Pandangan hidup bangsa Indonesia sejak dari dahulu hingga
kini adalah Pancasila. Dalam dinamika proses‑proses kemasyarakatan, Pancasila
diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang kehidupan hukum.
Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan
ketentuan‑ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila.
Keseluruhan Tata Hukum sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan
penjabaran atau penerapan
Pancasila pada bidang hukum, dapat disebut Hukum
Pancasila.
Hukum Pancasila sebagai hukum positif
tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat Indonesia
untuk mengatur dan mewujudkan ketertiban yang adil dalam kehidupan
kemasyarakatan di Indonesia.
Karena itu, Hukum Pancasila dapat juga disebut Hukum (Nasional) Indonesia.
Proses terbentuknya peraturan‑peratuan hukum positif itu dapat melalui tindakan
nyata para warga masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari‑hari. Dalam hal
ini, maka terbentuklah hukum tidak tertulis. Proses terbentuknya peraturan
hukum itu dapat juga terjadi secara disengaja melalui keputusan‑keputusan para
pejabat, yurisprudensi dan perundang‑undangan. Produk dari keseluruhan proses
pembentukan peraturan hukum positif itu mewujudkan Tata Hukum. Hukum Adat yang
tumbuh dari dan di dalam lingkungan‑lingkungan masyarakat Adat Indonesia,
juga merupakan penjelmaan Pancasila pada bidang hukum pada tahap perkembangan
tertentu. Karena itu, Hukum Adat adalah bagian dari Hukum (Nasional) Indonesia.
Tentu saja, dalam proses dinamika perkembangan masyarakat dapat terjadi adanya
peraturan-peraturan hukum (adat) positif dan institusi‑institusi hukum (adat)
yang sudah tidak sesuai dan tidak memenuhi lagi kebutuhan konkret masyarakat
dan para anggotanya. Hal ini dapat juga terjadi pada produk perundang‑undangan
dan keputusan-keputusan pejabat lainnya. Dalam keadaan demikian, maka
dipaksakannya penerapan peraturan‑peraturan dan institusi‑institusi hukum itu
akan tidak lagi merupakan penjelmaan Pancasila dalam situasi konkret. Adalah
bijaksana jika peraturan‑peraturan dan institusi‑institusi itu diubah dan
disesuaikan pada kenyataan yang riil. Sebab arti dan makna konkret suatu asas
(nilai, kaidah) selalu ditentukan oleh kenyataan yang riil yang di dalamnya
asas itu hendak di realisasikan (kontekstual dan karena itu historisch bepaald). Yang penting adalah
bahwa segala sesuatu dilaksanakan melalui prosedur-prosedur berdasarkan hukum
serta dijiwai oleh Pancasila, sebagai landasan kefilsafatan dan norma kritik
bagi Tata Hukum Indonesia.
Pada bagian ini akan dibicarakan
gagasan atau cita-hukum (the idea of law,
rechtsidee) dalam alam pikiran berdasarkan Pancasila.
Hukum timbul dari rasa wajib yang
tertanam dalam jiwa manusia, yakni dalam akalbudi dan budi-nurani manusia, yang
mengharuskan manusia bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu terhadap dan
berkenaan dengan adanya manusia (manusia-manusia) lain, untuk mewujudkan
ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat, sedemikian rupa sehingga martabat
dan kodrat manusia tidak tertindas. Keharusan itu menimbulkan hak untuk
menuntut agar apa yang diharuskan dilaksanakan; jadi, adanya kewajiban itu
sekaligus menimbulkan hak. Kewajiban bersikap dan berperilaku tertentu terhadap
orang lain itu dirasakan sebagai apa yang sudah sepantasnya dan seadilnya
menjadi hak orang lain itu. Manusia merasa berwajib dan dituntut untuk
memberikan kepada orang lain apa yang menjadi bagiannya atau haknya. Kewajiban
dan hak itu timbul karena dan di dalam hubungan antar-manusia; jadi, adanya hak
dan kewajiban itu mengatur hubungan antar-manusia. Hak dan kewajiban itu selalu
berarti dan hanya dapat dipahami sebagai hak dan kewajiban terhadap manusia
atau manusia‑manusia lain. Jadi, hak dan kewajiban itu menunjuk atau
mengungkapkan hubungan antar-manusia. Karena itu, hukum pada hakikatnya adalah
hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat.
