Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Tuesday, July 14, 2020

KISAH OBAMA, MAHATMA GANDHI DAN APA ITU MARKETING POLITIK?



Denny JA

“Tak ada Amerika yang liberal atau Amerika yang konservatif.  Tak ada Amerika kulit hitam atau Amerika kulit putih. Tak ada Amerika rasa Asia atau Amerika rasa Latino. Yang ada hanya Amerika. Satu Amerika.”

Ini terjemahan bebas dari  pidato Obama di era kampanye pemilu presiden Amerika Serikat 2009. Dalam populasi pemilih di negaranya, total kulit hitam hanya 13.4 persen saja. Untuk menang pilpres, katakanlah semua pemilih kulit hitam memilihnya, itupun masih tak cukup.

Obama mempelajari kegagalan calon presiden kulit hitam sebelumnya. Mulai dari Allan Keyes (1992), Jack Jackson (1984), Shirley Chisholm (1972), Channing E Philips (1968), George Edwin Taylor (1904).

Umumnya calon presiden kulit hitam sebelumnya terlalu mengangkat ketidak adilan yang dialami kulit hitam. Identitas sosial kulit hitam terlalu ditonjolkan. Akibatnya, calon presiden kulit hitam itu memang mendapatkan dukungan melimpah dari pemilih kulit hitam. Tapi mayoritas pemilih kulit putih merasa tak nyaman.

Obama sebaliknya. Ia tidak mengedepankan identitas kulit hitam. Ia melakukan positioning yang disebut “race- neutral approach..” Yang ditekankan lebih kepada isu bersama, yang merangkum semua pemilih, terlepas dari identitas sosialnya: kulit putih atau kulit hitam, Asia atau Latino. (1)

Obama fokus kepada isu kualitas hidup seperti jaminan kesehatan, kesempatan memperoleh pendidikan, kesempatan kerja bagi kelas menengah bawah. Tak terdengar retorik ras. Obama membuat dirinya menjadi juru bicara semua ras dan identitas sosial yang tak puas dengan situasi saat itu.

Obama pun membuat kemenangan yang historik. Dalam sejarah presiden Amerika Serikat, umumnya presiden berasal dari WMP (White, Male, Protestant). Hanya dua presiden Amerika Serikat yang tidak WMP. Yaitu John F Kennedy yang katolik. Dan Obama yang kulit hitam.

Kemenangan Obama adalah kemenangan marketing politik. Tapi apa itu marketing politik? Apa saja cakupannya?

-000-

Penulis mulai dengan penjelasan dan review literatur mengenai isu marketing politik itu. Mulai dengan definisi: apa itu marketing politik? (2)

Selanjutnya marketing politik dalam esai ini kadang juga  dituliskan sebagai pemasaran politik. Kata marketing politik lebih sering penulis gunakan dalam percakapan oral. Dalam tulisan, untuk mengikuti kaedah tata bahasa indonesia, kata marketing yang bahasa inggris diterjemahkan menjadi pemasaran.

Definisi ini penting karena menentukan ruang lingkup dan bidang kajian dari pemasaran politik. Beberapa perdebatan yang muncul misalnya, apakah pemasaran politik sama dengan pemasaran produk komersial lainnya?

Apakah pemasaran politik adalah bagian dari studi manajemen pemasaran (dalam bidang ekonomi)? Ataukah pemasaran politik adalah bidang studi yang mandiri?

Definisi pertama mengenai pemasaran politik dibuat oleh Shama pada tahun 1976 (lihat Ormrod, 2012). Shama mendefinisikan pemasaran politik sebagai kegiatan yang dilakukan oleh kandidat politik kepada pemilih untuk memenuhi kebutuhan potensial mereka agar kandidat mendapatkan dukungan dari pemilih.

Dari definisi ini terlihat, pemasaran politik hanya foto kopi dari pemasaran produk pada umumnya.  Ia hanya memindahkan prinsip manajemen pemasaran di bidang ekonomi untuk dunia politik. Pemasaran politik pada dasarnya adalah aktivitas “menjual sesuatu dengan tujuan dibeli,” sama dengan produk komersial.

Yang membedakan hanya barang yang dijual dan tujuan dari aktivitas tersebut. Dalam pemasaran politik, tujuan akhirnya agar kandidat terpilih.

Tidak mengherankan jikalau ahli pemasaran politik pada awalnya berasal dari ahli manajemen pemasaran. Konsep kunci dalam pemasaran politik seperti 4P (Product, Place, Promotion, Price) juga digunakan dalam lapangan politik.

