Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Wednesday, June 10, 2020

Cerita Silat ( Fatwa sang Hyang dalam Mimpi)

Cerita Silat lanjutan. .



Dalam riuh rendah nya dunia, saat bulan mulai meninggi, serta sayup sayup suara jangrkik pun mulai menghilang.

Didalam mimpi, Sang Pendekar Manja didatangi oleh Sang Hyang Guru., dalam mimpi nya beliau berkata;

Muridku.. Aku tahu hatimu sedang Risau.. Walaupun Engkau sembunyikan lewat senyum dan Canda Tawa Mu. Aku mengenal Mu lebih dari siapapun..
Tidak semua yang di Cintai harus di miliki Muridku..
Terkadang Tuhan lebih memilih Engkau tersakiti..
daripada Engkau tersesat bersama Orang yg Kau pilih..

Bukan karena Tuhan membenci Mu.. Namun karena Tuhan menyayangi Mu.. Muridku.. Bangkit lah dan lupakanlah semua yg telah terjadi..

Ohh.. Hyang Guru..? Pendekar Manja terbangun dari tidurnya.. masih terngiang nasehat gurunya.. Kemudian Iya tersenyum..

tampak tumbuh semangat baru di Hati Nya..
Lalu Berkelebattt.........

#Pendekar Manja, Kebelet pipis hehe... . .
#JackGiar

Tuesday, June 9, 2020

Pulih di Ende


Sukarno menyebut pengasingan ke Ende membuatnya menjadi "seekor elang yang telah dipotong sayapnya".
Pengasingan di Ende membuat Sukarno terguncang dan tidak berdaya secara politik.

Namun, alih-alih tempat pembuangan, Ende justru menjadi rumah pemulihan bagi Sukarno. Di Ende-lah Sukarno menemukan pribadinya yang paling dalam, berubah dari manusia "singa podium" menjadi "manusia perenung".

#BungKarnoBapakBangsa
#JuniBulanBungKarno
#HarlahBungKarno
#BulanBungKarno

Mencari Prabu Siliwangi



Prabu Siliwangi menjadi tapal batas peralihan zaman. Sosoknya terselubung misteri antara mitos dan realitas.

Kean Santang menetapkan pilihannya beralih agama, memeluk Islam sebagai jalan hidup. Pilihan itu berseberangan jalan dengan ayahnya, Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Kean Santang (juga kerap disebut Kian Santang atau Keyan Santang) lantas pergi berkeliling Jawa untuk menimba ilmu dan memperdalam pengetahuan agama. Di sela pengembaraan, dia berganti nama menjadi Sunan Rahmat.

Dia mengemban tugas mengislamkan wilayah barat Pulau Jawa. Dan salah satu tujuan utamanya, mengajak sang ayah beralih keyakinan. Ajakan itu ditolak Sang Prabu dan para pengikutnya. Pertempuran pun tak terelakkan.

Prabu Siliwangi bersama para pengikutnya melarikan diri ke hutan Sancang –di selatan Garut. Putranya terus memburu. Demi menghindari pertempuran lebih lanjut dengan anaknya, Sang Prabu ngahiang (moksa) dan bersalin rupa menjadi Macan Putih. Sementara para pengikutnya berubah wujud menjadi Macan Sancang.
Salah satu versi cerita tutur masyarakat Sunda mengenai moksa Prabu Siliwangi di Sancang itu dihimpun Robert Wessing, antropolog University of Illinois, Amerika Serikat. Wessing menyebut cerita itu kental balutan mitos. Namun, mitos itu dapat dipahami melalui telusur konteks sosial dan historisnya, yang berkaitan dengan “perubahan politik di Jawa Barat dari kerajaan [Hindu] Vaisnava ke kerajaan Islam pada sekira 1579, serta orientasi masing-masing kerajaan,” tulis Wessing dalam “A Change in the Forest: Myth and History in West Java”, dimuat Journal of Southeast Asian Studies, Vol 24, No 1, Maret 1993.

Lantas siapakah Prabu Siliwangi, yang sosoknya melekat kuat dalam alam pikir masyarakat Sunda dan menjadi junjungan dalam cerita tutur, dan berjejak pada beragam jenis susastra Sunda?

Prabu Siliwangi menjadi tapal batas peralihan zaman. Sosoknya terselubung misteri antara mitos dan realitas.

