Mengungkap pisuhan sebagai gambaran karakter orang Jawa. Meletakkan pisuhan sebagai suatu produk budaya yang beradab, bukan adiluhung.
Tulisan ini diasumsikan sudah mengenal arti, makna, bisa, tahu, dan terkadang atau sering mempraktekkan ‘misuh’ atau ‘pisuhan’. Apabila perlu diulang definisi misuh secara literal menurut kamus (Bausasatra Djawa), silahkan tentukan beberapa pilihan arti literal /misuh/ berikut ini; 1) Ngucapake tembung saru, 2) ngungel-ungeli awon ingkang nyangking tiyang sepuh. Sementara untuk arti /pisuh/, silahkan pilih yang cocok, antara lain sebagai berikut; 1) Tembung kasar, 2) Pepoyok kang saru.
Memperhatikan beberapa opsi arti yang bisa dipilih di atas, disarankan memilih semuanya saja, karena memang yang namanya arti literal kamus selalu bermakna sama atau setara. Seharusnya wong Jawa, baik yang tinggal di pulau Jawa atau di luar Jawa, sudah mengerti hal ini.
Sebentar lur, jangan kecewa. Ada fakta yang cukup menarik mengenai misuh atau pisuh ini. Memang di Kamus Bahasa Jawa yang sekarang, dengan memaksimalkan penggunaan sastra.org dan aplikasi Bausastra Jawa, arti /misuh/ dan /pisuh/ cenderung sama.
Namun ketika mencari di situs Ojed (Old Javanese English Dictionary) yang dirancang berdasarkan Kamus Bahasa Jawa Kuno buatan Zoetmoelder, /misuh/ dan /pisuh/ ternyata sudah dikenal sejak masa Jawa kuno, tapi dengan arti yang berbeda. Kata /pisuh/ memiliki arti abuse, jika ditambah prefiks /a-/ jadi /amisuh/ yang artinya to abuse, artinya, kalau menurut Google Translate, bisa penyalahgunaan, siksaan, perlakuan kejam, makian, caci maki, atau dampratan.
Terindikasi adanya perubahan makna /misuh/ atau /pisuh/ di Bahasa Jawa Baru terhadap Bahasa Jawa Kuno. Di masa Jawa Kuno, kata /misuh/ atau /pisuh/ tidak hanya menyangkup urusan verbal, namun juga segala tindakan yang dirasa tidak menyenangkan, sedangkan di konteks Bahasa Jawa Baru, kata /misuh/ atau /pisuh/ berakhir sekadar sebagai penunjuk pada ucapan-ucapan kasar, tidak sopan, atau tidak menyenangkan.
Ini hanya asumsi, sehingga perlu ditinjau lebih lanjut ketepatannya. Meski demikian, kemungkinan ada satu hal yang dapat dipastikan seandainya membayangkan konteks situasi. Di bahasa Jawa kuno, kata pisuhan digunakan sebagai ekspresi marah, sedangkan di bahasa Jawa Baru atau modern, kata pisuhan merasuk ke segala emosi, mulai dari marah hingga senang.
Bahkan karya sastra Jawa yang biasanya dianggap adiluhung, terkadang tidak segan memasukkan kosakata pisuhan. Ini menandakan bahwa betapapun anggapan kalau budaya Jawa itu adiluhung, yang namanya kalau sudah emosi ya segera kasih umpatan saja. Jejak pertama karya sastra Jawa yang memuat pisuhan, kita bisa membacanya di Serat Damarwulan atau Babad Majapahit.
Di dalam Babad Majapahit, 1901, tedhakan Prawirasentika, terdapat kalimat //sikak asu aja sira ajejegug / cocote si kurang ajar//. Bila membaca konteks situasi yang dihadapi tokoh bernama Layangkumitir dan Anjasmara, sudah jelas kalimat tersebut adalah pisuhan. Pun di sastra Jawa baru, yang sampai saat ini masih dielu-elukan ke-adiluhungannya, ternyata tidak jarang memasukkan kosakata pisuhan. Baca saja cerkak karya Suparto Brata yang judulnya Diamput!! Sepatuku Ilang nDhuk Mejid.