Definisi Shama dan ahli lain hingga tahun 1980-an ini, banyak mendapat tantangan. Sangatlah fatal memahami  dunia politik sama dengan ekonomi. Itu  dua entitas ini berbeda. Politik dan ekonomi itu seperti gunung dan laut.

Datanglah definisi dan cakupan marketing politik yang diberikan oleh ahli yang lain.

Newman (1994) dan Lees-Marshment (2009) mengakui bahwa pemasaran politik pada dasarnya adalah penerapan atau adopsi dari pemasaran produk komersial.

Adopsi ini meliputi teknik (seperti riset pasar) dan konsep-konsep kunci di bidang pemasaran (seperti segmentasi pasar, positioning, branding dan seterusnya).

Yang membedakan, Newman (1994) dan Lees-Marshment (2001) menekankan konsep unik dari politik. Lees-Marshment (2009) mengidentifikasi beberapa perbedaan antara pemasaran politik dan bisnis.

Pertama, produk pemasaran politik bersifat tidak terlihat (intangible). Partai atau kandidat pada dasarnya menjual “janji”, program kerja, atau platform yang belum terwujud. Ini berbeda dengan memasarkan produk komersial yang sudah terlihat bentuk barang atau jasanya.

Misalnya kalau Anda menjual Coca Cola atau Pepsi, wujud nyata itu bisa dilihat oleh konsumen. Produk itu bisa langsung dibeli dan dicicipi. Tapi jika anda menjual program dan janji, anda harus membangun trust kepada pemilih bahwa program dan janji itu bagus buat mereka. Harus pula mereka bersabar. Program dan janji baru bisa mereka cicipi di masa depan, setelah kandidat terpilih dulu.

Kedua, produk politik mempunyai nilai simbolik, sebaliknya produk komersial kurang  memiliki nilai simbolik. Hubungan seseorang (pemilih) dengan partai atau kandidat diikat oleh sosialisasi, kedekatan yang umumnya dibangun lewat proses yang panjang.

Pertimbangan seseorang dalam memutuskan memilih kandidat atau partai lebih kompleks. Ini berbeda dengan produk komersial di mana seseorang memutuskan membeli produk karena lebih murah, kualitasnya bagus dan sebagainya.

Aspek lain yang unik dari produk politik dibandingkan dengan produk komersial adalah ideologi (seperangkat nilai-nilai atau kepercayaan).

Pilihan orang atas partai atau kandidat didasari oleh nilai-nilai atau kepercayaan yang mengikat pemilih dengan partai tersebut. Ini berbeda dengan produk komersial yang praktis tidak menyertakan ideologi dalam perilaku konsumen.

Ketiga, pemasaran produk politik diikat oleh sistem. Misalnya sistem pemilu, struktur politik atau regulasi tertentu. Pilihan orang atas partai atau kandidat kemudian dibatasi atau ditentukan oleh seperangkat aturan tersebut. 

Dalam pemasaran politik, konsumen memilih satu produk, yang berarti menghindari (tidak memilih) produk yang lain. Contoh pada Pilkada seorang pemilih hanya memilih satu kandidat saja di antara berbagai pilihan kandidat. 

Ini berbeda dalam pemasaran produk komersial di mana konsumen bisa memilih beberapa produk yang dinilai bagus. Ketika memilih restoran kita bisa memilih Ayam Mbok Berek ataupun Kentucky Fried Chicken sekaligus.

Keempat, perbedaan terbesar antara produk komersial dan politik terletak pada jangka waktu. Pemasaran politik berorientasi jangka panjang, memumbuhkan loyalitas dan kesetiaan pemilih pada partai atau kandidat. Sementara pada produk komersial, umumnya lebih berorientasi pada jangka pendek.

-000-

Marketing politik juga tak hanya berurusan dengan politik elektoral, seperti membuat satu tokoh terpilih dalam pemilu atau pilkada. Marketing politik juga soal mempopulerkan sebuah gagasan atau kebijakan publik.

Mahatma Gandhi tak pernah maju dan terpilih untuk satu jabatan publik. Namun Gandhi dikenang sebagai satu ikon pemimpin besar dunia modern.

New York Times, September 2019, ikut membuat berita besar 150 tahun kelahiran Mahamatma Gandhi. Ia pria yang kurus. Dengan pakaian seadanya. Membawa tongkat bambu yang tipis. (3)

Tak ada senjata yang pernah Gandhi bawa kecuali keberanian yang teramat sangat. Ialah keberanian karena keyakinannya memperjuangkan keadilan dengan cara non- kekerasan.

Usianya saat itu 24 tahun di tahun 1893. Ia seorang sarjana hukum dan bekerja di Afrika Selatan. Di tangannya, ia memegang tiket kereta api kelas satu. Begitu kaget Gandhi. Ia dipaksa pindah duduk di kelas tiga.

