(Heywood, 2002: 297).
Richard S. Kay dalam pengantar Larry Alexander, juga memberikan komentar yang senada dengan Heywood. Dalam memaknai konstitusionalisme, Kay menitikbertkan pada pembatasan kekuasaan pemerintahan. Jelasnya dikatakan Kay, “constitusionalism implements the rule of law; It brings about predictability and security in the relations of
individuals and the government by defining in advance the powers and limits of that government”—pelaksanaan aturan-aturan hukum dalam hubungan individu dengan pemerintah.
Konstitusionalisme menghadirkan situasi yang dapat memupuk rasa aman, karena adanya pembatasan terhadap wewenang pemerintah yang telah ditentukan lebih dahulu (Alexander, 1999: 4).
Pandangan serupa juga dikemukakan William G. Andrews, menurutnya sedikitnya terdapat tiga konsensus yang menjamin prinsip dasar tegaknya konstitusionalisme pada jaman modern ini, salah satu pilarnya adalah prinsip negara hukum—the rule of law.
Secara utuh pilar-pilar konstitusionalisme menurut Andrews meliputi: The general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government—kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama; The basis of government—kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara; The form of
institutions and procedures—kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-
prosedur ketatanegaraan (Andrews, 1968: 12-13).
Evolusi Pemikiran Negara Hukum Diskursus tentang negara hukum kemudian mulai berkembang saat mencuatnya pemikiran tentang teori hukum alam, yang tumbuh di Eropa pada abad ke tujuh-belas hingga abad ke delapan-belas.
Secara umum, dalam teori negara hukum, dikenal adanya dua macam konsepsi tentang negara hukum, yang terdiri dari konsep negara hukum dalam
arti rechtsstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of law.
Istilah rechtsstaat dikenal dalam negara-negara Eropa Kontinental, paham ini dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte. Sedangkan the rule of law, dikembangkan dalam negara-negara anglo saxon, para penganut common law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey di Inggris. Namun demikian, pada dasarnya kedua konsepsi tersebut memiliki satu maksud yang serupa, yaitu adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan penghirmatan atas martabat manusia—the dignity of man.
Dalam pengertian rechtsstaat, dengan merujuk pada pemikiran yang dikemukakan olehJulius Stahl, setidaknya terdapat empat pondasi yang harus dimiliki oleh sebuah negara hukum, yaitu: adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia—grondrechten, adanya
pembagian kekuasaan—scheiding van machten, pemerintahan yang berdasarkan undang-undang—wetmatigheid van bestuur, dan adanya peradilan tata usaha negara—administratieve rechspraak (Ashiddiqie, 2003: 52). Sementara dalam tradisi AngloSaxon, seperti diungkapkan oleh A.V. Dicey, suatu negara hukum dalam pengertian the rule of law setidaknya harus memiliki tiga karakteristik, yaitu: tegaknya supremasi hukum—supremacy of law, persamaan di depan hukum—equality before the law, dan danya jaminan serta mekanisme perlindungan diri atas hak—due process of law.
Supremasi hukum berarti warganegara diatur oleh hukum, dan dengan hukum itu sendiri seseorang dapat dihukum karena melanggar hukum, bukan dihukum karena sesuatau alasan yang lain. Tentang persamaan di depan hukum, Dicey menerangkan, semua kelompok masyarakat memiliki ketertundukan yang sama di mata hukum umum negara,yang dijalankan oleh peradilan umum.
The Rule of law tidak mengenal adanya
pengecualian bagi pejabat pemerintah atau orang-orang tertentu terhadap hukum yang mengatur warganegara secara keseluruhan, seperti halnya pada pengadilan administratif(droit administratif). Kaitannya dengan due process of law, Dicey menjelaskan bahwa jaminan atas hak-hak pribadi adalah hasil dari keputusan pengadilan, dan parlemen—sebagai simbolisasi raja dan demos—warga, khusus mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan. Jadi konstitusi yang berisikan jaminan hak-hak pribadi warganegara
merupakan hasil dari hukum umum negara (Dicey, 2008: 262-265).
International Commission of Jurists, dalam konferensinya di Bangkok, pada tahun 1965,
mencirikan konsepsi negara hukum adalah yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
(1) Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi juga
mengatur prosedur untuk mengakses perlindungan atas hak-hak tersebut; (2) Peradilan
yang bebas dan tidak memihak; (3) Pemilihan umum yang bebas; (3) Kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat; (4) Kebebasan untuk berserikat dan beroposisi; (5) Pendidikan
kewarganegaraan (Mahfud, 1999: 131-132).2
#bersambung
No comments:
Post a Comment