Tidak sedikit orang yang mempertanyakan asal-usul misuh, bahkan dengan cukup wagu melupakan makna pisuh atau misuh yang sebenarnya lalu njujug mencari asal-usul kosakata pisuhan yang sebenarnya masuk dalam kategori misuh atau pisuh. Misalnya seperti tulisan di Mojok yang serta merta mempertanyakan asal-usul atau sejarah kata jancuk. Si Penulis mengawang-awang, dengan sedikit menyuplik referensi, tentang asal-usul kata jancuk.
Mulai dari jancuk yang bersifat jarwodosok sampai dengan inspirasi yang muncul di dalam kepala masyarakat Surabaya saat terjadi masa penjajah Belanda dan Jepang. Tidak masalah. Tapi alangkah baiknya kalau kita bertanya asal-usul misuh, ya tanyakan dulu misuh atau pisuh kuwi apa, sebelum nggambleh ke perkara yang lebih rumit karena pisuhan Jawa tidak bisa dilepaskan dari konteks dialek dan subdialek dalam bahasa Jawa.
Bahasa Jawa mempunyai dialek dan subdialek yang cukup banyak, jadi kalau ada yang mengatakan bahwa pisuhan Jawa berasal dari satu daerah lingkup dialek tertentu, jelas salah. Boleh percaya atau tidak, konteks guyon pisuhan bisa menjadi penanda karakteristik suatu masyarakat Jawa pada dialek tertentu. Wong Jawa Tengah Pesisiran jelas memiliki kosakata pisuhan yang berbeda dengan Yogyakarta, tapi relatif hampir sama dengan pisuhan Jawa Timur, khususnya yang terletak di sepanjang garis pantai pesisir utara Jawa.
Dhanu Priyo Prabowo, 2010, dalam artikelnya Teks Basiyo Pak Dengkek: Sebuah Gambaran Keluarga Jawa di Dalam Dagelan Mataram, menjelasakan bahwa menurut pelawak Marwoto salah satu prinsip guyon atau ndagel Mataram ialah tidak membangun lelucon berlandaskan umpatan dan kata-kata porno. Meski demikian, yang jelas penuturan Marwoto tersebut tidak bisa dijadikan pijakan saat bersosial dengan masyarakat Yogyakarta umumnya.
Takaran emosi pisuhan dalam ekspresi marah atau pun senang selalu sama saja, baik yang di Yogyakarta, Jawa Timur, maupun Jawa Tengah. Munculnya pendapat Marwoto yang demikian mungkin karena dirinya masih berpegangan pada peribahasa; adoh ratu cedhak watu, sehingga ketika menyampaikan pendapat tidak mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat Yogyakarta secara utuh khususnya dalam hal guyon. Lebih lanjut, mungkin Marwoto beranggapan, bahwa karena berada di pusat kebudayaan Jawa, semuanya harus ‘adiluhung’ dan bernilai budaya tinggi, termasuk ketika guyon!
Bicara mengenai karakter, seorang dosen saya yang bernama Pak Bima ketika mengajar mata kulikah Bahasa Jawa Lisan Produktif jilid III, dalam beberapa kesempatan mengidentifikasikan watak dan karakter orang Jawa yang terbagi dalam rumpun dialek masing-masing.
Pak Bima tidak menyebut buku apa yang menjadi rujukannya, sebab di tempat lain apa yang ia katakan tentu sesuatu yang langka, terlebih melibatkan istilah-istilah khas masing-masing rumpun dialek. Secara tidak sengaja, saya justru menemukannya di Google Books, padahal kata kunci yang saya gunakan ‘tentang misuh.
Di dalam buku Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak yang ditulis Budiono Herususanto, apa yang disampaikan Pak Bima tertulis dengan jelas pada sub-bab Logat dan Lageyan. Budiono Herususanto (2008: 165) sendiri menyatakan bahwa pameo (ejekan, sindiran, olok-olok), atau dalam tulisan ini disebut pisuhan, sebenarnya menunjukkan adanya ciri khas watak yang terselubung di balik citra positif yang menonjol pemilik dialek bahasa Jawa tersebut (lageyan).
