Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Wednesday, October 28, 2020

Wanatani atau agroforestry



Wanatani atau agroforestry adalah suatu bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, seperti tanaman pertanian. Model-model wanatani bervariasi mulai dari wanatani sederhana berupa kombinasi penanaman sejenis pohon dengan satu-dua jenis komoditas pertanian, hingga ke wanatani kompleks yang memadukan pengelolaan banyak spesies pohon dengan aneka jenis tanaman pertanian, dan bahkan juga dengan ternak atau perikanan.

Dalam bentuk yang dikenal umum, wanatani ini mencakup rupa-rupa kebun campuran, tegalanberpohon, ladang, lahan bera (belukar), kebun pekarangan, hingga hutan-hutan tanaman rakyat yang lebih kaya jenis seperti yang dikenal dalam rupa talun di Jawa Barat, repong damar di Lampung Barat, parak di SumatraBarat, tembawang (tiwmawakng) di Kalimantan Barat, simpung (simpukng)dan lembo di Kalimantan Timur, dan lain-lain bentuk di berbagai daerah di Indonesia.

Aneka bentuk wanatani ini sebetulnya mencerminkan strategi pengelolaan sumberdaya oleh petani. Tidak seperti halnya perkebunan-perkebunan besar yang dikelola perusahaan, kebanyakan kebun atau hutan rakyat tidak dikelola hanya untuk menghasilkan satu komoditas atau produk. Petani umumnya mengharap kebun atau ladangnya dapat menghasilkan tanaman panganutama (misalnya padi atau jagung), atau tanaman yang bernilai ekonomi tinggi (seperti kopi, cengkih, karet dll.), ditambah dengan produk-produk lain yang sifatnya subsisten seperti kayu bakar, tanaman rempah dan obat, pakan ternak, aneka hasil lainnya.

Variasi unsur-unsur dalam wanatani itu kurang lebih dapat disederhanakan, sbb.:

perpaduan antara tanaman keras (jangka panjang: pohon-pohonan) dengan tanaman semusim (pertanian jangka pendek)

perpaduan tanaman utama (sumber pangan, komoditas ekonomi) dengan tanaman sampingan

perpaduan tanaman penghasil dengan tanaman pendukung (misalnya kopi atau kakao, dengan pohon-pohon peneduhnya)

perpaduan tanaman dengan musim atau umur panen berbeda-beda: padi ladang, mentimun, kopi, damar matakucing, durian.

perpaduan pengelolaan pohon-pohonan dengan perikanan (tambak, balong, embung), dikenal juga dengan istilah silvofishery

perpaduan dengan pemeliharaan ternak (silvopasture) atau pemeliharaan lebah: hutan sebagai penghasil pakan ternak atau lebah, seperti di Sumbawa.

Pola-pola sederhana ini kerap dipraktikkan petani untuk memaksimalkan hasil, terutama di wilayah-wilayah padat penduduk. Pohon-pohon turi, randu, atau jati kerap ditanam pada pematang atau sebagai pembatas petak-petak sawah atau tegalan, di mana tanaman semusim ditanam. Turi membantu menyuburkan tanah dan bunganya dimanfaatkan sebagai sayuran; randu menghasilkan buah kapuk; dan dari jati diharapkan kayunya yang mahal harganya. Bentuk lain adalah pertanaman jeruk atau mangga, yang ditanam pada gundukan-gundukan tanah di tengah sawah.

Pada sisi yang lain, pola yang mirip dimanfaatkan dalam membangun hutan. Pola tumpangsaridalam menanam hutan jati atau hutan pinus di Jawa, adalah satu bentuk wanatani sederhana. Dalam tumpangsari, petani pesanggem dibolehkan memelihara padi ladang, jagung, ketela pohon dan lain-lain di sela-sela larikan tanaman pokok kehutanan (jati, pinus, dll.) yang baru ditanam. Biasanya pada tahun ketiga atau keempat, setelah tanaman hutannya merimbun dan menaungi tanah, kontrak tumpangsari ini berakhir.