Kean Santang menetapkan pilihannya beralih agama, memeluk Islam sebagai jalan hidup. Pilihan itu berseberangan jalan dengan ayahnya, Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Kean Santang (juga kerap disebut Kian Santang atau Keyan Santang) lantas pergi berkeliling Jawa untuk menimba ilmu dan memperdalam pengetahuan agama. Di sela pengembaraan, dia berganti nama menjadi Sunan Rahmat.

Dia mengemban tugas mengislamkan wilayah barat Pulau Jawa. Dan salah satu tujuan utamanya, mengajak sang ayah beralih keyakinan. Ajakan itu ditolak Sang Prabu dan para pengikutnya. Pertempuran pun tak terelakkan.

Prabu Siliwangi bersama para pengikutnya melarikan diri ke hutan Sancang –di selatan Garut. Putranya terus memburu. Demi menghindari pertempuran lebih lanjut dengan anaknya, Sang Prabu ngahiang (moksa) dan bersalin rupa menjadi Macan Putih. Sementara para pengikutnya berubah wujud menjadi Macan Sancang.
Salah satu versi cerita tutur masyarakat Sunda mengenai moksa Prabu Siliwangi di Sancang itu dihimpun Robert Wessing, antropolog University of Illinois, Amerika Serikat. Wessing menyebut cerita itu kental balutan mitos. Namun, mitos itu dapat dipahami melalui telusur konteks sosial dan historisnya, yang berkaitan dengan “perubahan politik di Jawa Barat dari kerajaan [Hindu] Vaisnava ke kerajaan Islam pada sekira 1579, serta orientasi masing-masing kerajaan,” tulis Wessing dalam “A Change in the Forest: Myth and History in West Java”, dimuat Journal of Southeast Asian Studies, Vol 24, No 1, Maret 1993.

Lantas siapakah Prabu Siliwangi, yang sosoknya melekat kuat dalam alam pikir masyarakat Sunda dan menjadi junjungan dalam cerita tutur, dan berjejak pada beragam jenis susastra Sunda?

Catatan awal mengenai Prabu Siliwangi samar-samar terekam dalam cerita pantun Langga Larang, Babakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi. Keempat cerita pantun itu disebut dalam teks Siksa Kandang Karesian yang berbahasa dan beraksara Sunda Kuna, bertarikh 1518 M.

Namun, para peneliti kajian Sunda kehilangan narasi awal tersebut. Pasalnya, keempat cerita pantun itu lenyap tak berjejak. Kendati begitu, “dengan bukti ini sudahlah jelas bagi kita, bahwa dalam tahun 1518 M Prabu Siliwangi sudah jadi tokoh cerita pantun,” tulis Amir Sutaarga, filolog pada Museum Gajah (kini, Museum Nasional) dalam Prabu Siliwangi.

Menariknya, sosok Prabu Siliwangi masih tampil di banyak karya sastra, terutama cerita pantun Sunda sekira akhir abad ke-16. Seorang linguis asal Belanda, Fokko Siebold Eringa, yang menggarap cerita pantun Loetoeng Kasaroeng sebagai objek disertasinya, berhasil menghimpun tigapuluh tujuh judul cerita pantun yang dikenal luas masyarakat Sunda. Namun dalam banyak cerita pantun tersebut, Sang Prabu justru tak ditempatkan sebagai tokoh utama yang memiliki peran besar dalam cerita. Sebaliknya, tulis Eringa dalam Loetoeng Kasaroeng: Een Mythologisch Verhaal uit West Java (1949), diterbitkan sebagai seri Verhandelingen van het Koniklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkekunde, (VKI), deel 8. 1949, tokoh utama yang tampil dalam cerita ialah para putranya: Jaka Susuruh, Guru Gantangan, dan Munding Laya Dikusuma. 

Kaitan rekam jejak Sang Prabu dalam karya sastra abad ke-16 dengan kenyataan zaman pernah diungkap Jacobus Noorduyn, filolog asal Belanda yang menggeluti beragam naskah Sunda. Dia mengambil pijakan dari teks Bujangga Manik yang memuat kekayaan detail topografi wilayah Jawa, Bali, dan berbagai lokasi di tanah Sunda yang dilalui Bujangga Manik, pujangga kelana asal Pakuan.

Sesaat akan menyeberangi perbatasan Sungai Ci-Pamali (sungai di Brebes), batas wilayah Sunda, Bujangga Manik terlebih dulu singgah di wilayah Arega Jati dan Jalatunda –keduanya tak dikenali. Teks itu menghubungkan Jalatunda, yang biasanya mengacu pada tempat pemandian (patirthan), sebagai tempat melestarikan kenangan (sakakala) terhadap Siliwangi. Potongan kecil informasi dalam teks Bujangga Manik menunjukkan bahwa Siliwangi telah menjadi tokoh historis saat teks itu ditulis.