Ia mencontohkan, misal, kita mungkin pernah mengenal istilah; Misuh Malangan, Sindhir Surabayan, Gertak Semarangan, Pamer Salaan/Surakartan, Glembuk Yogyaan, Mbloak Banyumasan, Ndobos Gombongan, dablongan Kebumenan. Daerah-derah yang dilekatkan pada istilah lageyan dan membentuk pameo di atas tidak selalu merepresentasikan daerah lain yang ada di sekitarnya yang masih satu lingkup dialek. Penggunaan istilah tersebut sekadar memudahkan identifikasi, sehingga ke depannya bisa terjadi penambahan atau malah pengurangan.
Lebih jauh lagi, Budiono Herususanto menjelaskan perbedaan masing-masing; Dialek Surabaya (Sindhir Surabayan) beserta pisuhannya cenderung menunjukkan karakter masyarakat budaya Arek yang gemar menyindir, lugas, sebelum berkata langsung. Selain dapat berarti kejengkelan, juga menjadi daya tarik hiburan. Pameo Gertak Semarangan menunjukkan bahwa karakter masyarakat lingkup Semarangan sering menunjukkan karakter yang kuat dan kasar, terkesan merendahkan bagi lawan bicaranya dengan cara menggertak.
Sementara pameo Pamer Salaan/Surakartan menunjukkan kalau wong lingkup budaya Sala memiliki karakter yang glamour, dan terkesan pamer. Budaya pamer dan glamour ini bisa dirasakan kalau kita berkunjung ke acara mantenan di daerah lingkup budaya Surakartan yang begitu prosedural.
Berikutnya Glembuk Yogyakartan, masyarakat lingkup budaya Yogyakarta tidak terlalu suka meyampaikan ketidakcocokan, sehingga mereka akan mengatakan apa yang membuat orang senang sembari menyembunyikan maksud tertentu yang sulit ditebak.
Mbloak Banyumasan menunjukkan karakter masyarakat lingkup budaya Banyumasan yang blak-blak-an dengan suara yang keras dan tegas, Mbloak Banyumasan ini kemudian melahirkan Dablongan Cilacap dan Dablongan Kebumen. Terakhir, Dobos Gombongan yang terletak di Kebumen menunjukkan karakter bicara yang mendahulukan sisi ideologis.
Budiono Herususanto menyayangkan bahwa pameo-pameo ini sudah mulai dilupakan generasi muda, padahal pameo tersebut membantu masyarakat Jawa untuk saling memahami satu dengan yang lainnya. Sebagai catatan, mungkin kita perlu mencari pameo di lingkup budaya Tegalan, Patian, dan Pendalungan agar lebih lengkap.
Siapa manusia di dunia, khususnya wong Jawa, yang seumur hidupnya bebas dari pisuhan? Ada? Ya ora mungkin ta ya!!! Pada prinsipnya, kita memang bisa menahan diri supaya tidak misuh. Biasanya untuk menahan misuh, kita bisa melakukannya dengan mengganti pisuhan yang sudah nyanthol di kerongkongan dengan menyebut nama Tuhan; astagfirullah, gusti allah, yung allah, gusti yesus, dst.
Masalahnya, sekalipun kita bisa menahan diri untuk misuh, apakah kita bisa menahan orang lain untuk misuhi kita? Kita bisa mengendalikan cangkem sendiri, tapi mustahil menahan cangkem orang lain yang ingin misuhi kita. Intinya, semua wong Jawa kemungkinan besar pernah dipisuhi. Entah pisuhan yang bermaksud marah atau senang.
Lantas daripada beragam kata pisuhan itu lahir? Tentu saja semenjak Gusti Allah menganugerahkan wong Jawa yang namanya emosi dan perasaan. Soal darimana setiap kosakata pisuhan itu didapat, tentu masuk ke soal lain. Kata-kata pisuhan hanya transportasi bagi emosi, yang paling penting untuk diperhatikan justru emosi yang terbawa di dalam pisuhan.