Ilmu agroforestri klasik (classic agroforestry) banyak berkutat dengan model-model wanatani sederhana ini.





SUMPAH MAHASISWA



Sebagai bagian dari aktivis gerakan mahasiswa 1980-an, saya merasa Sumpah Mahasiswa selalu aktual.  Sekadar mengingatkan, sumpah itu pertama kali dikumandangkan pada sebuah apel memperingati Hari Sumpah Pemuda tahun 1988 di Kampus UGM Yogyakarta.   Kebetulan penyusun sumpah tersebut juga salah seorang aktivis mahasiswa dari UGM.

Setelah tiga dekade berlalu, sumpah mahasiswa masih sering dibacakan dalam setiap momen aksi. Dalam aksi mahasiswa generasi now, sumpah itu diucapkan disertai tangan tetap mengepal. Seperti bunyi Sumpah Pemuda, sumpah mahasiswa juga terdiri dari tiga larik, dengan prinsip yang sama yaitu tanah air, bangsa, dan bahasa. Bedanya hanya disesuaikan dengan konteks zamannya.  

Saat baru diterbitkan pada 1988, yang paling aktual adalah sumpah nomor satu, "Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan."  Bisa dipahami, ketika itu rezim Orde Baru dalam fase puncak otoritariannya. Begitu represifnya rezim Orde Baru mengendalikan kekuasaannya hingga ke desa-desa.

Setelah kejatuhan Suharto pada 1998, kita telah memasuki era yang lebih demokratis. Bersamaan dengan pergantian zaman, kemungkinan bisa terjadi “rotasi” dalam aktualitas sumpah mahasiswa.  Atmosfer masyarakat yang semakin demokratis, penindasan bukan lagi menjadi isu mendesak, sehingga sumpah nomor satu bisa sedikit bergeser, untuk digantikan sumpah nomor tiga, "Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan."


Jangan Bohongi Rakyat

Setiap generasi selalu memiliki tantangan sendiri, yang tentu sangat berbeda dengan generasi sebelumnya.  Salah satu tantangan generasi now (milenial) adalah bagaimana mengelola kecepatan informasi yang sangat masif di era digital.  Sumpah nomor tiga yang terkait dengan bahasa, secara tidak langsung memberi antisipasi pada situasi yang dihadapi aktivis gerakan mahasiswa sekarang.

Berkat bantuan teknologi, dibanding aktivis generasi 1980-an, aktivis generasi sekarang ibarat surga dalam perkara memperoleh informasi. Bagi generasi 1980-an, untuk mendapatkan informasi alternatif, yakni informasi yang bukan dirilis lembaga resmi (negara), butuh perjuangan sendiri. Tentu saja karena belum ada ponsel, smartphone, internet maupun platform media sosial.  

Generasi 1980-an biasa memperoleh informasi alternatif dalam diskusi terbatas yang seringkali harus “kucing-kucingan” dengan pihak aparat. Termasuk distribusi barang cetakan, seperti selebaran gelap, buletin, majalah, dan buku-buku yang memberi pandangan kritis serta wacana alternatif dalam menyikapi kebijakan pemerintah dan pembangunan.

Namun kemudahan dan kecepatan dalam memperoleh informasi saat ini memiliki konsekuensi tersendiri. Terutama rawan dengan berita bohong (hoax), berpikir instan, dan kurang kontemplasi.  Semoga ini hanya kekhawatiran saya saja sebagai bagian dari generasi aktifis yang telah lewat, bahwa kebiasaan berpikir instan pada gilirannya akan menghasilkan produk “setengah matang”.  Ini yang harus kita hindari.

Saya termasuk beruntung sebagai orang yang turut mengalami saat informasi masih disebarkan secara manual, sampai era digital seperti sekarang.  Informasi adalah domain publik, kecuali informasi terkait rahasia negara karena memang ada regulasi yang mengatur soal itu.

