Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Thursday, July 16, 2020

OTORITAS KONSTITUSI RAKYAT DALAM SENGKETA OMNIBUS LAW RUU CIPTA KERJA


De Cive Hobbes: "Man is a wolf to man.". Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain. Apakah negara justru menjadi serigala bagi rakyat ?!

Walaupun negara berhak menjadi
"Leviathan"yang memaksa dan menciptakan ketakutan demi terciptanya ketertiban antar warga. Namun dibutuhkan " Balance of Power" sebagai fungsi kontrol negara yang tidak bisa serta merta menyerahkan kepada fungsi dan peran pelembagaan konstitusi.

Objective otoritatif dari perjuangan konstitusi rakyat bukanlah perebutan atas kekuasaan negara, melainkan perjuangan atas kewenangan dan perlindungan negera.

Konsep Rechtsstaat maupun tradisi "rule of law". Ciri-ciri "Rechtssaat" dalam Frederich Julius adalah adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Perbuatan penguasa yang selalu mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari rel konstitusi yang secara ekstrim "Lord Action"menggambarkan hal ini dengan mengatakan ”power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”

Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam masih belum memiliki daya tarik  dimata investor dan masih jauh dari atraktif.

Sengketa Omnibus law  RUU Cipta Kerja yang beredar, tidak dapat dipastikan mana yang palng otoritatif untuk diikuti. Terdapat versi yang lima ratusan pasal, namun ada pula versi ribuan pasal.

Pelbagai dampak omnibus law ini, misalnya dalam bentuk perampasan hak tanah rakyat menjadi ruang yang semakin masif. Akan banyak tanah masyarakat adat yang tidak memiliki bukti kepemilikan formal, ataupun bagi-bagi sertifikat  yang bakal dirampas atas nama investasi.

Selain itu, bencana ekologis dan man-made disaster juga berpotensi lebih besar kemungkinannya mengingat AMDAL tidak lagi dipersyaratkan bagi semua jenis usaha, Contohnya : Pasal 18 UU Kehutanan yang mensyaratkan minimal 30% dari luas DAS dan/atau pulau bakal dianulir, yang bakal berakibat pada pembukaan kawasan hutan bagi investasi perkebunan sawit, pertambangan.

RUU Cipta Kerja terlalu berpihak pada investor dan justru meminggirkan kepentingan masyarakat. Dapat dicermati dari Pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang terdiri atas 79 undang-undang dan 11 klaster dianggap bermasalah karena tidak ada pertimbangan keadilan dan kesejahteraan sosial dalam rancangan undang-undang tersebut. Bagian penjelasannya sangat ekonomisentris, bukan kesejahteraan. Jadi hanya bicara pertumbuhan ekonomi tanpa bicara keadilan sosial dan kesejahteraan

Jika hal tersebut tidak terjadi maka munculah kelompok anarkis dan radikal negara (state) yang bersifat politis dengan masyarakat (society) yang bersifat sosial.

Sebagai konsep yang politis termanifestasi dalam kekuasaan, otoritas, hierarki, sementara dominasi masyarakat merupakan asosiasi antar manusia yang bersifat spontan dalam rangka mewujudkan kebutuhan dan kepentingan bersama yang dapat menimbulkan anarkisme radikal

Anarkisme radikal, meruntuhkan negara dan menggantikannya dengan konsep "self-governance" dianggap sebagai cara terbaik dalam mengelola kebutuhan dan kepentingan sendiri secara kolektif.

Dalam hal ini, otoritas konstitusi rakyat diartikan sebagai pembagian peran secara kooperatif dan non-hierarkis yang memungkinkan tatanan berjalan dan tercapainya keadilan sosial.

Dengan kata lain nilai keadilan sosial antar warga negara dan pemerintah dapat terjalin dengan baik, tidak ada individu superior atas individu lainnya sebab semua saling berkontribusi.


#BintangMudaRevolusi
#Sengketa Omnibus law RUU Cipta Kerja 


No comments:

Post a Comment

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...