Namun yang paling mendasar dan perlu dipegang ialah, pisuhan lahir bersamaan dengan adanya emosi dan perasaan; yang membentuk manusia dari waktu ke waktu. Sekeras apapun orang tua menanamkan ajaran luhur budaya Jawa pada anaknya, berusaha menyembunyikan pisuhan yang tidak pantas, tetap saja si anak akan tahu apa itu pisuhan dan apa saja kata yang bisa dipakai untuk misuh.
Di dalam tesis Tri Winiasih, 2010, kosakata pisuhan memiliki 12 model yang antara lain mengacu pada; keadaan, binatang, makhluk yang menakutkan, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, aktifitas, profesi, makanan, tempat, etnik dan bangsa, dan tiruan bunyi. Jadi sumber referensi pisuhan itu ada banyak, namun perlu juga diperhatikan bahwa menggunakan kosakata misuh yang tidak bersesuaian dengan emosi yang hendak diungkapkan tentu akan jadi wagu.
Contohnya saya sedang sedih, sangat sedih, karena saya sedang sedih saya kemudian misuh, “Pocongan!! Aku sedhih” atau “Aku sedhih banget, gukgukguk!!” bagaimana, wagu ora? Apalagi kalau sedang marah, anggap saja saya sedang marah pada pacar saya karena pacar saya ketahuan selingkuh, kemudian saya misuh, “Dhasar lonthe eceran!!” Bagaimana? Yang jelas ora wagu, tapi kira-kira apa konsekuensi yang akan saya dapat?
Contoh lain, kalau Anda seorang wanita, ingin sekali misuhi pacar Anda yang ketahuan cipokan dengan wanita lain kemudian Anda berteriak sambil misuhi pacar Anda, “Lanangan temempik!! Mbak, sampeyan aja gelem pacaran karo pacarku, konthole sakkuku!!” Bagaimana? Sadis? Ya jelas sadis. Soal pantas atau tidak ya relatif.
Pisuhan memang relatif, namun bukan berarti pisuhan tidak mengenal bias pemakaian antar status sosial, bahkan gender. Seandainya ada wanita yang berkata seperti perumpamaan di atas, atau setidaknya mendekati kesadisan di atas, tidak perlu diragukan lagi wanita itu benar-benar perwujudan feminis garis keras yang alami. Dia tidak butuh konsep, sebab dalam kesehariannya sudah jadi praktek.
Permasalahannya, seberapa banyak prosentase wanita Jawa yang punya keberanian seperti itu? Bias pemakaian pisuhan berdasar gender ini ditulis dengan cukup tajam oleh Agustin Anggraeni, 2019, dalam artikelnya Identitas Gender dalam Penggunaan Kata-Kata Tabu Bahasa Jawa di Jawa Timur. Selain gender, pisuhan juga akan membias pada usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, tujuan, mitra tutur, dan pandangan sosial.
Banyak dimensi di dalam kehidupan yang mengakibatkan pisuhan itu terkungkung atau bahkan terlalu lepas. Akan tetapi pisuhan, sekali lagi, bukan satu-satunya ukuran untuk menunjuk sikap dan sifat yang non-adiluhung. Daripada menjadi orang yang adiluhung dengan harus meninggalkan pisuhan Jawa dan menggantinya dengan pisuhan impor dari luar negeri, ya mbok mendhing memilih menjadi orang yang beradab, dan secara bebas menggunakan pisuhan Jawa.
Adiluhung dan beradab apa bedanya? Ya tidak ada, keduanya sama-sama abstrak dan sulit untuk dicari garis pembedanya, namun sejauh yang saya tahu, sifat adiluhung tidak mencegah Amangkurat I membantai 5.000 pemuka agama beserta keluarganya di sebuah lapangan besar. Sementara di setting tempat dan waktu yang lebih ke depan, Samin Surosentiko lebih memilih menjadi dan membentuk komunitas masyarakat yang beradab daripada menjadi adiluhung.
Sumber : Jawa Sastra - Gombalamoh
No comments:
Post a Comment