“Mengapa,” tanya Gandhi? Petugas dengan kasar tetap memaksa. Gandhi pun tahu. Ia dilarang duduk di kelas satu, semata karena ia bukan kulit putih. Di Afrika Selatan saat itu, berlaku apartheid, diskriminasi atas dasar warna kulit.

Itulah titik kesadaran lahirnya Gandhi menjadi seorang pejuang. Iapun pulang ke India. Dilihatnya ketidak adilan yang sama. Sebuah peraturan tentang garam dibuat pemerintah Inggris yang sedang menjajah India.

Rakyat India dilarang membuat dan menjual garamnya sendiri. Semua garam harus dibeli dari pemerintah Inggris.

Gandhipun menyusun perlawanan. Ia menyerukan kepada yang ingin terlibat:  “Hukum yang dibuat atas dasar ketidak adilan sah untuk dilawan!  Sah bagi kita membangkang (civil disobedience) kepada sistem yang tak adil.”

“Tapi,” ujar Gandhi, “Jangan ada Kekerasan. “Jangan ikut gerakan ini sebelum anda bisa melawan tanpa rasa benci.”

Gandhipun memimpin demonstrasi damai berupa jalan kaki sepanjang 240 mil, atau 386 kilometer. Ini seperti separuh perjalanan Jakarta ke Surabaya.

Gandhi berjalan dari rumahnya di Ahmadabad ke pantai laut di Dandi. Ini jalan damai yang membutuhkan 24 hari.

Jalan damai ini awalnya diikuti 78 orang saja. Kemudian jalan damai ini meluas tak hanya diikuti oleh semakin banyak orang.

Gagasan perlawanan untuk keadilan tanpa kekerasan adalah satu gagasan perjuangan yang cemerlang. Ia cepat mendapatkan simpati publik luas. Non Violence Movement. Ahimsa. Termasuk simpati dari kelas, ras, kelompok pihak yang sedang berkuasa. 

Gerakan non violence Gandhi ikut mengilhami Marthin Luther King dalam memimpin Civil Rights Movement menentang diskriminasi kulit hitam di Amerika Serikat.

Jalan damai Mahatma Gandhi ini contoh medium marketing politik yang sangat efektif. Dengan medium itu, satu gagasan perjuangan menjadi percakapan dan simpati publik luas.

Hidup memang tak hanya soal pemilu. Marketing politik juga tak hanya soal strategi membuat seorang tokoh menjadi pejabat publik. ***

(Bersambung)


CATATAN

1. Mengapa Obama berbeda dengan calon presiden Amerika kulit hitam lainnya

https://www.google.co.id/amp/s/theconversation.com/amp/how-obamas-presidential-campaign-changed-how-americans-view-black-candidates-71455

2. Terima kasih banyak kepada Eriyanto untuk diskusi mengenai litelatur marketing politik

3. New York Time soal 150 tahun kelahiran Mahatma Gandhi

https://upfront.scholastic.com/issues/2019-20/090219/the-legacy-of-gandhi.html#1240L


Daftar Pustaka


Henneberg, Stephen  C. & O’Shaughnessy, N. J. (2007) Theory and Concept Development in Political marketing: Issues and Agenda, Journal of Political marketing, 6(2/3): 5-32.
Lees-Marshment, Jennifer. (2009). Political marketing: Principles and Applications. New York:
Routledge.

Newman, Bruce I. (1994) . The Marketing of the President: Political marketing as Campaign
Strategy. Thousand Oaks, CA: Sage Publication.

Ormrod, Robert P. (2012). Defining Political marketing. Management Working Papers No. 02. Institute for Economics and Management  Aarhus University.

Shama, A. (1976) The Marketing of Political Candidates, Journal of the Academy of Marketing Science, 4(4): 764-77.
Lock, Andrew & Phil Harris. (1996) Political marketing: Vive la Difference! European Journal of Marketing, 30(10/11),  21-31.

Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/3038390342923761/?d=n

MATAHARI YANG MENANG, BULAN YANG TAKLUK



Bulan kalah pada pertempuran pertamanya dengan matahari, ketika matahari menyebarkan omongan bahwa bukan angin yang menghamili perempuan.

Kemudian sejarah mengabarkan lebih banyak lagi cerita sedih:

pembagian kerja memberikan hampir semua beban kerja kepada perempuan supaya kita, laki-laki, dapat memusatkan diri pada upaya saling memusnahkan satu sama lain;
Hak atas harta benda dan hak pewarisan membuat perempuan tidak memiliki apapun;
Pengaturan di rumah tangga mengurung mereka dalam sangkar ayah, suami, dan anak laki-laki;

Demikian juga negara, yang seperti sangkar keluarga, hanya lebih besar.
bulan ikut serta dalam keruntuhan kedudukan anak perempuannya.