Hukum mewujudkan diri sebagai proses‑proses sosial pengaturan atau
pengkaidahan cara berperilaku. Proses sosial itu menghasilkan kaidah‑kaidah
hukum. Hukum adalah pengaturan perilaku manusia dalam menyelenggarakan hubungan
antar-sesamanya di dalam masyarakat. Sebagai pengaturan perilaku, selain untuk
mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat, hukum juga dimaksudkan
untuk mewujudkan asas keadilan. Karena itu, hukum diarahkan untuk memberikan
kepada setiap orang apa yang menjadi bagiannya sesuai dengan jasa atau apa yang
telah diberikannya; memberikan perlakuan yang sama menurut proporsinya,
memberikan imbalan sesuai dengan kecakapan dan jasanya terhadap masyarakat, dan
memberikan hukuman sesuai dengan kesalahannya. Kesemuanya ini adalah akibat
yang timbul dari kenyataan bahwa keberadaan manusia dikodratkan berstruktur
ada-bersama-dengan-sesamanya (ada dalam kebersamaan dengan sesamanya). Karena
manusia dikodratkan ada bersama dengan sesamanya dalam masyarakat, maka manusia
tidak dapat mengelakkan diri dari keberadaan dalam pergaulan dengan sesamanya.
Justru karena itu, maka ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat yang
dikehendaki (yang manusiawi) adalah yang tidak kaku, yang semata‑mata hanya
berdasarkan perhitungan untung‑rugi saja, yang (dapat) mewujudkan ketertiban
yang menekan perkembangan kemanusiaan.
Yang dikehendaki adalah ketertiban dan
keteraturan yang bersuasana ketenteraman batin, kesenangan bergaul di antara
sesamanya, keramahan dan kesejahteraan yang memungkinkan terselenggaranya
interaksi antar-manusia yang sejati. Karena itu, hukum yang dijiwai oleh
Pancasila adalah hukum yang berasaskan
semangat
kerukunan. Karena itu juga hukum secara langsung diarahkan untuk mewujudkan
keadilan sosial yang memberikan kepada masyarakat sebagai kesatuan dan masing‑masing
warga masyarakat kesejahteraan (material dan spiritual) yang merata dalam
keseimbangan yang proporsional.
Terpaut pada asas kerukunan adalah asas
kepatutan. Asas ini juga adalah asas tentang cara menyelenggarakan hubungan
antar-warga masyarakat yang di dalamnya para warga masyarakat diharapkan untuk
berperilaku dalam kepantasan yang sesuai dengan kenyataan‑kenyataan sosial.
Juga dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang sah menurut hukum, para warga
masyarakat diharapkan untuk memperhatikan kepantasan, yakni dari para warga
masyarakat diharapkan berperilaku sedemikian rupa hingga tidak merendahkan
martabatnya sendiri dan atau orang lain.
Sifat lain yang
memberikan ciri pada Hukum Pancasila adalah asas keselarasan. Asas ini menghendaki terselenggaranya harmoni
dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan asas ini, maka penyelesaian masalah‑masalah
konkret, selain harus didasarkan pada pertimbangan kebenaran dan kaidah‑kaidah
hukum yang berlaku, juga harus dapat diakomodasikan pada proses‑proses
kemasyarakatan sebagai keseluruhan yang utuh dengan mempertimbangkan perasaan‑perasaan
yang sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat.
Karena itu dari para warga masyarakat
dan pelaksana hukum diharapkan kepatutan dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya, sedemikian sehingga kerukunan dan kesejahteraan bermasyarakat
dapat dipertahankan dan dikembangkan.
Asas
kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan sebagai ciri‑ciri khas dari
Hukum Pancasila dapat dicakup denagn satu istilah, yakni sifat kekeluargaan.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa Hukum Pancasila adalah hukum bersemangat
kekeluargaan. Semangat kekeluargaan menunjuk pada sikap yang berdasarkannya
kepribadian setiap warga masyarakat diakui dan dilindungi oleh masyarakat.
