iustitia distributiva) adalah keadilan yang berupa kewajiban pimpinan masyarakat untuk memberikan kepada para warga masyarakat beban sosial, fungsi‑fungsi, balas jasa dan kehormatan secara proporsional (seimbang) dengan kecakapan dan jasa masing‑masing. Keadilan Komutatif (iustitia commutativa) adalah kadilan yang berupa kesenilaian antara prestasi dan kontra-prestasi, anta­ra jasa dan balas jasa dalam hubungan‑hubungan antar-warga, atau, dilihat dari sudut pemerintah memberikan kepada setiap warga secara sama tanpa menghiraukan perbedaan‑perbedaan keadaan priba­di ataupun jasanya. Keadilan Vindikatif (iustitia vindicativa) adalah keadilan yang berupa memberikan ganjaran (hukuman) sesuai dengan kesalahan yang bersangkutan. Keadilan Protektif (iustitia protectiva) adalah keadilan berupa perlindungan yang diberikan kepada setiap manusia, sehingga tak seorangpun akan mendapat perlakuan sewenang‑wenang. 

Rumusan‑rumusan tentang keadilan tadi adalah rumusan yang abstrak. Isi dari rumusan‑rumusan tadi akan ditentukan oleh kondisi yang di dalamnya keadilan hendak diwujudkan. Yang pasti adalah, bahwa keadi­lan menuntut bahwa setiap orang tanpa kecuali berkewajiban untuk bertindak sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya oleh hukum; pengertian hukum di sini tidak selalu berarti hukum positif.

Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian, serta keadilan dapat dirumuskan dengan satu istilah, yakni Pengayoman (Perlindungan). Jadi, secara singkat padat, tu­juan hukum adalah untuk mengayomi manusia. Tetapi, mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang‑wenang dan pelanggaran hak saja. Melainkan, juga meliputi pengertian melindungi secara ak­tif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendo­rong manusia untuk selalu memanusiakan diri terus menerus. Jadi, dalam alam pikiran Pancasila, tujuan hukum adalah untuk menciptakan kondisi sosial yang manusiawi sedemikian sehingga memungkinkan proses sosial berlangsung secara wajar, di dalamnya secara adil setiap manu­sia mendapat kesempatan yang seluas‑luasnya untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. Termasuk dalam rumusan tadi adalah tujuan hukum untuk memelihara dan mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita‑cita moral rakyat yang luhur ber­dasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain dari itu, hukum juga secara langsung melalui peraturan‑peraturannya mendorong setiap manusia untuk memanusiakan diri.                                  
 

Secara umum, dapat dikatakan, bahwa tugas/fungsi hukum adalah mengatur hubungan‑hubungan kemasyarakan antar-para warga masyara­kat satu sama lain dan antara para warga masyarakat dan masyara­kat sebagai keseluruhan (negara), sedemikian rupa sehingga terse­lenggara ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Jadi, tugas/fungsi hukum pertama‑tama adalah untuk mengabdi kepada ke­tertiban dan keadilan.

Untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, maka tugas hukum adalah menciptakan keteraturan dan kepastian hukum, yakni kepas­tian yang diciptakan oleh hukum dan kepastian di dalam hukum itu sendiri. Dalam mewujudkan fungsi ini, maka tugas dari hukum adalah untuk menciptakan, menegakkan, memelihara dan mempertahankan keamanan dan ketertiban yang adil. Ini berarti, bahwa hukum juga berfung­si sebagai sistem mekanisme pengendalian sosial untuk memelihara stabilitas sosial poitik .
           Untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang dikemukakan tadi, maka tugas hukum adalah melalui peraturan‑peraturannya mencoba menyelaraskan (mengakomodasikan) kepentingan-kepentingan para warga masyarakat dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, serta antara kepentingan warga masyarakat dan masyarakat. Tercakup dalam peng­ertian tugas hukum itu tadi adalah tugas untuk mengatur kehidupan ekonomi masyarakat sedemikian rupa sehingga setiap warga masyara­kat akan mampu secara wajar memenuhi segala kebutuhannya. Jadi, hukum juga pada dasarnya bertugas untuk secara adil mendistribusi kekayaan (pendapatan) masyarakat. Dengan perkataan lain, di samp­ing menjaga keamanan, hukum juga harus mencegah terjadinya ke­pincangan dan ketidak adilan di dalam masyarakat. Secara positif, hukum juga bertugas untuk mewujudkan keadilan sosial. Terwujud­nya keadilan sosial akan menimbulkan perasaan tenteram dalam batin para warga masyarakat. Dengan terpeliharanya perasaan tent­eram itu, maka ketertiban akan mempunyai akar yang kuat. Telah dikemukakan, bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujud­kan keadilan. Tetapi, keadilan mensyaratkan terselenggaranya ketertiban; tanpa ketertiban, praktis tidak mungkin atau sulit sekali mewujudkan keadilan. Sebaliknya, ketertiban hanya mungkin bertahan lama jika ketertiban berakar pada ketenteraman masyara­kat. Karena itu, maka hukum juga bertugas untuk menciptakan per­aturan‑peraturan tentang prosedur proses-proses pengaturan (pengkaidahan, penormaan) perilaku dan cara‑cara melaksanakan serta memperta­hankan peraturan‑peraturan hukum, yang selain efektif juga harus memenuhi rasa keadilan.
       Dalam kondisi masyarakat yang sedang berada dalam keadaan stabil, maka tugas/fungsi hukum adalah hanya memelihara dan mem­pertahankan keamanan, ketertiban dan keteraturan. Tetapi, dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan-perubahan dan sedang melak­sanakan pembangunan, maka tugas/fungsi hukum memelihara keamanan dan ketertiban saja tidak cukup, apalagi dalam masa perubahan-perubahan kemasyarakatan dan pembangunan pada masa kini.
       Perubahan kemasyarakatan adalah proses‑proses perubahan dalam tata nilai yang menjiwai masyarakat.  Perubahan tata nilai itu meliputi juga perubahan-perubahan dalam sikap dan pola perilaku. Sebelum perubahan itu mengendap dan menjadi mantap, maka terjadi situasi  yang di dalamnya di samping tata nilai yang baru, masih tetap berlaku tata  nilai yang lama yang jalin menjalin secara kabur. Tata nilai itu sendiri adalah hasil dari pengalaman interaksi antar-warga ma­syarakat dalam proses kehidupan bermasyarakat. Tetapi, sekali tata nilai terbentuk dan memperoleh kemantapan, maka ia akan mempengaruhi dan membentuk sikap serta pola perilaku para warga masya­rakat. Sedangkan tata hukum mencerminkan tata nilai yang berla­ku. Dengan demikian terlihat bahwa antara tata nilai, hukum dan perubahan kemasyarakatan terdapat hubungan yang erat. Bilamana dalam masyarakat terjadi perubahan dalam tata nilai dan sikap serta pola perilaku para warganya, maka hukum bertugas untuk memberikan bentuk hukum melalui perubahan dan/atau pencip­taan peraturan‑peraturan hukum baru pada perubahan-perubahan yang sudah terjadi. Hal ini perlu untuk dapat tetap memelihara dan mempertahankan ketertiban dan kepastian (hukum) dalam masyarakat.
       Tetapi perubahan kemasyarakatan yang kini tengah berlang­sung, menciptakan masalah-maslah yang sangat majemuk yang hanya dapat ditanggulangi dengan pembangunan berencana. Perubahan hukum tidak dapat lagi menunggu mengendapnya hasil proses perubahan kemasyarakatan itu. Sebab, perencanaan dan pelaksanaan pemban­gunan secara langsung dihadapkan pada masalah‑masalah yang maje­muk sehubungan dengan berlakunya dua tata‑nilai (lama dan baru) pada waktu bersamaan. Sikap dan pola perilaku para warga masyara­kat, termasuk sebagian dari pimpinan masyarakat masih belum menguntungkan bagi berhasilnya upaya melaksanakan pembangunan berencana yang diinginkan. Padahal penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan para warganya sudah sangat mendesak, namun penyelesaian itu harus tetap berlangsung dengan cara yang tidak menindas martabat manusia. Ini berarti, bahwa pelaksanaan pembangunan berencana itu harus tetap berdasarkan hukum. Karena itu, maka hukum selain harus tetap mengatur ketertiban dan meme­lihara keamanan, juga bertugas untuk membuka jalan dan saluran baru dalam sistem kehidupan bermasyarakat agar segala upaya pemban­gunan berlangsung dengan lancar tanpa menimbulkan kepincangan dan menimbulkan ketidak adilan dalam masyarakat (jurang yang semakin lebar antara yang miskin dan yang kaya). Jadi, hukum juga ber­fungsi sebagai prasarana pembangunan. Sebagai prasarana pembangu­nan, tugas hukum adalah membentuk peraturan‑peraturan hukum yang dapat menyalurkan kegiatan masyarakat secara tertib teratur dan membagi pendapatan masyarakat secara merata dan adil.