Akses informasi bisa menjadi indikator demokratis tidaknya sebuah bangsa. Bandingkan dengan era Orde Baru misalnya, ketika masyarakat seolah “dipaksa” menerima informasi yang datangnya dari lembaga negara. Karena memang hanya lembaga negara yang memiliki otoritas atas diseminasi informasi, meski dalam hati kita ragu atas kebenaran informasi tersebut. Di era pasca reformasi dan di zaman internet saat ini, penguasaan informasi secara sepihak seperti itu tidak berlaku lagi.

Saya percaya pada komitmen kerakyatan aktivis mahasiswa, satu hal yang harus kita ingat, jangan memberi hoaks pada rakyat. Kepandaian dan intelektual sebagai mahasiswa harus dimanfaatkan untuk meringankan beban rakyat.


Diuji Waktu 

Komitmen kerakyatan aktivis gerakan mahasiswa telah terbukti menjadi pilar gerakan civil society hari ini.   Mereka bergerak dalam lintas isu, mulai isu internal kampus, perburuhan, HAM, dan isu-isu kerakyatan lainnya.  Contoh yang fenomenal misalnya aksi dukungan terhadap KPK, dan isu terkait UU Cipta Kerja baru-baru ini.

Kiprah generasi baru telah menjadi ikonik di tengah gelombang gerakan civil society. Mereka adalah generasi aktivis yang berani menyatakan hati nuraninya, walaupun kadang bertentangan dengan penguasa.  Sebuah generasi  yang tidak sekadar mencari  jabatan dan kesejahteraan, namun keadilan dan kebenaran. Pada titik ini, kita seolah dingatkan kembali pada butir lain dari sumpah mahasiswa, yaitu "Berbangsa  satu, bangsa yang gandrung akan keadilan."

Fase sebagai aktivis gerakan mahasiswa sejatinya bersifat sementara, karena berhubungan dengan usia. Kelak dengan berjalannya waktu, aktivis gerakan mahasiswa generasi sekarang, pada satu-dua dekade ke depan akan menjadi pimpinan.  Memang tidak semua mantan aktivis akan terserap dalam lingkaran elite politik atau elite pemerintahan, karena berkaitan dengan pilihan hidup masing-masing.

Namun dalam tradisi politik kita, mantan aktivis gerakan mahasiswa merupakan salah satu sumber rekrutmen utama untuk mengisi formasi elite politik atau pemerintahan, seperti sekedar menyebut nama Pramono Anung, Tjahjo Kumolo, Teten Masduki, Ganjar Pranowo, Fadjroel Rachman, dan lain-lain.

Jika tiba saatnya nanti, para aktivis generasi sekarang akan mengikuti jejak nama-nama tersebut, dengan masuk lingkaran elite politik dan pemerintahan.   Kiranya prinsip atau nilai yang terkandung dalam sumpah mahasiswa bisa dijadikan bekal dalam memimpin. Janganlah kita melakukan kebohongan pada rakyat, dan juga berlaku adil pada rakyat.

Seperti bunyi adagium lama bagi etika politisi, yakni satunya antara kata dan perbuatan. Rakyat akan selalu mengingat apa yang pernah kita katakan saat kita masih menjadi aktivis mahasiswa.  Karena memori rakyat tidak sependek memori politisi. ***



-------------

Eko Sulistyo

Penulis adalah Aktifis Mahasiswa 1980-an.


Penataan Sarana dan Prasarana Wisata di Pulau Rinca TN Komodo Tetap Patuhi Kaidah Konservasi

 

Taman Nasional Komodo (TNK) yang ditunjuk pada tahun 1980 memiliki label global, sebagai Cagar Biosfer (1977) dan Warisan Dunia (1991) oleh UNESCO, memiliki luas 173.300 Ha, terdiri dari 58.449 Ha (33,76%) daratan dan 114.801 Ha (66,24%) perairan. Dari luas tersebut, ditetapkan Zona Pemanfaatan Wisata Daratan 824 Ha (0,4%) dan Zona Pemanfaatan Wisata Bahari 1.584 Ha (0,95%). Jadi pengembangan wisata alam sangat dibatasi, hanya pada Zona Pemanfaatan tersebut. Ini prinsip kehati-hatian yang ditetapkan sejak dari perencanaan ruang kelola di TNK tersebut.

