Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Monday, October 7, 2019

Sejarah Lahirnya Pancasila


Pada permulaan tahun 1945 para pemimpin pergerakan nasional dan tokok elite Indonesia memperoleh kesempatan untuk membahas persiapan memperoleh kemerdekaan dengan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) oleh Penguasa Perang Jepang.


Pada masa persidangan yang pertama (29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945), para anggota BPUPK diminta untuk mengemukakan pendapat masing-masing tentang dasar-dasar falsafah bagi penyusunan organisasi Negara Indonesia Merdeka. Sebagai pembicara terakhir, Ir Sukarno mengusulkan lima dasar untuk dijadikan dasar falsafah bagi negara yang akan dibentuk. Lima dasar yang diusulkannya itu adalah: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan. Lima dasar itu dinamakan Pancasila, yang dapat dijadikan Trisila yang terdiri atas Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan, dan dapat dijadikan satu, yakni paham gotong-royong atau kekeluargaan. Pokok-pokok pikiran yang diajukan oleh Sukarno itu secara aklamasi diterima oleh semua anggota BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945 itu.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar yang sekarang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar 1945. Pada alinea keempat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar itu termuat rumusan berikut : “…, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia  yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kata-kata ” … dengan berdasarkan kepada … ” dalam alinea keempat dari Pembukaan itu menunjukkan, bahwa keseluruhan pasal-pasal dari Undang-undang Dasar itu disusun berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain, Undang-undang Dasar  (1945) itu dijiwai oleh, dan karena itu pemahamannyapun harus didasarkan pada Pancasila. Dengan demikian, maka Pancasila itu adalah asas atau “guiding principle” dalam menegara di Indonesia. Sebagai asas menegara, Pancasila dapat dikatakan adalah dasar-dasar Filsafat Negara atau dasar-dasar Ideologi Negara. Secara yuridis, Pancasila itu adalah pokok kaidah negara yang fundamental (Notonegoro). Dengan demikian, sebagai guiding principle, Pancasila itu adalah norma kritis untuk menguji dan mengkaji berbagai tindakan dan putusan di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum dan ekonomi.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan, bahwa proses perumusan Pancasila adalah hasil usaha para pemimpin pergerakan nasional untuk menetapkan dasar-dasar atau asas-asas untuk mewujudkan kemerdekaan dan menyusun serta menyelenggarakan kemerdekaan itu dalam suatu negara nasional. Dilihat dari sudut politik praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan dari konsensus nasional yang secara moral mengikat setiap insan politik indonesia dalam menjalankan kegiatan politik sebagai ”guiding principle’’. Penempatan dalam pembukaan dan kedudukannya dalam Undang-Undang Dasar, menyebabkan Pancasila juga mempunyai kekuatan hukum. Karena itu pula, perilaku dalam menjalankan kegiatan politik yang secara konstitusional konsisten dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pola perilaku (politik) yang dijiwai oleh Pacasila.

Pada berbagai kesempatan, Ir. Sukarno menyatakan bahwa beliau bukan pencipta Pancasila, melainkan hanya pengutara atau perumusnya saja. Beliau menyatakan bahwa Pancasila itu diciptakan oleh bangsa Indonesia. Beliau hanya mengakui bahwa ia menggali Pancasila dari buminya bangsa Indonesia. Pancasila itu yang tadinya cemerlang kemudian terbenam kembali di dalam buminya bangsa Indonesia selama 350 tahun oleh penjajahan Belanda. Menurut Sukarno, Pancasila itu adalah ”Isi Jiwa Bangsa Indonesia”, intisari peradaban bangsa Indonesia, Filsafat Bangsa Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, landasan kefilsafatan, Weltanschauung bangsa Indonesia.

Dari apa yang telah dikemukakan tadi, tampak bahwa Undang-undang Dasar 1945 tidak dibuat berdasarkan ajaran dan pemahaman tentang hukum, negara dan politik sebagaimana yang dikembangkan di barat, jadi tidak berdasarkan dan tidak dijiwai individualisme yang dikembangkan oleh John Locke, Rousseau, Montesquieu, Kant, Hegel dan pemikir-pemikir barat lain yang lebih kemudian. Undang-undang Dasar 1945 oleh para pembentuknya (Prof. Sunaryati: founding parents) secara sadar disusun berdasarkan suatu falsafah yang berbeda dengan falsafah yang melandasi dan menjiwai undang-undang dasar yang ditemukan di dunia barat (Amerika, Eropa, Australia, dll.) dan di negara-negara lain yang dipengaruhi oleh dunia pemikiran barat. Karena itu, sekali lagi, seyogyanya Undang-undang Dasar 1945 dibaca, dipahami dan diimplimentasikan berdasarkan dan dalam semangat Pancasila. Namun, betulkah harus demikian. Bukankah filsafat barat dan cara berpikir barat itu telah menyebabkan negara-negara barat dan negara-negara lain yang ikut menggunakannya telah berjaya, sudah memperlihatkan hasil yang gilang gemilang, 


Krisis yang tengah melanda dunia dan bangsa kita itu adalah krisis yang sangat fundamental yang dampaknya akan dapat sangat dahsyat pula, dan berbahaya. Berkaitan dengan krisis yang hebat yang melanda kita semua itu, tidak keterlaluan jika kita diingatkan lagi dengan apa yang dikatakan oleh George Meredith (1828–1909) seorang pujangga Inggeris:   

In tragic life, God wot No villain need be.
Passion spin the plot.
We are betrayed by what was false within.”