Telah jauh terpendam masa ketika bulan Mesir menelan matahari di saat senja dan melahirkannya saat fajar; ketika bulan Irlandia mengancam akan membuat malam tak berakhir kalau matahari tidak menuruti pengaturannya; dan ketika raja-raja Yunani dan Kreta dalam pakaian ratu dengan puting susu palsu dari taffeta menyelenggarakan upacara suci membentang bulan sebagai standar mereka.

Di Yucatan, bulan dan matahari hidup bersama dalam perkawinan. ketika mereka bertengkar terjadilah gerhana. bulan adalah ratu penguasa laut dan musim semi, dan dewi penguasa bumi. dengan berjalannya waktu, bulan kehilangan kekuasaannya. sekarang ia hanya berkuasa atas kelahiran dan penyakit.

Di pantai-pantai Peru, kita bisa tahu kapan saat bulan terhinakan. tidak lama setelah invasi Spanyol, pada tahun 1463, ketika bulan kerajaan Chimú, yang terkuat dari antara semua bulan, menyerah kepada tentara matahari Inca.

Mirrors
Eduardo Galeano

Rahasia Pisuhan Jawa



Mengungkap pisuhan sebagai gambaran karakter orang Jawa. Meletakkan pisuhan sebagai suatu produk budaya yang beradab, bukan adiluhung.

Tulisan ini diasumsikan sudah mengenal arti, makna, bisa, tahu, dan terkadang atau sering mempraktekkan ‘misuh’ atau ‘pisuhan’. Apabila perlu diulang definisi misuh secara literal menurut kamus (Bausasatra Djawa), silahkan tentukan beberapa pilihan arti literal /misuh/ berikut ini; 1) Ngucapake tembung saru, 2) ngungel-ungeli awon ingkang nyangking tiyang sepuh. Sementara untuk arti /pisuh/, silahkan pilih yang cocok, antara lain sebagai berikut; 1) Tembung kasar, 2) Pepoyok kang saru.

Memperhatikan beberapa opsi arti yang bisa dipilih di atas, disarankan memilih semuanya saja, karena memang yang namanya arti literal kamus selalu bermakna sama atau setara. Seharusnya wong Jawa, baik yang tinggal di pulau Jawa atau di luar Jawa, sudah mengerti hal ini.

Sebentar lur, jangan kecewa. Ada fakta yang cukup menarik mengenai misuh atau pisuh ini. Memang di Kamus Bahasa Jawa yang sekarang, dengan memaksimalkan penggunaan sastra.org dan aplikasi Bausastra Jawa, arti /misuh/ dan /pisuh/ cenderung sama.

Namun ketika mencari di situs Ojed (Old Javanese English Dictionary) yang dirancang berdasarkan Kamus Bahasa Jawa Kuno buatan Zoetmoelder, /misuh/ dan /pisuh/ ternyata sudah dikenal sejak masa Jawa kuno, tapi dengan arti yang berbeda. Kata /pisuh/ memiliki arti abuse, jika ditambah prefiks /a-/ jadi /amisuh/ yang artinya to abuse, artinya, kalau menurut Google Translate, bisa penyalahgunaan, siksaan, perlakuan kejam, makian, caci maki, atau dampratan.

Terindikasi adanya perubahan makna /misuh/ atau /pisuh/ di Bahasa Jawa Baru terhadap  Bahasa Jawa Kuno. Di masa Jawa Kuno, kata /misuh/ atau /pisuh/ tidak hanya menyangkup urusan verbal, namun juga segala tindakan yang dirasa tidak menyenangkan, sedangkan di konteks Bahasa Jawa Baru, kata /misuh/ atau /pisuh/ berakhir sekadar sebagai penunjuk pada ucapan-ucapan kasar, tidak sopan, atau tidak menyenangkan.

Ini hanya asumsi, sehingga perlu ditinjau lebih lanjut ketepatannya. Meski demikian, kemungkinan ada satu hal yang dapat dipastikan seandainya membayangkan konteks situasi. Di bahasa Jawa kuno, kata pisuhan digunakan sebagai ekspresi marah, sedangkan di bahasa Jawa Baru atau modern, kata pisuhan merasuk ke segala emosi, mulai dari marah hingga senang.