Tujuan hidup manusia adalah
mewujudkan kebahagiaan. Dalam bahasa filsafat dikatakan, bahwa tujuan hidup
manusia itu adalah mewujudkan kehidupan yang sempurna, atau setidak‑tidaknya
menjalani kehidupan yang sesempurna mungkin sebagai manusia, yakni dengan
mengembangkan semua potensi‑potensi manusiawi yang ada dalam dirinya secara
utuh.
Tiap manusia akan berupaya untuk mewujudkan
tujuan hidupnya masing‑masing. Upaya itu dilaksanakan dengan menjalankan
perilaku. Hanya dengan perilaku, manusia dapat mewujudkan tujuan hidupnya.
Tetapi, perilaku saja tidak cukup; untuk dapat mewujudkan tujuan hidupnya itu,
manusia juga perlu mempergunakan berbagai hal lain yang ada di luar dirinya,
misalnya benda mati dan binatang. Karena kodrat kebersamaan dengan sesamanya,
maka segala upaya yang dilakukan manusia itu berlangsung dalam hubungan‑hubungan
kemasyarakatan. Di lain pihak, terbawa oleh kodratnya, manusia tidak dapat
dijadikan obyek dan alat oleh sesamanya tanpa meniadakan kemanusiaannya. Karena
setiap manusia memerlukan benda-benda dan binatang‑binatang itu untuk memenuhi
tujuan hidupnya masing‑masing, dan tidak ada seorang pun yang mau dijadikan
obyek atau alat oleh orang lain, maka di dalam hubungan kemasyarakatan itu
dengan sendirinya timbul pengertian hak bahwa setiap manusia sama‑sama
mempunyai hak untuk menggunakan benda‑benda dan binatang‑binatang itu serta
untuk tidak dijadikan obyek atau alat oleh orang lain; dan bersamaan dengan itu
timbul pengertian hukum Dapat kita pahami, pelaksanaan hak untuk hidup dan
mencapai tujuan hidup masing‑masing tidak mungkin terjadi secara wajar bila di
dalam masyarakat terdapat kekacauan. Dengan kata lain, manusia memerlukan
terselenggaranya ketertiban dan keteraturan di dalam masyarakat. Karena
ketertiban dan keteraturan itu diwujudkan dalam perilaku manusia, maka
diperlukan sejumlah peraturan perilaku yang kepatuhannya tidak dapat diserahkan
sepenuhnya kepada kemauan bebas setiap manusia. Peraturan‑peraturan perilaku
yang demikian itu disebut hukum, yang pelaksanaannya harus dapat dipaksakan
oleh otoritas publik. Jadi, dapatlah disimpulkan, bahwa salah satu tujuan dari
hukum adalah mengatur perilaku manusia di dalam hubungan-hubungan
kemasyarakatan, jika perlu dengan paksaan, sehingga terwujud ketertiban dan
keteraturan, secara singkat: mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam
masyarakat.
Tetapi, ketertiban dan ketenteraman itu
bukanlah tujuan akhir dari hukum, melainkan tujuan antara. Sebab, di dalam
masyarakat dapat saja, dengan menggunakan kekuatan, dipaksakan suatu ketertiban
yang bersifat tiranik, yang menindas nilai‑nilai manusiawi. Tujuan lebih jauh
dari hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati di dalam masyarakat. Kedamaian sejati akan terwujud, bilamana
setiap warga masyarakat merasakan ketenteraman dalam batinnya. Para warga masyarakat akan merasa tenteram, bilamana:
a. ia yakin bahwa
kelangsungan hidup dan pelaksanaan, termasuk hal mempertahankan, haknya tidak
tergantung pada kekuatan. Selain dari itu, perasaan tenteram akan ada;
b.
bilamana para warga masyarakat merasa yakin, bahwa
sepanjang tidak melanggar hak dan tidak merugikan orang lain, tanpa perasaan
khawatir, secara bebas dapat menjalankan apa yang diyakininya sebagai benar;
c. secara
bebas ia dapat mengembangkan bakat‑bakat dan kesenangannya;
d.
ia akan selalu mendapat perlakuan secara wajar dan
berperikemanusiaan, adil dan beradab, juga ketika ia telah melakukan suatu
kesalahan
Dalam tujuan hukum yang digambarkan
tadi, secara implisit, sudah mencakup tujuan lain dari hukum, yakni mewujudkan
keadilan. Kelangsungan ketertiban dan kedamaian sangat tergantung pada
terlaksananya keadilan. Karena itu, terselenggaranya keadilan adalah sangat
esensial dalam mewujudkan hukum. Pengertian keadilan meliputi beberapa aspek.
