Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Thursday, July 9, 2020

BAGAIMANA “HUKUM” BEKERJA? [episode 20]

(Sebuah draf naskah sinetron. Nama, tempat, dan peristiwa hanya rekaan belaka)


Rekonstruksi perkara Misno sudah selesai dilaksanakan. Catatan proses rekonstruksi, termasuk dokumen visual, sedang digarap oleh Bripda Herman untuk dilampirkan dalam berkas perkara. Masa penahanan Misno memasuki hari ke-39, itu artinya penyidik punya waktu 21 hari lagi untuk menyelesaikan berkas perkara sesuai petunjuk jaksa.

Di belakang kantor Polsek, pada sebuah kantin yang tak seberapa luas, tampak Bobby sedang ngopi bareng Bripka Soleh. Mereka duduk saling berhadapan di sebuah meja kayu tanpa alas. Botol kecap, wadah sambal, asbak, bungkus rokok, minyak kayu putih, masker, hand sanitizer, dan beberapa benda lainnya berserakan di atas meja itu. “Sudah beres berkas perkara Misno?” Bobby bertanya kepada Soleh sambil mengoles tengkuknya dengan minyak kayu putih.

“Mudah-mudahan minggu ini sudah P-21.” Jawab Soleh terbatuk-batuk karena tersedak asap rokoknya.

“Serius bener Ko Abun ngawal perkara ini ya?” Selidik Bobby.

“Kurang paham saya Bang, Kanit yang lebih tahu.” Soleh menjawab tak acuh.

“Untuk perkara seperti ini, seharusnya penyidik diberi kewenangan yang besar untuk melakukan diskresi.”

“Ancaman pidananya lumayan Bang. Tidak mungkinlah kami lebih mengedepankan pertimbangan atau keyakinan pribadi atas perkara ini.”

“Saya pikir mungkin saja. Ada sebuah prinsip dalam hukum islam tentang menilai suatu masalah berdasar pertimbangan kemanfaatan yang dibandingkan dengan kemudaratannya. Coba kamu bayangkan Leh: kerugian yang nyata dari korban pencurian mungkin sekitar 2 sampai 3 juta. Biaya penyidikan bisa jadi lebih dari itu. Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh Negara untuk kami mendampingi perkara ini. Atau berapa biaya yang dikeluarkan oleh Negara untuk memberi makan Misno selama menjalani masa hukuman. Atau lebih jauh, coba kamu bayangkan dampak ekonomi maupun psikologis yang akan menimpa keluarga Misno ke depan. Ah, penegakan hukum memang kadang terasa asing dan aneh. Semestinya ada norma yang mengatur pendekatan persuasif kepada korban; sepanjang kerugiannya telah diganti dan korban menerimanya dengan suka rela maka perkara bisa dihentikan.” Demikian Bobby menyatakan opininya.

“Abang tentu lebih ngerti, kalo kita sebagai penyidik tidak fokus pada kerugian, tapi pada perbuatan Tersangka. Selain itu, bila perkara ini dihentikan, tidak ada jaminan  kalo Misno gak bakal mencuri lagi.”

“Tidak ada jaminan juga bila diberi hukuman penjara maka Misno gak bakal mencuri lagi.” Bobby menyela. “Tapi setidaknya, bila untuk perkara seperti ini ada ruang untuk dihentikan, maka ada 2 orang anak kecil yang secara psikologis bisa diselamatkan. Atau paling tidak, bila hukum tetap harus bekerja untuk memberi sanksi, kerja-kerja sosial dapat dijadikan opsi untuk sanksinya. Yah, seharusnya penjara tidak dijadikan opsi utama dalam proses pemidanaan.” Tegas Bobby sambil melempar rokok sekenanya karena api rokok itu hampir menyentuh kulit jarinya.

Bripka Soleh diam, seperti malas menanggapi. Punggungnya didorong pelan ke sandaran kursi dengan kaki diselonjorkan. Sepasang burung dara bercengkrama di halaman kantin polsek, sesekali mengeluarkan kotorannya. Bunga anggrek yang tergantung di tiang penyangga atap, bergoyang terhembus angin. Bobby mengeluarkan Vitamin C dari ranselnya, lalu dicecapnya. “Semuanya 32 ribu Pak.” Suara penjaga kantin seakan menyindir mereka agar segera pergi.

-----------bersambung-----------
#Mu

No comments:

Post a Comment

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...