Saya kira komika, pelawak, dan badut itu sama saja. Mereka tak sekadar merupakan pintu keluarnya sebuah lelucon. Mereka juga media untuk mengungkapkan perasaan tak senang.
Di masyarakat Jawa di masa silam, misalnya, mereka bagaikan jalan arteri, ketika tak banyak jalan tol bagi rakyat kecil untuk mengeluh tentang keadaan.
Setidaknya, begitulah yang dilukiskan oleh Soemarsaid Moertono dalam risalahnya yang terkenal, State and Statecraft in Old Java.
Dalam studinya tentang Kerajaan Mataram dari abad ke-16 sampai ke-19, Soemarsaid menyinggung bagaimana lelucon rakyat bisa jadi petunjuk “perasaan tidak senang” masyarakat.
Di lingkungan yang tampaknya membisu karena orang takut bicara, kata-kata tajam tapi padat bisa digubah. Pantun dan sajak menjadi sejenis nyanyian jalanan, yang diteriakkan berbalas-balasan.
Pantun-pantun jenaka itu, kata Soemarsaid Moertono, “kadang-kadang tidak begitu jelas artinya”, tapi “menyatakan apa yang merupakan kepentingan rakyat biasa ketika itu."
.
Mungkin karena itulah dalam masyarakat Jawa, badut dan pelawak secara tradisional mempunyai kekebalan tertentu terhadap hukum.
Kejenakaan dan, kadang-kadang, ucapan pedas mereka, mengenai suatu situasi yang berlaku, dibiarkan. Tak ada yang gusar. Tak ada yang dipanggil petugas, apalagi ditangkap.
Dua tokoh dalam arak-arakan Grebeg yang dibuat oleh raja-raja Yogya dan Surakarta, tokoh cantang balung, berpakaian aneh dan bertingkah menggelikan di tengah prosesi yang khidmat. Togog dan Mbilung dalam pewayangan pun hanyalah sebuah kejenakaan belaka.
Dalam masyarakat yang beku, mau tak mau selalu ada yang mencoba mendapatkan celah untuk mengalirkan perasaan yang tersimpan. Mungkin, sadar atau tak sadar, para penguasa pun membutuhkan semacam obat.
.
"Tiap orang membutuhkan obatnya sendiri,” kata Raja Henry VIII yang kemudian termasyhur sebagai pemenggal para permaisuri, ketika ia mendengar seorang pengkhotbah yang mengkritiknya keras.
Sumber : ndorokakung.com
No comments:
Post a Comment