Secara umum dikatakan, bahwa keadilan
berarti dengan sukarela secara tetap dan mantap terus menerus memberikan
kepada tiap orang apa yang memang sudah menjadi bagiannya atau haknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas
ius suum cuique tribuere). Berdasarkan rumusan tadi, pengertian keadilan
dapat dibedakan dalam beberapa aspek
berikut ini. Keadilan Distributif (iustitia
distributiva) adalah keadilan yang berupa kewajiban pimpinan masyarakat
untuk memberikan kepada para warga masyarakat beban sosial, fungsi‑fungsi,
balas jasa dan kehormatan secara proporsional (seimbang) dengan kecakapan dan
jasa masing‑masing. Keadilan Komutatif (iustitia
commutativa) adalah kadilan yang berupa kesenilaian antara prestasi dan
kontra-prestasi, antara jasa dan balas jasa dalam hubungan‑hubungan
antar-warga, atau, dilihat dari sudut pemerintah memberikan kepada setiap warga
secara sama tanpa menghiraukan perbedaan‑perbedaan keadaan pribadi ataupun
jasanya. Keadilan Vindikatif (iustitia
vindicativa) adalah keadilan yang berupa memberikan ganjaran (hukuman)
sesuai dengan kesalahan yang bersangkutan. Keadilan Protektif (iustitia protectiva) adalah keadilan
berupa perlindungan yang diberikan kepada setiap manusia, sehingga tak
seorangpun akan mendapat perlakuan sewenang‑wenang.
Rumusan‑rumusan tentang keadilan tadi
adalah rumusan yang abstrak. Isi dari rumusan‑rumusan tadi akan ditentukan oleh
kondisi yang di dalamnya keadilan hendak diwujudkan. Yang pasti adalah, bahwa
keadilan menuntut bahwa setiap orang tanpa kecuali berkewajiban untuk
bertindak sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya oleh hukum; pengertian
hukum di sini tidak selalu berarti hukum positif.
Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban
dan keteraturan, kedamaian, serta keadilan dapat dirumuskan dengan satu
istilah, yakni Pengayoman (Perlindungan). Jadi, secara singkat padat, tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia.
Tetapi, mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti
pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang‑wenang dan pelanggaran hak saja.
Melainkan, juga meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi
upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu
memanusiakan diri terus menerus. Jadi, dalam alam pikiran Pancasila, tujuan
hukum adalah untuk menciptakan kondisi sosial yang manusiawi sedemikian
sehingga memungkinkan proses sosial berlangsung secara wajar, di dalamnya secara
adil setiap manusia mendapat kesempatan yang seluas‑luasnya untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. Termasuk dalam
rumusan tadi adalah tujuan hukum untuk memelihara dan mengembangkan budi
pekerti kemanusiaan serta cita‑cita moral rakyat yang luhur berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain dari itu, hukum juga secara langsung melalui
peraturan‑peraturannya mendorong setiap manusia untuk memanusiakan diri.
Secara
umum, dapat dikatakan, bahwa tugas/fungsi hukum adalah mengatur hubungan‑hubungan
kemasyarakan antar-para warga masyarakat satu sama lain dan antara para warga
masyarakat dan masyarakat sebagai keseluruhan (negara), sedemikian rupa
sehingga terselenggara ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Jadi,
tugas/fungsi hukum pertama‑tama adalah untuk mengabdi kepada ketertiban dan keadilan.
Untuk mewujudkan ketertiban dan
keadilan, maka tugas hukum adalah menciptakan keteraturan dan kepastian hukum,
yakni kepastian yang diciptakan oleh hukum dan kepastian di dalam hukum itu
sendiri. Dalam mewujudkan fungsi ini, maka tugas dari hukum adalah untuk
menciptakan, menegakkan, memelihara dan mempertahankan keamanan dan ketertiban
yang adil. Ini berarti, bahwa hukum juga berfungsi sebagai
sistem mekanisme pengendalian sosial untuk
memelihara stabilitas sosial poitik .