Aktivitas wisata di TNK selama ini telah menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara. Sejak ditetapkan sebagai TN hingga saat ini sarana prasarana (sarpras) di TNK terus dikembangkan baik untuk wisata edukasi, maupun penelitian. Penataan sarpras yang sedang dilakukan di Lembah Loh Buaya Pulau Rinca TNK oleh Kementerian PUPR telah mencapai 30% dari rencana yang akan selesai pada Bulan Juni 2021. Saat ini penataan tengah memasuki tahap pembongkaran bangunan eksisting dan pembuangan puing, pembersihan pile cap, dan pembuatan tiang pancang.

.

sumber http://ppid.menlhk.go.id/berita_foto/browse/2587

Wednesday, October 21, 2020

Sumatran Rhino Sanctuary (SRS)

 


Taman Nasional Way Kambas (TNWK) terletak di Propinsi Lampung diantara 4°37′ – 5°16′ derajat lintang selatan dan 105 33′ -105 54′ derajat bujur timur dan berbatasan langsung dengan pantai bagian selatan pulau Sumatera yang menghadap ke Pulau Jawa.

Luas TNWK adalah 130.000 ha, sedangkan kawasan yang dimohon untuk diusahakan bagi pembangunan dan pengembangan Pusat Pengembangbiakan Badak Sumatera seluas 10.000 ha yang dibagi atas 2 blok, yaitu blok I seluas 9.500 ha meliputi kawasan diantara Way Kanan, Way Negara Batin dan batas selatan Taman Nasional, dan blok II seluas 500 ha yang meliputi kawasan pantai yang berada di muara Way Kanan.

Pada tahun 1996 Pusat Pengembangbiakan Badak Sumatera dengan nama Suaka Rhino Sumatera mulai dibangun didalam kawasan TNWK, Lampung. Suaka Rhino Sumatera ini adalah suaka pertama yang dibangun di Indonesia sesuai dengan rekomendasi lokakarya Pengembangan Suaka Badak Sumatera tahun 1994 di Safari Garden Hotel, Cisarua, Bogor. TNWK terpilih sebagai lokasi pertama dibangunnya SRS melalui proses penyeleksian terhadap beberapa kawasan yang potensial sebagai pusat pengembangbiakan badak sumatera, diantaranya adalah Sukaraja (TNBBS), Bangko-Jambi (TNKS), Air Seblat (TNKS), Sungai Lepan (TNGL) dan Way Kambas – Lampung (TNWK).

Suaka Rhino Sumatera (Sumatran Rhino Sanctuary) disingkat SRS adalah suatu upaya untuk menyediakan kawasan yang sangat luas dan lebih alami, yang diharapkan akan membuat badak sumatera berkembangbiak. SRS juga berperan sebagai pusat operasi perlindungan badak in-situ.

SRS dibangun di zona khusus (lain) TNWK dengan luas ±100 ha dari ±10.000 ha luas kawasan antara Way Kanan dan Way Negarabatin yang berfungsi sebagai lokasi konservasi in situ badak sumatera/ekoturisme.

