
Pandangan hidup bangsa Indonesia sejak dari dahulu hingga
kini adalah Pancasila. Dalam dinamika proses‑proses kemasyarakatan, Pancasila
diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang kehidupan hukum.
Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan
ketentuan‑ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila.
Keseluruhan Tata Hukum sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan
penjabaran atau penerapan
Pancasila pada bidang hukum, dapat disebut Hukum
Pancasila.
Hukum Pancasila sebagai hukum positif
tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat Indonesia
untuk mengatur dan mewujudkan ketertiban yang adil dalam kehidupan
kemasyarakatan di Indonesia.
Karena itu, Hukum Pancasila dapat juga disebut Hukum (Nasional) Indonesia.
Proses terbentuknya peraturan‑peratuan hukum positif itu dapat melalui tindakan
nyata para warga masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari‑hari. Dalam hal
ini, maka terbentuklah hukum tidak tertulis. Proses terbentuknya peraturan
hukum itu dapat juga terjadi secara disengaja melalui keputusan‑keputusan para
pejabat, yurisprudensi dan perundang‑undangan. Produk dari keseluruhan proses
pembentukan peraturan hukum positif itu mewujudkan Tata Hukum. Hukum Adat yang
tumbuh dari dan di dalam lingkungan‑lingkungan masyarakat Adat Indonesia,
juga merupakan penjelmaan Pancasila pada bidang hukum pada tahap perkembangan
tertentu. Karena itu, Hukum Adat adalah bagian dari Hukum (Nasional) Indonesia.
Tentu saja, dalam proses dinamika perkembangan masyarakat dapat terjadi adanya
peraturan-peraturan hukum (adat) positif dan institusi‑institusi hukum (adat)
yang sudah tidak sesuai dan tidak memenuhi lagi kebutuhan konkret masyarakat
dan para anggotanya. Hal ini dapat juga terjadi pada produk perundang‑undangan
dan keputusan-keputusan pejabat lainnya. Dalam keadaan demikian, maka
dipaksakannya penerapan peraturan‑peraturan dan institusi‑institusi hukum itu
akan tidak lagi merupakan penjelmaan Pancasila dalam situasi konkret. Adalah
bijaksana jika peraturan‑peraturan dan institusi‑institusi itu diubah dan
disesuaikan pada kenyataan yang riil. Sebab arti dan makna konkret suatu asas
(nilai, kaidah) selalu ditentukan oleh kenyataan yang riil yang di dalamnya
asas itu hendak di realisasikan (kontekstual dan karena itu historisch bepaald). Yang penting adalah
bahwa segala sesuatu dilaksanakan melalui prosedur-prosedur berdasarkan hukum
serta dijiwai oleh Pancasila, sebagai landasan kefilsafatan dan norma kritik
bagi Tata Hukum Indonesia.
Pada bagian ini akan dibicarakan
gagasan atau cita-hukum (the idea of law,
rechtsidee) dalam alam pikiran berdasarkan Pancasila.
Sifat lain yang
memberikan ciri pada Hukum Pancasila adalah asas keselarasan. Asas ini menghendaki terselenggaranya harmoni
dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan asas ini, maka penyelesaian masalah‑masalah
konkret, selain harus didasarkan pada pertimbangan kebenaran dan kaidah‑kaidah
hukum yang berlaku, juga harus dapat diakomodasikan pada proses‑proses
kemasyarakatan sebagai keseluruhan yang utuh dengan mempertimbangkan perasaan‑perasaan
yang sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat.
Karena itu dari para warga masyarakat
dan pelaksana hukum diharapkan kepatutan dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya, sedemikian sehingga kerukunan dan kesejahteraan bermasyarakat
dapat dipertahankan dan dikembangkan.
Asas
kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan sebagai ciri‑ciri khas dari
Hukum Pancasila dapat dicakup denagn satu istilah, yakni sifat kekeluargaan.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa Hukum Pancasila adalah hukum bersemangat
kekeluargaan. Semangat kekeluargaan menunjuk pada sikap yang berdasarkannya
kepribadian setiap warga masyarakat diakui dan dilindungi oleh masyarakat.