Bahkan karya sastra Jawa yang biasanya dianggap adiluhung, terkadang tidak segan memasukkan kosakata pisuhan. Ini menandakan bahwa betapapun anggapan kalau budaya Jawa itu adiluhung, yang namanya kalau sudah emosi ya segera kasih umpatan saja. Jejak pertama karya sastra Jawa yang memuat pisuhan, kita bisa membacanya di Serat Damarwulan atau Babad Majapahit.

Di dalam Babad Majapahit, 1901, tedhakan Prawirasentika, terdapat kalimat //sikak asu aja sira ajejegug / cocote si kurang ajar//. Bila membaca konteks situasi yang dihadapi tokoh bernama Layangkumitir dan Anjasmara, sudah jelas kalimat tersebut adalah pisuhan. Pun di sastra Jawa baru, yang sampai saat ini masih dielu-elukan ke-adiluhungannya, ternyata tidak jarang memasukkan kosakata pisuhan. Baca saja cerkak karya Suparto Brata yang judulnya Diamput!! Sepatuku Ilang nDhuk Mejid.

Tidak sedikit orang yang mempertanyakan asal-usul misuh, bahkan dengan cukup wagu melupakan makna pisuh atau misuh yang sebenarnya lalu njujug mencari asal-usul kosakata pisuhan yang sebenarnya masuk dalam kategori misuh atau pisuh. Misalnya seperti tulisan di Mojok yang serta merta mempertanyakan asal-usul atau sejarah kata jancuk. Si Penulis mengawang-awang, dengan sedikit menyuplik referensi, tentang asal-usul kata jancuk.

Mulai dari jancuk yang bersifat jarwodosok sampai dengan inspirasi yang muncul di dalam kepala masyarakat Surabaya saat terjadi masa penjajah Belanda dan Jepang. Tidak masalah. Tapi alangkah baiknya kalau kita bertanya asal-usul misuh, ya tanyakan dulu misuh atau pisuh kuwi apa, sebelum nggambleh ke perkara yang lebih rumit karena pisuhan Jawa tidak bisa dilepaskan dari konteks dialek dan subdialek dalam bahasa Jawa.

Bahasa Jawa mempunyai dialek dan subdialek yang cukup banyak, jadi kalau ada yang mengatakan bahwa pisuhan Jawa berasal dari satu daerah lingkup dialek tertentu, jelas salah. Boleh percaya atau tidak, konteks guyon pisuhan bisa menjadi penanda karakteristik suatu masyarakat Jawa pada dialek tertentu. Wong Jawa Tengah Pesisiran jelas memiliki kosakata pisuhan yang berbeda dengan Yogyakarta, tapi relatif hampir sama dengan pisuhan Jawa Timur, khususnya yang terletak di sepanjang garis pantai pesisir utara Jawa.

Dhanu Priyo Prabowo, 2010, dalam artikelnya Teks Basiyo Pak Dengkek: Sebuah Gambaran Keluarga Jawa di Dalam Dagelan Mataram, menjelasakan bahwa menurut pelawak Marwoto salah satu prinsip guyon atau ndagel Mataram ialah tidak membangun lelucon berlandaskan umpatan dan kata-kata porno. Meski demikian, yang jelas penuturan Marwoto tersebut tidak bisa dijadikan pijakan saat bersosial dengan masyarakat Yogyakarta umumnya.

Takaran emosi pisuhan dalam ekspresi marah atau pun senang selalu sama saja, baik yang di Yogyakarta, Jawa Timur, maupun Jawa Tengah. Munculnya pendapat Marwoto yang demikian mungkin karena dirinya masih berpegangan pada peribahasa; adoh ratu cedhak watu, sehingga ketika menyampaikan pendapat tidak mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat Yogyakarta secara utuh khususnya dalam hal guyon. Lebih lanjut, mungkin Marwoto beranggapan, bahwa karena berada di pusat kebudayaan Jawa, semuanya harus ‘adiluhung’ dan bernilai budaya tinggi, termasuk ketika guyon!

Bicara mengenai karakter, seorang dosen saya yang bernama Pak Bima ketika mengajar mata kulikah Bahasa Jawa Lisan Produktif jilid III, dalam beberapa kesempatan mengidentifikasikan watak dan karakter orang Jawa yang terbagi dalam rumpun dialek masing-masing.

Pak Bima tidak menyebut buku apa yang menjadi rujukannya, sebab di tempat lain apa yang ia katakan tentu sesuatu yang langka, terlebih melibatkan istilah-istilah khas masing-masing rumpun dialek. Secara tidak sengaja, saya justru menemukannya di Google Books, padahal kata kunci yang saya gunakan ‘tentang misuh.