Untuk
melaksanakan fungsi-fungsi yang dikemukakan tadi, maka tugas hukum adalah
melalui peraturan‑peraturannya mencoba menyelaraskan (mengakomodasikan)
kepentingan-kepentingan para warga masyarakat dalam hubungan antara yang satu
dengan yang lainnya, serta antara kepentingan warga masyarakat dan masyarakat.
Tercakup dalam pengertian tugas hukum itu tadi adalah tugas untuk mengatur
kehidupan ekonomi masyarakat sedemikian rupa sehingga setiap warga masyarakat
akan mampu secara wajar memenuhi segala kebutuhannya. Jadi, hukum juga pada
dasarnya bertugas untuk secara adil mendistribusi kekayaan (pendapatan)
masyarakat. Dengan perkataan lain, di samping menjaga keamanan, hukum juga
harus mencegah terjadinya kepincangan dan ketidak adilan di dalam masyarakat.
Secara positif, hukum juga bertugas untuk mewujudkan keadilan sosial. Terwujudnya
keadilan sosial akan menimbulkan perasaan tenteram dalam batin para warga
masyarakat. Dengan terpeliharanya perasaan tenteram itu, maka ketertiban akan
mempunyai akar yang kuat. Telah dikemukakan, bahwa tujuan hukum adalah untuk
mewujudkan keadilan. Tetapi, keadilan mensyaratkan terselenggaranya ketertiban;
tanpa ketertiban, praktis tidak mungkin atau sulit sekali mewujudkan keadilan.
Sebaliknya, ketertiban hanya mungkin bertahan lama jika ketertiban berakar pada
ketenteraman masyarakat. Karena itu, maka hukum juga bertugas untuk
menciptakan peraturan‑peraturan tentang prosedur proses-proses pengaturan
(pengkaidahan, penormaan) perilaku dan cara‑cara melaksanakan serta mempertahankan
peraturan‑peraturan hukum, yang selain efektif juga harus memenuhi rasa
keadilan.
Dalam kondisi masyarakat yang sedang
berada dalam keadaan stabil, maka tugas/fungsi hukum adalah hanya memelihara
dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan keteraturan. Tetapi, dalam
masyarakat yang sedang mengalami perubahan-perubahan dan sedang melaksanakan
pembangunan, maka tugas/fungsi hukum memelihara keamanan dan ketertiban saja
tidak cukup, apalagi dalam masa perubahan-perubahan kemasyarakatan dan
pembangunan pada masa kini.
Perubahan kemasyarakatan adalah proses‑proses
perubahan dalam tata nilai yang menjiwai masyarakat. Perubahan
tata nilai itu meliputi juga perubahan-perubahan dalam sikap dan pola perilaku.
Sebelum perubahan itu mengendap dan menjadi mantap, maka terjadi situasi yang di dalamnya di samping tata nilai yang
baru, masih tetap berlaku tata nilai yang
lama yang jalin menjalin secara kabur. Tata nilai itu sendiri adalah hasil dari
pengalaman interaksi antar-warga masyarakat dalam proses kehidupan
bermasyarakat. Tetapi, sekali tata nilai terbentuk dan memperoleh kemantapan,
maka ia akan mempengaruhi dan membentuk sikap serta pola perilaku para warga
masyarakat. Sedangkan tata hukum mencerminkan tata nilai yang berlaku. Dengan
demikian terlihat bahwa antara tata nilai, hukum dan perubahan kemasyarakatan
terdapat hubungan yang erat. Bilamana dalam masyarakat terjadi perubahan dalam
tata nilai dan sikap serta pola perilaku para warganya, maka hukum bertugas
untuk memberikan bentuk hukum melalui perubahan dan/atau penciptaan peraturan‑peraturan
hukum baru pada perubahan-perubahan yang sudah terjadi. Hal ini perlu untuk
dapat tetap memelihara dan mempertahankan ketertiban dan kepastian (hukum)
dalam masyarakat.
Tetapi perubahan
kemasyarakatan yang kini tengah berlangsung, menciptakan masalah-maslah yang
sangat majemuk yang hanya dapat ditanggulangi dengan pembangunan berencana.