Tujuan hidup manusia adalah
mewujudkan kebahagiaan. Dalam bahasa filsafat dikatakan, bahwa tujuan hidup
manusia itu adalah mewujudkan kehidupan yang sempurna, atau setidak‑tidaknya
menjalani kehidupan yang sesempurna mungkin sebagai manusia, yakni dengan
mengembangkan semua potensi‑potensi manusiawi yang ada dalam dirinya secara
utuh.
Tetapi, ketertiban dan ketenteraman itu
bukanlah tujuan akhir dari hukum, melainkan tujuan antara. Sebab, di dalam
masyarakat dapat saja, dengan menggunakan kekuatan, dipaksakan suatu ketertiban
yang bersifat tiranik, yang menindas nilai‑nilai manusiawi. Tujuan lebih jauh
dari hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati di dalam masyarakat. Kedamaian sejati akan terwujud, bilamana
setiap warga masyarakat merasakan ketenteraman dalam batinnya. Para warga masyarakat akan merasa tenteram, bilamana:
a. ia yakin bahwa
kelangsungan hidup dan pelaksanaan, termasuk hal mempertahankan, haknya tidak
tergantung pada kekuatan. Selain dari itu, perasaan tenteram akan ada;
b.
bilamana para warga masyarakat merasa yakin, bahwa
sepanjang tidak melanggar hak dan tidak merugikan orang lain, tanpa perasaan
khawatir, secara bebas dapat menjalankan apa yang diyakininya sebagai benar;
c. secara
bebas ia dapat mengembangkan bakat‑bakat dan kesenangannya;
d.
ia akan selalu mendapat perlakuan secara wajar dan
berperikemanusiaan, adil dan beradab, juga ketika ia telah melakukan suatu
kesalahan
Secara umum dikatakan, bahwa keadilan
berarti dengan sukarela secara tetap dan mantap terus menerus memberikan
kepada tiap orang apa yang memang sudah menjadi bagiannya atau haknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas
ius suum cuique tribuere). Berdasarkan rumusan tadi, pengertian keadilan
dapat dibedakan dalam beberapa aspek
berikut ini. Keadilan Distributif (iustitia
distributiva) adalah keadilan yang berupa kewajiban pimpinan masyarakat
untuk memberikan kepada para warga masyarakat beban sosial, fungsi‑fungsi,
balas jasa dan kehormatan secara proporsional (seimbang) dengan kecakapan dan
jasa masing‑masing. Keadilan Komutatif (iustitia
commutativa) adalah kadilan yang berupa kesenilaian antara prestasi dan
kontra-prestasi, antara jasa dan balas jasa dalam hubungan‑hubungan
antar-warga, atau, dilihat dari sudut pemerintah memberikan kepada setiap warga
secara sama tanpa menghiraukan perbedaan‑perbedaan keadaan pribadi ataupun
jasanya. Keadilan Vindikatif (iustitia
vindicativa) adalah keadilan yang berupa memberikan ganjaran (hukuman)
sesuai dengan kesalahan yang bersangkutan. Keadilan Protektif (iustitia protectiva) adalah keadilan
berupa perlindungan yang diberikan kepada setiap manusia, sehingga tak
seorangpun akan mendapat perlakuan sewenang‑wenang.
Rumusan‑rumusan tentang keadilan tadi
adalah rumusan yang abstrak. Isi dari rumusan‑rumusan tadi akan ditentukan oleh
kondisi yang di dalamnya keadilan hendak diwujudkan. Yang pasti adalah, bahwa
keadilan menuntut bahwa setiap orang tanpa kecuali berkewajiban untuk
bertindak sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya oleh hukum; pengertian
hukum di sini tidak selalu berarti hukum positif.
Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban
dan keteraturan, kedamaian, serta keadilan dapat dirumuskan dengan satu
istilah, yakni Pengayoman (Perlindungan). Jadi, secara singkat padat, tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia.
Tetapi, mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti
pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang‑wenang dan pelanggaran hak saja.
Melainkan, juga meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi
upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu
memanusiakan diri terus menerus. Jadi, dalam alam pikiran Pancasila, tujuan
hukum adalah untuk menciptakan kondisi sosial yang manusiawi sedemikian
sehingga memungkinkan proses sosial berlangsung secara wajar, di dalamnya secara
adil setiap manusia mendapat kesempatan yang seluas‑luasnya untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. Termasuk dalam
rumusan tadi adalah tujuan hukum untuk memelihara dan mengembangkan budi
pekerti kemanusiaan serta cita‑cita moral rakyat yang luhur berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain dari itu, hukum juga secara langsung melalui
peraturan‑peraturannya mendorong setiap manusia untuk memanusiakan diri.