Di dalam buku Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak yang ditulis Budiono Herususanto, apa yang disampaikan Pak  Bima tertulis dengan jelas pada sub-bab Logat dan Lageyan. Budiono Herususanto (2008: 165) sendiri menyatakan bahwa pameo (ejekan, sindiran, olok-olok), atau dalam tulisan ini disebut pisuhan, sebenarnya menunjukkan adanya ciri khas watak yang terselubung di balik citra positif yang menonjol pemilik dialek bahasa Jawa tersebut (lageyan).

Ia mencontohkan, misal, kita mungkin pernah mengenal istilah; Misuh Malangan, Sindhir Surabayan, Gertak Semarangan, Pamer Salaan/Surakartan, Glembuk Yogyaan, Mbloak Banyumasan, Ndobos Gombongan, dablongan Kebumenan. Daerah-derah yang dilekatkan pada istilah lageyan dan membentuk pameo di atas tidak selalu merepresentasikan daerah lain yang ada di sekitarnya yang masih satu lingkup dialek. Penggunaan istilah tersebut sekadar memudahkan identifikasi, sehingga ke depannya bisa terjadi penambahan atau malah pengurangan.

Lebih jauh lagi, Budiono Herususanto menjelaskan perbedaan masing-masing; Dialek Surabaya (Sindhir Surabayan) beserta pisuhannya cenderung menunjukkan karakter masyarakat budaya Arek yang gemar menyindir, lugas, sebelum berkata langsung. Selain dapat berarti kejengkelan, juga menjadi daya tarik hiburan. Pameo Gertak Semarangan menunjukkan bahwa karakter masyarakat lingkup Semarangan sering menunjukkan karakter yang kuat dan kasar, terkesan merendahkan bagi lawan bicaranya dengan cara menggertak.

Sementara pameo Pamer Salaan/Surakartan menunjukkan kalau wong lingkup budaya Sala memiliki karakter yang glamour, dan terkesan pamer. Budaya pamer dan glamour ini bisa dirasakan kalau kita berkunjung ke acara mantenan di daerah lingkup budaya Surakartan yang begitu prosedural.

Berikutnya Glembuk Yogyakartan, masyarakat lingkup budaya Yogyakarta tidak terlalu suka meyampaikan ketidakcocokan, sehingga mereka akan mengatakan apa yang membuat orang senang sembari menyembunyikan maksud tertentu yang sulit ditebak.

Mbloak Banyumasan menunjukkan karakter masyarakat lingkup budaya Banyumasan yang blak-blak-an dengan suara yang keras dan tegas, Mbloak Banyumasan ini kemudian melahirkan Dablongan Cilacap dan Dablongan Kebumen. Terakhir, Dobos Gombongan yang terletak di Kebumen menunjukkan karakter bicara yang mendahulukan sisi ideologis.

Budiono Herususanto menyayangkan bahwa pameo-pameo ini sudah mulai dilupakan generasi muda, padahal pameo tersebut membantu masyarakat Jawa untuk saling memahami satu dengan yang lainnya. Sebagai catatan, mungkin kita perlu mencari pameo di lingkup budaya Tegalan, Patian, dan Pendalungan agar lebih lengkap.

Siapa manusia di dunia, khususnya wong Jawa, yang seumur hidupnya bebas dari pisuhan? Ada? Ya ora mungkin ta ya!!! Pada prinsipnya, kita memang bisa menahan diri supaya tidak misuh. Biasanya untuk menahan misuh, kita bisa melakukannya dengan mengganti pisuhan yang sudah nyanthol di kerongkongan dengan menyebut nama Tuhan; astagfirullah, gusti allah, yung allah, gusti yesus, dst.

Masalahnya, sekalipun kita bisa menahan diri untuk misuh, apakah kita bisa menahan orang lain untuk misuhi kita? Kita bisa mengendalikan cangkem sendiri, tapi mustahil menahan cangkem orang lain yang ingin misuhi kita. Intinya, semua wong Jawa kemungkinan besar pernah dipisuhi. Entah pisuhan yang bermaksud marah atau senang.

Lantas daripada beragam kata pisuhan itu lahir? Tentu saja semenjak Gusti Allah menganugerahkan wong Jawa yang namanya emosi dan perasaan. Soal darimana setiap kosakata pisuhan itu didapat, tentu masuk ke soal lain. Kata-kata pisuhan hanya transportasi bagi emosi, yang paling penting untuk diperhatikan justru emosi yang terbawa di dalam pisuhan.

Namun yang paling mendasar dan perlu dipegang ialah, pisuhan lahir bersamaan dengan adanya emosi dan perasaan; yang membentuk manusia dari waktu ke waktu. Sekeras apapun orang tua menanamkan ajaran luhur budaya Jawa pada anaknya, berusaha menyembunyikan pisuhan yang tidak pantas, tetap saja si anak akan tahu apa itu pisuhan dan apa saja kata yang bisa dipakai untuk misuh.