“Kisahnya sudah dikenal pada masa itu, serta suatu peristiwa penting dalam hidupnya pasti telah terhubung dengan Jalatunda atau area yang lebih spesifik,” tulis J. Noorduyn dalam ”Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source”, Bijdragen tot de taal, land- en volkenkunde 138, 1982.

Narasi agak lengkap mengenai laku hidup Prabu Siliwangi tersua dalam beberapa manuskrip yang digubah pada abad ke-19: Tjerita Prabu Anggalarang, Babad Pajajaran, Babad Siliwangi, dan Wawatjan Tjarios Prabu Siliwangi. Namun muatan teks manuskrip-manuskrip tersebut, “kurang artinya sebagai sumber sejarah, tetapi lebih banyak merupakan karya sastra yang ditulis dalam bentuk tembang,” ujar Sutaarga.

Prabu Siliwangi tidak hanya hidup dalam teks dan rangkaian cerita. Namanya pun kerap digunakan sebagai legitimasi politik para bupati dan bangsawan Sunda. Menurut Sutaarga, dalam berbagai naskah yang kebanyakan ditulis abad ke-19, nama Prabu Siliwangi dimuat untuk memenuhi kebutuhan para bupati yang berkuasa di berbagai kabupaten di Jawa Barat, khususnya Priangan. Mereka ingin mengaitkan hubungan trahnya dengan Prabu Siliwangi lewat babad-babad keluarga yang memuat pohon kekerabatan.
Identifikasi Siliwangi. 

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, sebuah manuskrip yang digubah di bawah lindungan Pangeran Arya Carbon dari Cirebon dan selesai ditulis tahun 1720, tokoh Prabu Siliwangi disebut sebagai raja Sunda yang beribukota di Pakuan-Pajajaran. Informasi serupa didapat dalam banyak manuskrip yang berasal dari pertengahan abad ke-19. Apakah realitas teks yang menghubungkan Prabu Siliwangi dengan salah seorang raja Sunda adalah realitas historis?

Hasan Djafar, ahli epigrafi, mengatakan Prabu Siliwangi tidak pernah disebut dalam sumber-sumber primer yang berasal dari prasasti dan naskah Sunda Kuna yang muatannya dapat dipercaya. Dari 23 prasasti dari masa kerajaan Sunda yang telah diteliti, 11 prasasti menyebut nama raja-raja Sunda tapi tak satu pun menyebut nama Prabu Siliwangi. Hal itu bisa dipahami karena, “Prabu Siliwangi bukan nama seorang raja dan nama gelar seorang raja, tetapi julukan bagi salah satu di antara deretan raja-raja Sunda,” ujar Hasan Djafar kepada Historia.

Sumber dari karya sastra lumrahnya menyelaraskan Prabu Siliwangi sebagai raja Pajajaran. Namun, kaitan Sang Prabu dengan kerajaan Pajajaran ditolak C.M. Pleyte, etnolog asal Belanda. Pleyte mengajukan pandangannya bahwa Prabu Siliwangi tidak pernah menjadi penguasa Pajajaran.

“Prabu Siliwangi sama dengan Prabu Wangi dari Carita Parahiyangan, yang telah tewas di tanah lapang Bubat,” tulis Pleyte dalam “Raden Moending Laja di Koesoema. Een Oude Soendasche Ridderroman. Met een inleiding over den Toekang Pantoen”, dimuat Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde (TBG), XLIX. Menurutnya, Prabu Siliwangi identik dengan Prabu Wangi atau Prabu Maharaja dari kerajaan Sunda.
Sejatinya, terdapat dua arus besar pendapat dari para ahli Sunda mengenai identifikasi Prabu Siliwangi. Pendapat pertama dilontarkan Ayatrohaedi, arkeolog Universitas Indonesia, yang mengidentifikasi Prabu Siliwangi dengan tokoh Raja Sunda Niskala Wastukancana. Hal itu disampaikannya dalam “Tunas Bersemi di Bumi Subur”, dimuat Proceedings Seminar Sejarah dan Budaya II Tentang Galuh. Menurutnya, Siliwangi berasal dari kata “silih” yang berarti “ganti”, sedangkan “wangi” berarti “harum”; atau bermakna menggantikan seseorang yang harum atau tersohor namanya.