SRS dibangun dan dikembangkan dengan konsep pengelolaan SRS yang terprogram dan terpadu secara semi in-situ. Walaupun tetap pada sebuah tempat yang dibatasi namun badak dipelihara sealami mungkin dengan kebutuhan yang jauh lebih alami dari pada waktu di kebun binatang. Pada lokasi SRS, badak dibiarkan hidup sendiri di areal masing-masing (10-20 ha) yang saling berhubungan ke center area sebagai lokasi pada masa kawin (setiap 20 – 25 hari/periode). Sistem ini meniru perilaku badak Sumatera di alam dimana ia merupakan satwa soliter, dan di SRS badak memiliki areal jelajah yang cukup luas, topografi habitat alami dan makanan yang cukup dengan variasi yang lengkap. Di sini juga diberikan daun dan buah tambahan agar kebutuhan makannya benar-benar terpenuhi. Campur tangan manusia sangat dibatasi tetapi badak tetap dalam pengawasan yang intensif, dimana pengamatan dilakukan sepanjang hari.

Di SRS yang utama diperhatikan adalah kesehatan badak, termasuk mempelajari bagaimana mempertahankan dan memonitor kesehatan tersebut, petugas harus mengetahui sedini mungkin kelainan atau gangguan sakit pada badak. Demikian pula halnya dengan upaya reproduksinya, selalu diupayakan ketepatan dalam waktu penggabungan atau perkawinan. Juga dalam pengambilan sampel (darah, urine dan feces) untuk diperiksa secara rutin dan cepat di laboratorium. Sejauh ini kondisi kesehatan badak yang ada di SRS sangat baik tanpa gangguan yang berarti. Untuk memonitor berat badan dilakukan penimbangan minimal sekali dalam seminggu.

Upaya lain dalam mengantisipasi penularan penyakit adalah dengan melakukan survey penyakit (diseases survelaince) di sekitar TNWK termasuk di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional setiap tahun.

Pemeliharaan sealami mungkin adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan reproduksi badak, sehingga mendekati kondisi normal seperti di habitat alaminya. SRS mencoba untuk mengungkap semua fakta informasi tentang badak sumatra secara ilmiah sehingga diharapkan menjadi pusat riset dan pengembangbiakan badak. Sehingga di masa depan diharapkan dapat menjadi sumber satwa untuk reintroduksi memperkuat populasi alam (in-situ). Tentu bila kawasan yang ingin direintroduksi terjamin aman dari gangguan kerusakan dan perburuan badak.

Di SRS, melalui berbagai penelitian tahap awal informasi tentang badak sumatera telah diperoleh, antara lain telah ada data perilaku harian (daya jelajah, makanan, aktivitas berkubang, dll), perilaku perkawinan (mengetahui tanda dan waktu penggabungan yang tepat, analisa sperma, ultrasound, dll) dan monitoring khusus kesehatan (pemeriksaan rutin dan laboratorium). Berbagai peneliti telah datang ke SRS dan melakukan beberapa penelitian anatara lain dari IPB, Unila, Cornell University, Ohio University, Assafiiyah, UNAS, dll. Informasi yang telah dikumpulkan sangat berguna untuk pemeliharaan badak yang tepat di habitat alaminya dan didapat pula pengetahuan yang lebih banyak tentang kehidupan badak sumatera.

Note:

Protocol Visits to Sumatran Rhino Sanctuary,

Monday, October 19, 2020

Kesatuan Pengelola Hutan (Lindung dan Produksi)


 Dari 120,3 juta Ha kawasan hutan negara, hampir separuhnya (46,5% atau 55,93 juta hektare) tidak dikelola secara intensif. Di antara kawasan itu adalah 30 juta Ha hutan dibawah wewenang Pemerintah Daerah. Baru sekitar 64,37 juta Ha (53,5%) hutan yang dikelola dengan cukup intensif. Kawasan hutan yang dikelola intensifsebagian besar merupakan hutan produksi dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan KayuIUPHHK) seluas 36,17 juta hektare. Yang dikelolaberdasarkan sistem hutan alam oleh 324 unit usaha seluas 26,2 juta Ha. Yang dikelola dengan sistem Ha, serta kelompok-kelompok hutan konservasi sebanyak 534 lokasi seluas 28,2 juta Ha.