Di dalam tesis Tri Winiasih, 2010, kosakata pisuhan memiliki 12 model yang antara lain mengacu pada; keadaan, binatang, makhluk yang menakutkan, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, aktifitas, profesi, makanan, tempat, etnik dan bangsa, dan tiruan bunyi. Jadi sumber referensi pisuhan itu ada banyak, namun perlu juga diperhatikan bahwa menggunakan kosakata misuh yang tidak bersesuaian dengan emosi yang hendak diungkapkan tentu akan jadi wagu.

Contohnya saya sedang sedih, sangat sedih, karena saya sedang sedih saya kemudian misuh, “Pocongan!! Aku sedhih” atau “Aku sedhih banget, gukgukguk!!” bagaimana, wagu ora? Apalagi kalau sedang marah, anggap saja saya sedang marah pada pacar saya karena pacar saya ketahuan selingkuh, kemudian saya misuh, “Dhasar lonthe eceran!!” Bagaimana? Yang jelas ora wagu, tapi kira-kira apa konsekuensi yang akan saya dapat?

Contoh lain, kalau Anda seorang wanita, ingin sekali misuhi pacar Anda yang ketahuan cipokan dengan wanita lain kemudian Anda berteriak sambil misuhi pacar Anda, “Lanangan temempik!! Mbak, sampeyan aja gelem pacaran karo pacarku, konthole sakkuku!!” Bagaimana? Sadis? Ya jelas sadis. Soal pantas atau tidak ya relatif.

Pisuhan memang relatif, namun bukan berarti pisuhan tidak mengenal bias pemakaian antar status sosial, bahkan gender. Seandainya ada wanita yang berkata seperti perumpamaan di atas, atau setidaknya mendekati kesadisan di atas, tidak perlu diragukan lagi wanita itu benar-benar perwujudan feminis garis keras yang alami. Dia tidak butuh konsep, sebab dalam kesehariannya sudah jadi praktek.

Permasalahannya, seberapa banyak prosentase wanita Jawa yang punya keberanian seperti itu? Bias pemakaian pisuhan berdasar gender ini ditulis dengan cukup tajam oleh Agustin Anggraeni, 2019, dalam artikelnya Identitas Gender dalam Penggunaan Kata-Kata Tabu Bahasa Jawa di Jawa Timur. Selain gender, pisuhan juga akan membias pada usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, tujuan, mitra tutur, dan pandangan sosial.

Banyak dimensi di dalam kehidupan yang mengakibatkan pisuhan itu terkungkung atau bahkan terlalu lepas. Akan tetapi pisuhan, sekali lagi, bukan satu-satunya ukuran untuk menunjuk sikap dan sifat yang non-adiluhung. Daripada menjadi orang yang adiluhung dengan harus meninggalkan pisuhan Jawa dan menggantinya dengan pisuhan impor dari luar negeri, ya mbok mendhing memilih menjadi orang yang beradab, dan secara bebas menggunakan pisuhan Jawa.

Adiluhung dan beradab apa bedanya? Ya tidak ada, keduanya sama-sama abstrak dan sulit untuk dicari garis pembedanya, namun sejauh yang saya tahu, sifat adiluhung tidak mencegah Amangkurat I membantai 5.000 pemuka agama beserta keluarganya di sebuah lapangan besar. Sementara di setting tempat dan waktu yang lebih ke depan, Samin Surosentiko lebih memilih menjadi dan membentuk komunitas masyarakat yang beradab daripada menjadi adiluhung.

Sumber : Jawa Sastra - Gombalamoh

MULTATULI DAN HUMANISME


Multatuli adalah orang yang pertama kali berteriak bahwa “Orang Jawa diperlakukan dengan buruk!”, “Orang Jawa dieksploitasi secara berlebihan!” Multatuli menuntut hak dan keadilan bagi “orang Jawa” bagi bangsa Indonesia. Multatuli melakukan hal tersebut dengan gagah dan penuh keberanian. Ia mengorbankan kedudukan dan kariernya untuk memasuki kehidupan yang bahkan hingga kematiannya penuh kepahitan, kemelaratan, dan penderitaan.

Multatuli jelas menentang pengisapan dan penindasan. Multatuli menuntut kasih sayang, perikemanusiaan, dan pengertian. Meskipun belum kepada terhapusnya penjajahan. Akan tetapi, Multatuli telah berupaya untuk membuka mata dan pikiran dunia tentang busuknya kolonialisme di Hindia serta memberi inspirasi kepada bangsa Indonesia untuk merdeka.