Perubahan hukum tidak dapat lagi menunggu mengendapnya hasil proses perubahan
kemasyarakatan itu. Sebab, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan secara
langsung dihadapkan pada masalah‑masalah yang majemuk sehubungan dengan
berlakunya dua tata‑nilai (lama dan baru) pada waktu bersamaan. Sikap dan pola
perilaku para warga masyarakat, termasuk sebagian dari pimpinan masyarakat
masih belum menguntungkan bagi berhasilnya upaya melaksanakan pembangunan
berencana yang diinginkan. Padahal penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat dan para warganya sudah sangat mendesak, namun penyelesaian itu
harus tetap berlangsung dengan cara yang tidak menindas martabat manusia. Ini berarti, bahwa pelaksanaan pembangunan
berencana itu harus tetap berdasarkan hukum. Karena itu, maka hukum selain
harus tetap mengatur ketertiban dan memelihara keamanan, juga bertugas untuk
membuka jalan dan saluran baru dalam sistem kehidupan bermasyarakat agar segala
upaya pembangunan berlangsung dengan lancar tanpa menimbulkan kepincangan dan
menimbulkan ketidak adilan dalam masyarakat (jurang yang semakin lebar antara
yang miskin dan yang kaya). Jadi, hukum juga berfungsi sebagai prasarana pembangunan. Sebagai
prasarana pembangunan, tugas hukum adalah membentuk peraturan‑peraturan hukum
yang dapat menyalurkan kegiatan masyarakat secara tertib teratur dan membagi
pendapatan masyarakat secara merata dan adil.
Sehubungan dengan sikap serta
pola perilaku yang masih terpaku pada tata nilai lama, maka hukum bertugas
untuk mempercepat proses pendidikan masyarakat kearah sikap serta pola perilaku
yang paling sesuai dengan masyarakat yang dicita‑citakan. Ini adalah fungsi
hukum sebagai prasarana pendidikan.
Tujuannya adalah untuk memungkinkan terjadinya pembangunan dengan cara yang
teratur tanpa menindas martabat kemanusiaan para warga masyarakat
Wilayah Indonesia merupakan sebuah
kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil. Bangsa Indonesia
terdiri dari berbagai suku yang masing‑masing memiliki dan hidup dalam atau
dengan adat‑istiadat, hukum adat dan bahasa sendiri‑sendiri. Kondisi ini,
selain dapat menghambat proses pembangunan, juga tidak menguntungkan bagi
upaya mewujudkan dan mengembangkan cita‑cita persatuan dan kesatuan sebagai
satu bangsa yang utuh. Kesadaran nasional adalah juga salah satu dari
manifestasi tata nilai. Karena itu, menumbuhkan kesadaran nasional secara nyata
berarti mengembangkan nilai‑nilai sosial-budaya di dalam masyarakat.
Berhubung segala hal yang menyangkut
hidup manusia harus selalu dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional, maka
usaha pengembangan nilai-nilai sosial-budaya pun harus dilaksanakan berdasarkan
hukum. Dengan demikian, maka hukum juga bertugas untuk meningkatkan kesadaran
hukum nasional sehingga kesadaran nasional itu semakin tebal dan semakin nyata
dirasakan dan dihayati oleh seluruh warganegara Republik Indonesia. Jadi hukum
juga berfungsi untuk secara aktif mempengaruhi perkembangan tata nilai dan
tumbuhnya nilai‑nilai sosial budaya yang baru. Ini adalah fungsi sosial budaya dari hukum.
Fungsi hukum sebagai prasarana
pendidikan dan fungsi sosial-budaya dari hukum bersama-sama mewujudkan atau
berakar dalam fungsi hukum sebagai prasarana
pengadaban masyarakat (yakni sarana untuk mengadabkan dan
meningkatkan keadaban para warga masyarakat).
Fungsi sebagai prasarana
pembangunan, prasarana pendidikan sosial dan prasarana pengembangan sosial
budaya itu, sudah barang tentu, harus dilaksanakan dengan melakukan penciptaan
peraturan‑peraturan hukum yang baru melalui prosedur yang sah dengan tetap
berpijak pada hukum dan tata nilai yang berlaku, namun diorientasikan ke masa
depan, segala sesuatu dengan memperhitungkan kenyataan‑kenyataan sosial
lainnya yang ada.