Namun demikian, baik kawasan yang dikelola dan tidak dikelola terjadi konflik atau ada potensi konflik tentang pemanfaatan hutan. Diperkirakan seluas 17,6 juta Ha – 24,4 juta Ha hutan terjadi konflik berupa tumpang-tindih klaim hutan Negara dan klaim masyarakat adat atau masyarakat local lainnya, pengembangan desa/kampung, serta adanya izin sektor lain yang dalam praktiknya terletak dalam kawasan hutan. Ketiadaan pengelolaan hutan, dan konflik atau potensi konflik mengakibatkan hilangnya sejumlah insentif pelestarian hutan alam yang masih ada dan disinsentif bagi pelestarian hasil rehabilitasi hutan dan lahan.  Dalam skala nasional, luasnya hutan yang tidak dikelola menjadi penyebab lemahnya pemerintah menjalankan kewajiban dalam mengamankan asset hutan alam maupun hasil rehabilitasi. Situasi yang sama dialami para pemegang hak atau izin.

Realitas di atas menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan, baik mempertahankan hutan alam yang tersisa maupun membangun hutan tanaman baru dan diharapkan berhasil, diperlukan prioritas kegiatan teknis sekurang-kurangnya mencakup:

1. Penyelesaian masalah kawasan hutan yang telah terjadi dan menghindari terjadinya masalah baru di masa depan serta meningkatkan kapasitas pengelolaan hutan konservasi dan hutan lindung

2. Mempermudah akses bagi penerima manfaat atau dapat menekan terjadinya ekonomi biaya tinggi serta terdapat landasan kuat untuk mengalokasikan manfaat hutan secara adil

3. Menyediakan infrastruktur sosial maupun ekonomi bagi penguatan kelembagaan local terutama yang mendapat akses pemanfaatan sumberdaya hutan, peningkatan efisiensi ekonomi maupun pengembangan nilai tambah hasil hutan.

Ketiga kegiatan teknis tersebut harus dilakukan dan berorientasi pada perencanaan secara spasial dengan memperhatikan situasi sosial ekonomi lokal serta menyatukan arah pelaksanaan kegiatan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kebupaten/Kota. Untuk keperluan inilah pembangunan KPH menjadi solusi strategis yang tidak dapat dihindari.

Landasan pembentukan KPH didasarkan terutama oleh beberapa peraturan-perundangan, sebagai berikut:

1. UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

2. PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan

3. PP 6/2007 Jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan

4. PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

5. PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

6. Permenhut P. 6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH.

7. Permenhut P. 6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengelolaan Hutan pada KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP)

8. Permendagri No. 61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah.

Berdasarkan peraturan-perundangan tersebut, dijelaskan pokok-pokok kandungan isinya yang menjadi pilar kebijakan pembentukan KPH. Semua hutan di wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka penguasaan tersebut negara memberi wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan. Pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat, meliputi:

1. Perencanaan kehutanan

2. Pengelolaan hutan

3. Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan

4. Pengawasan

Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:


1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan,meliputi:

a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan

b. Pemanfaatan hutan dalam hal pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang ijin

c. Penggunaan kawasan hutan dalam hal pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang ijin

d. Pemanfaatan hutan di wilayah tertentu

e. Rehabilitasi hutan dan reklamasi


f. Perlindungan hutan dan konservasi alam.

2. Menjabarkan kebijakan kehutanan Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota untuk diimplementasikan

3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian

4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 Jo Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan telah ditetapkan tugas pokok dan fungsi KPH. Tugas pokok dan fungsi KPH tersebut –  terutama untuk KPHP dan KPHL – sebelum ada KPH sebagian dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/ Kota dan sebagian diantaranya dilaksanakan oleh para pemegang ijin. Dengan demikian, maka sebelum ada KPH, seluruh tugas pokok dan fungsi KPH tetap dijalankan oleh Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi KPH tersebut yaitu pada penyelenggaraan manajemen pengelolaan hutan di tingkat tapak/lapangan, sedangkan tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan yaitu penyelenggaraan pengurusan/ administrasi kehutanan.