Kepada Multatuli, bangsa Indonesia berutang budi. Karena itu kalau ada pengarang Belanda yang paling dikenal di Indonesia dialah Multatuli. R.A Kartini dan Sukarno mendapat pengaruh Multatuli. Juga para pemimpin lainnya.

Lalu, apakah sebenarnya yang diperjuangkan Multatuli? Apakah yang digugat oleh Multatuli?

Multatuli menggugat tanam paksa yang memberi keuntungan berlimpah kepada kaum penjajah. Ia menggugat liberalisme yang saat itu sedang dipropagandakan. Ia menggugat rodi, menggugat permintaan paksa, dan korupsi dengan menggunakan jabatan.

Multatuli memiliki arti politik penting ke arah timbulnya perubahan-perubahan cara pemerintahan di Indonesia. Meskipun seberapa besar dan jauh pengaruhnya masih dapat diperdebatkan. Pram juga memuji Multatuli, karena dia orang kulit putih yang secara terbuka menentang kekejaman terhadap orang kulit putih lainnya, yang tak lain sebangsa dengan dia.


#tanahmerdeka #mediatanahmerdeka #multatuli

You are what you eat and read.



Efek yang ditimbulkan dari apa yang Anda baca dan makan mungkin tidak terlihat secara langsung hari ini, tapi baru dirasakan beberapa tahun lagi.

Kalau Anda terbiasa menyantap makan berlemak, mengandung gula, dan jarang berolahraga untuk membakar keduanya, bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan tubuh Anda.

Begitu juga buku, teman berbincang, dan topik obrolan yang Anda pilih sehari-hari. Semua akan membentuk Anda lima tahun mendatang.

Jika masa depan disusun dari apa yang kita lakukan hari ini, apa yang Anda akan kerjakan?

Selamat pagi sobat gayeng nusantara selamat menyusun masa depan....

📸 : Oky Arisandy

PRAM TENTANG LEKRA DAN MANIKEBU



Berikut adalah petikan wawancara Pram dengan Balairung.

Menurut Anda, apa perbedaan mendasar antara konsep kesenian Lekra dengan Manikebu?
Lekra menghendaki kesenian yang terlibat dengan perjuangan nasional. Si Ariel Heryanto menamakannya Sastra Kontekstual. Sedangkan Manikebu mengendaki kebebasan mutlak, jadi enggak punya tugas nasional; jadi gelandangan waktu negara dalam keadaan genting.

Dalam menghadapi konsep kesenian lain (Manikebu), waktu itu Lekra tidak demokratis. Sampai ada istilah ngganyang segala.
Tentu saja ngganyang, dan saya tidak merasa salah. Kami buka suatu diskusi dan polemik secara terbuka. Jawab kalau mau jawab, tapi mereka tak mau jawab.

Menurut kelompok Manikebu, dalam Lentera dulu Anda menganjurkan agar mereka ditangkap, antara lain HB Jassin, Hamka dll?
Omong kosong saja. Kertas dan dokumen saya telah dihancurkan semua. Saya enggak bisa pelajari lagi. Nanti saya mau dapat kiriman salinan Lentera dari Amerika, akan saya buktikan. Tapi kalau toh saya menganjurkan, itu dalam hubungannya dengan revolusi, kondisi nasional waktu itu.

Untuk membaca lebih lanjut, silahkan simah di website balairung.

#pramoedyaanantatoer #tanahmerdeka #mediatanahmerdeka

Negara menjamin Kepastian Hukum sampai ke Pedagang Kecil tanpa Tempat (Vol2)

Selamat pagi. Saya bertemu dengan puluhan pedagang kecil dari berbagai wilayah di Jakarta kemarin sore di halaman tengah Istana Merdeka.

Sebagaimana dunia usaha pada umumnya, pandemi Covid-19 telah menyebabkan kesulitan pada mereka. Ada yang omzetnya jatuh lebih dari 50 persen, ada yang keuntungannya turun, dari biasanya 200 menjadi hanya 50, dan sebagainya.

Karena itulah, untuk meringankan beban bagi para pedagang kecil ini, pemerintah mulai memberi bantuan modal kerja darurat. Sebanyak 60 pedagang kecil yang datang ke istana ini adalah penerima pertama bantuan modal kerja darurat tersebut. Bantuan serupa juga akan diserahkan kepada lebih banyak lagi pelaku usaha kecil lainnya.

Saya tahu kondisi yang mereka hadapi saat ini sangat berat. Tapi saya juga ingin mereka tetap bersemangat dan bekerja keras.

Ir. Joko Widodo

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...