Sehubungan dengan sikap serta pola perilaku yang masih ter­paku pada tata nilai lama, maka hukum bertugas untuk mempercepat proses pendidikan masyarakat kearah sikap serta pola perilaku yang paling sesuai dengan masyarakat yang dicita‑citakan. Ini adalah fungsi hukum sebagai prasarana pendidikan. Tujuannya ada­lah untuk memungkinkan terjadinya pembangunan dengan cara yang teratur tanpa menindas martabat kemanusiaan para warga masyara­kat

Wilayah Indonesia merupakan sebuah kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku yang masing‑masing memiliki dan hidup dalam atau dengan adat‑istiadat, hukum adat dan bahasa sendiri‑sendiri. Kondisi ini, selain dapat menghambat proses pembangunan, juga tidak mengun­tungkan bagi upaya mewujudkan dan mengembangkan cita‑cita persa­tuan dan kesatuan sebagai satu bangsa yang utuh. Kesadaran nasional adalah juga salah satu dari manifestasi tata nilai. Karena itu, menumbuhkan kesadaran nasional secara nyata berarti mengembangkan nilai‑nilai sosial-budaya di dalam masyarakat.
 
Berhubung segala hal yang menyangkut hidup manusia harus selalu dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional, maka usaha pengembangan nilai-nilai sosial-budaya pun harus dilaksanakan berdasarkan hukum. Dengan demikian, maka hukum juga bertugas untuk meningkatkan kesadaran hukum nasional sehingga kesadaran nasional itu semakin tebal dan semakin nyata dirasakan dan dihayati oleh seluruh warganegara Republik Indonesia. Jadi hukum juga berfungsi untuk secara aktif mempengaruhi perkembangan tata nilai dan tumbuhnya nilai‑nilai sosial budaya yang baru. Ini adalah fungsi sosial budaya dari hukum.

Fungsi hukum sebagai prasarana pendidikan dan fungsi sosial-budaya dari hukum bersama-sama mewujudkan atau berakar dalam fungsi hukum sebagai prasarana pengadaban masyarakat (yakni sarana untuk mengadabkan dan meningkatkan keadaban para warga masyarakat).   
  
Fungsi sebagai prasarana pembangunan, prasarana pendidikan sosial dan prasarana pengembangan sosial budaya itu, sudah barang tentu, harus dilaksanakan dengan melakukan pen­ciptaan peraturan‑peraturan hukum yang baru melalui prosedur yang sah dengan tetap berpijak pada hukum dan tata nilai yang berlaku, namun diorientasikan ke masa depan, segala sesuatu dengan mem­perhitungkan kenyataan‑kenyataan sosial lainnya yang ada.  


 


No comments:

Post a Comment

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...