Secara
umum, dapat dikatakan, bahwa tugas/fungsi hukum adalah mengatur hubungan‑hubungan
kemasyarakan antar-para warga masyarakat satu sama lain dan antara para warga
masyarakat dan masyarakat sebagai keseluruhan (negara), sedemikian rupa
sehingga terselenggara ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Jadi,
tugas/fungsi hukum pertama‑tama adalah untuk mengabdi kepada ketertiban dan keadilan.
Untuk
melaksanakan fungsi-fungsi yang dikemukakan tadi, maka tugas hukum adalah
melalui peraturan‑peraturannya mencoba menyelaraskan (mengakomodasikan)
kepentingan-kepentingan para warga masyarakat dalam hubungan antara yang satu
dengan yang lainnya, serta antara kepentingan warga masyarakat dan masyarakat.
Tercakup dalam pengertian tugas hukum itu tadi adalah tugas untuk mengatur
kehidupan ekonomi masyarakat sedemikian rupa sehingga setiap warga masyarakat
akan mampu secara wajar memenuhi segala kebutuhannya. Jadi, hukum juga pada
dasarnya bertugas untuk secara adil mendistribusi kekayaan (pendapatan)
masyarakat. Dengan perkataan lain, di samping menjaga keamanan, hukum juga
harus mencegah terjadinya kepincangan dan ketidak adilan di dalam masyarakat.
Secara positif, hukum juga bertugas untuk mewujudkan keadilan sosial. Terwujudnya
keadilan sosial akan menimbulkan perasaan tenteram dalam batin para warga
masyarakat. Dengan terpeliharanya perasaan tenteram itu, maka ketertiban akan
mempunyai akar yang kuat. Telah dikemukakan, bahwa tujuan hukum adalah untuk
mewujudkan keadilan. Tetapi, keadilan mensyaratkan terselenggaranya ketertiban;
tanpa ketertiban, praktis tidak mungkin atau sulit sekali mewujudkan keadilan.
Sebaliknya, ketertiban hanya mungkin bertahan lama jika ketertiban berakar pada
ketenteraman masyarakat. Karena itu, maka hukum juga bertugas untuk
menciptakan peraturan‑peraturan tentang prosedur proses-proses pengaturan
(pengkaidahan, penormaan) perilaku dan cara‑cara melaksanakan serta mempertahankan
peraturan‑peraturan hukum, yang selain efektif juga harus memenuhi rasa
keadilan.
Dalam kondisi masyarakat yang sedang
berada dalam keadaan stabil, maka tugas/fungsi hukum adalah hanya memelihara
dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan keteraturan. Tetapi, dalam
masyarakat yang sedang mengalami perubahan-perubahan dan sedang melaksanakan
pembangunan, maka tugas/fungsi hukum memelihara keamanan dan ketertiban saja
tidak cukup, apalagi dalam masa perubahan-perubahan kemasyarakatan dan
pembangunan pada masa kini.
Perubahan kemasyarakatan adalah proses‑proses
perubahan dalam tata nilai yang menjiwai masyarakat. Perubahan
tata nilai itu meliputi juga perubahan-perubahan dalam sikap dan pola perilaku.
Sebelum perubahan itu mengendap dan menjadi mantap, maka terjadi situasi yang di dalamnya di samping tata nilai yang
baru, masih tetap berlaku tata nilai yang
lama yang jalin menjalin secara kabur. Tata nilai itu sendiri adalah hasil dari
pengalaman interaksi antar-warga masyarakat dalam proses kehidupan
bermasyarakat. Tetapi, sekali tata nilai terbentuk dan memperoleh kemantapan,
maka ia akan mempengaruhi dan membentuk sikap serta pola perilaku para warga
masyarakat. Sedangkan tata hukum mencerminkan tata nilai yang berlaku. Dengan
demikian terlihat bahwa antara tata nilai, hukum dan perubahan kemasyarakatan
terdapat hubungan yang erat. Bilamana dalam masyarakat terjadi perubahan dalam
tata nilai dan sikap serta pola perilaku para warganya, maka hukum bertugas
untuk memberikan bentuk hukum melalui perubahan dan/atau penciptaan peraturan‑peraturan
hukum baru pada perubahan-perubahan yang sudah terjadi. Hal ini perlu untuk
dapat tetap memelihara dan mempertahankan ketertiban dan kepastian (hukum)
dalam masyarakat.