Dalam rangka pembangunan KPHP dan KPHL di Indonesia maka kementerian kehutanan telah menetapkan indikator kinerja utama (IKU) yang terkait dengan KPH yang tertuang pula dalam Rencana Strategis  Kementerian Kehutanan pada Permenhut No. P51/Menhut-II/2010 tentang  penetapan wilayah KPH di seluruh Indonesia dan beroperasinya 120 KPH maka perlu dibentuk KPH Model di Seluruh Indonesia. Pembangunan KPHP dan KPHL meliputi tiga aspek yaitu pembangunan wilayah, pembentukan organisasi dan penyusunan rencana.



Wednesday, October 14, 2020

Wayang Kulit

 Sejumlah pekerja seni melakukan pertunjukan wayang kulit di atas genteng rumah di Tegalgiri, Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (8/10/2020). 


Pertunjukan tersebut sebagai bentuk aksi protes pekerja seni yang terhenti semenjak pandemi COVID-19 serta berharap adanya solusi dan kebijakan dari pemerintah dalam kegiatan pagelaran pertunjukan seni sehingga ekonomi pekerja seni tetap berjalan. ⁣

📸 ANTARA/ALOYSIUS JAROT NUGROHO 

from @mediaindonesia

Friday, October 9, 2020

UU Cipta Kerja telah disahkan. Dalam UU ini juga mencakup masalah Lingkungan Hidup dan kehutanan.

 


Banyak sekali narasi-narasi berkembang yang perlu diluruskan. Salah satunya perihal perhutanan sosial.

Perlu dicatat, UU Cipta Kerja adalah UU berpihak ke rakyat kecil, tidak hanya swasta besar. Inilah untuk pertama kalinya ada UU yang memasukkan secara ekplisit mengenai Perhutanan Sosial.

Melalui Perhutanan Sosial, hak-hak masyarakat dilindungi. Izin tidak lagi diberikan hanya kepada korporasi, tapi kepada kelompok tani. Hak-hak rakyat terpenuhi. Diatur sedemikian rupa  sehingga tidak lagi seperti di waktu-waktu yang lalu sangat banyak izin dikeluarkan untuk swasta dan sangat sedikit izin untuk akses masyarakat. Presiden Jokowi sudah mengawalinya untuk memberikan izin-izin bagi masyarakat sehingga ada proporsi keadilan buat rakyat. 

Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, menjaga keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya.

Hutan sosial juga menjadi salah satu alternatif menyelesaikan sengketa terhadap pelanggaran atau pencurian di hutan. 

Contoh konkrit dengan adanya UU Cipta Kerja, tidak boleh ada lagi kriminalisasi pada petani kecil atau masyarakat adat. Sebelumnya UU cukup  kejam sekali, bahkan istilahnya dulu di hutan konservasi itu “ranting tak boleh patah, nyamuk tak boleh mati “. Petani yang tidak mengerti, tidak sengaja melakukan kegiatan di dalam hutan, atau bahkan sebetulnya mereka sudah berumah di hutan, bisa langsung berhadapan dengan hukum. Sekarang ada pengenaan sanksi administratif, bukan pidana, dan kepada masyarakat tersebut, dilakukan pembinaan dan diberikan legalitas akses. Istilahnya dalam UU berupa  kebijakan penataan kawasan hutan seperti hutan sosial, kemitraan konservasi, reforma agraria, hutan adat, dan lain-lain.

UU Cipta Kerja sangat berpihak kepada masyarakat, mengedepankan restorative justice. Penegakan hukum bagi perusak lingkungan juga semakin jelas, tegas, dan lebih terukur.

Masih banyak yang perlu kita sampaikan, dan akan terus kita sampaikan, sehingga UU Cipta Kerja, sebagaimana tujuannya, dapat mewujudkan Indonesia Maju.

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...