Dalam tragedi kehidupan manusia, tidak dibutuhkan seorang penjahat, tetapi hawa nafsu manusia sendiri sudah menjadi jebakan baginya, dan manusia dikhianati oleh apa yang palsu di dalam dirinya.

Karena kelompok orang terpelajar Indonesia memperoleh pendidikannya dari barat (Belanda) melalui sistem dan pola pendidikan barat, maka cara berpikir yang terbentuk pun dalam hakikatnya adalah cara berpikir barat. Karena itu juga cara orang Indonesia dalam membaca, memahami dan kemudian menerapkan Undang-undang Dasar 1945 pun juga dilakukan dengan cara berpikir dan konsep-konsep barat tentang hukum, kenegaraan, politik dan ekonomi. Jika filsafat barat atau individualisme itu bertolak dari keyakinan bahwa “men are created free and equal”, maka filsafat Pancasila justru bertolak dari keyakinan bahwa manusia itu diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya. Padahal sudah jelas bahwa Undang-undang Dasar 1945 itu disusun berdasarkan filsafat yang berbeda, bahkan berlawanan dengan filsafat dan cara berpikir barat, yakni berdasarkan filsafat Pancasila. Karena itu tidak mengherankan, karena pendidikan barat yang dialami para elit masyarakat kita, jika terjadi interpretasi, pemahaman dan cara menerapkan Undang-undang Dasar 1945 yang keliru. Bahkan ada (banyak) yang berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang itu memberi peluang atau menjadi landasan bagi pemerintahan yang otoriter. Semuanya ini adalah akibat dari cara membaca Undang-undang Dasar 1945 dengan menggunakan kacamata barat, lebih-lebih jika disertai dengan mengaitkan pada kepentingan pribadi dan keluarga dari para pengemban kewenangan berdasarkan undang-undang dasar itu (seperti yang terjadi pasa masa Orde Baru). Untuk dapat melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 secara benar, maka undang-undang dasar itu harus dipahami dan diterapkan berdasarkan filsafat yang melandasinya, yakni filsafat Pancasila. Karena itu, jika kita benar-benar ingin mewujudkan tujuan bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekan dan mendirikan Negara Republik Indonesia seperti yang dirumuskan dalam alinea ke-empat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, maka seperti dikatakan oleh Sunaryati-Hartono, kita “harus tetap setia pada nilai-nilai Pancasila …” yang harus kita “ … terapkan sebagai volksgeist Indonesia”. Untuk itu, maka upaya untuk membina “suatu budaya hukum nasional” kita, perlu disertai dengan upaya mempelajari kembali dan memahami Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena itulah, pada kesempatan ini saya ingin mengajak untuk merevisitasi dan mempelajari kembali tulisan-tulisan Soediman Kartohadiprodjo tentang Pancasila yang sudah dipublikasi melalui buku KUMPULAN KARANGAN pada tahun 1965, dan selain itu juga mempelajari kembali karya-karya teman-teman seangkatan beliau tentang materi yang kurang lebih sama, misalnya karya-karya Sukarno, Mohammad Hatta, Notonagoro, Ki Hadjar Dewantara, Koentjaraningrat, dan juga Cornelis van Vollenhoven, dan sebagainya. Upaya untuk mempelajari kembali pemikiran-pemikiran tentang Pancasila dan hal-hal yang berkaitan dengan kultur dan cara berpikir bangsa Indonesia melalui tulisan orang-orang yang disebut tadi, pada masa kini sangat relevan sehubungan dengan kemungkinan akan dilakukan lagi amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945. Masalahnya adalah apa kita mau menjadi kita sendiri, atau menjadi orang barat berkulit sawo mateng (berkulit tidak bulĂ©)? Selain itu, perkembangan pada tataran global juga memperlihatkan gejala-gejala yang mendekati cara melaksanakan gagasan-gagasan atau pikiran yang sesungguhnya tercantum dalam Pancasila. Misalnya terbentuknya Uni Eropa, cara pengambilan putusan dengan musyawarah.


B.Arief Sidharta  

 
 

No comments:

Post a Comment

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...