Tetapi perubahan
kemasyarakatan yang kini tengah berlangsung, menciptakan masalah-maslah yang
sangat majemuk yang hanya dapat ditanggulangi dengan pembangunan berencana.
Perubahan hukum tidak dapat lagi menunggu mengendapnya hasil proses perubahan
kemasyarakatan itu. Sebab, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan secara
langsung dihadapkan pada masalah‑masalah yang majemuk sehubungan dengan
berlakunya dua tata‑nilai (lama dan baru) pada waktu bersamaan. Sikap dan pola
perilaku para warga masyarakat, termasuk sebagian dari pimpinan masyarakat
masih belum menguntungkan bagi berhasilnya upaya melaksanakan pembangunan
berencana yang diinginkan. Padahal penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat dan para warganya sudah sangat mendesak, namun penyelesaian itu
harus tetap berlangsung dengan cara yang tidak menindas martabat manusia. Ini berarti, bahwa pelaksanaan pembangunan
berencana itu harus tetap berdasarkan hukum. Karena itu, maka hukum selain
harus tetap mengatur ketertiban dan memelihara keamanan, juga bertugas untuk
membuka jalan dan saluran baru dalam sistem kehidupan bermasyarakat agar segala
upaya pembangunan berlangsung dengan lancar tanpa menimbulkan kepincangan dan
menimbulkan ketidak adilan dalam masyarakat (jurang yang semakin lebar antara
yang miskin dan yang kaya). Jadi, hukum juga berfungsi sebagai prasarana pembangunan. Sebagai
prasarana pembangunan, tugas hukum adalah membentuk peraturan‑peraturan hukum
yang dapat menyalurkan kegiatan masyarakat secara tertib teratur dan membagi
pendapatan masyarakat secara merata dan adil.
Wilayah Indonesia merupakan sebuah
kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil. Bangsa Indonesia
terdiri dari berbagai suku yang masing‑masing memiliki dan hidup dalam atau
dengan adat‑istiadat, hukum adat dan bahasa sendiri‑sendiri. Kondisi ini,
selain dapat menghambat proses pembangunan, juga tidak menguntungkan bagi
upaya mewujudkan dan mengembangkan cita‑cita persatuan dan kesatuan sebagai
satu bangsa yang utuh. Kesadaran nasional adalah juga salah satu dari
manifestasi tata nilai. Karena itu, menumbuhkan kesadaran nasional secara nyata
berarti mengembangkan nilai‑nilai sosial-budaya di dalam masyarakat.
Berhubung segala hal yang menyangkut
hidup manusia harus selalu dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional, maka
usaha pengembangan nilai-nilai sosial-budaya pun harus dilaksanakan berdasarkan
hukum. Dengan demikian, maka hukum juga bertugas untuk meningkatkan kesadaran
hukum nasional sehingga kesadaran nasional itu semakin tebal dan semakin nyata
dirasakan dan dihayati oleh seluruh warganegara Republik Indonesia. Jadi hukum
juga berfungsi untuk secara aktif mempengaruhi perkembangan tata nilai dan
tumbuhnya nilai‑nilai sosial budaya yang baru. Ini adalah fungsi sosial budaya dari hukum.
Fungsi hukum sebagai prasarana
pendidikan dan fungsi sosial-budaya dari hukum bersama-sama mewujudkan atau
berakar dalam fungsi hukum sebagai prasarana
pengadaban masyarakat (yakni sarana untuk mengadabkan dan
meningkatkan keadaban para warga masyarakat).
Fungsi sebagai prasarana
pembangunan, prasarana pendidikan sosial dan prasarana pengembangan sosial
budaya itu, sudah barang tentu, harus dilaksanakan dengan melakukan penciptaan
peraturan‑peraturan hukum yang baru melalui prosedur yang sah dengan tetap
berpijak pada hukum dan tata nilai yang berlaku, namun diorientasikan ke masa
depan, segala sesuatu dengan memperhitungkan kenyataan‑kenyataan sosial
lainnya yang ada.
No comments:
Post a Comment