Raja yang harum dan tersohor namanya, menurut Ayatrohaedi, adalah Prabu Maharaja yang gugur di tanah lapang Bubat. Walau tahta kerajaan sementara sempat diisi Buni Sora selama enam tahun, Ayatrohaedi memandang Niskala Wastu Kancana merupakan raja pengganti Prabu Maharaja yang berjasa besar membangun kerajaan Sunda. Masa bertahtanya pun cukup lama, 104 tahun (1371-1357), hingga mangkat di Nusalarang.

Tapak jasanya sebagai raja tersua dalam beberapa prasasti. Prasasti Kawali IA, dari wilayah Astana Gede, Kawali, Ciamis, yang berasal dari abad ke-15, menyebut Niskala Wastu Kancana sebagai Prebu Raja Wastu yang bertahta di ibukota Kawali. Dialah yang memperindah kadaton Surawisesa, membuat parit yang mengelilingi ibukota, memberikan kemakmuran bagi seluruh desa, dan melaksanakan kebajikan agar lama jayanya di dunia. Namanya pun disebut dalam Prasasti Kabantenan I (abad ke-16) dan Batu Tulis, Bogor (1533 M).

Pendapat berbeda dikemukakan Amir Sutaarga dalam Prabu Siliwangi dan Saleh Danasasmita dalam Tokoh Prabu Siliwangi dalam Perspektif Sejarah. Kedua ahli itu mengidentifikasi Prabu Siliwangi sebagai Sri Baduga Maharaja, cucu Niskala Wastu Kencana, yang bertahta pada 1482-1521 dan memindahkan pusat kekuasaan ibukota di Pakuan-Pajajaran. Pada masanya kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaan. Sri Baduga Maharja membangun kembali dan memperindah ibukota Pakuan, memariti sekeliling ibukota Pakuan, membuat monumen berupa gugunungan, membuat jalan yang diperkeras dengan batu (ngabalay), membuat hutan lindung (samida), dan membuat Talaga Warena Mahawijaya.

“Tidaklah mengherankan bahwa Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja sampai dua kali mengalami pemberkatan (diwastu) dan masa pemerintahannya merupakan masa kejayaan dan kemakmuran,” ungkap Sutaarga.

Terkait perbedaan pendapat itu, kemunculan sosok Prabu Siliwangi dapat dibaca sebagai sebuah fenomena zaman, gejala peralihan antara tatanan lama dan tatanan baru. Menurut Hasan Djafar, fenomena ini mirip dengan sosok Brawijaya yang dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai raja Majapahit akhir sebelum ditundukkan Demak.

“Prabu Siliwangi di wilayah barat Jawa, dan Brawijaya di wilayah timur Jawa, menjadi tapal batas antara tatanan lama dan baru. Kedua sosok itu merupakan gejala peralihan kepercayaan, agama, dan masa kejayaan,” ujar Hasan Djafar.


Ian Antono



Hampir lima dekade Ian Antono malang melintang di jagat musik Indonesia, merasakan pahit manisnya pasang surut panggung rock Tanah Air, sampai 'dikebiri' hak ciptanya oleh industri musik, namun ia masih tetap tegak berdiri.

Entah sudah berapa ratus panggung ia taklukkan dengan lengkingan gitarnya, yang jelas Ian Antono masih tetap berkarya di usianya yang ke-64.

Berawal dari masa kecil yang memang dekat dengan dunia musik, ditambah hasrat bermusik yang tak terbendung, Ian menjadi salah satu legenda musik rock Indonesia. Namun semua itu bukan perkara mudah, Ian harus jatuh bangun bergulat dengan jalan hidup yang dia pilih itu.

Beruntung saat kecil Ian Antono mendapat paparan musik yang lebih dari anak seusianya, rumah Ian di Malang kerap dijadikan tempat berkumpul untuk ngeband. Belum lagi, kediaman Ian digunakan sebagai tempat radio amatir. Hal itu membuat Ian memiliki referensi musik lebih luas karena bisa mendengarkan siaran dari Australia yang kerap memutar lagu-lagu yang sedang menjadi tren di Amerika dan Eropa.

Band zaman dulu masih aliran enggak jelas, zamannya the Shadows. Di rumah ada alat band, dari kecil telinga sudah dibiasakan mendengar musik. Kebetulan orangtua saya bebas, seneng lah kalau rumahnya untuk ngumpul-ngumpul. Pertama saya belajar instrumen drum,” kenang Ian.

Kegemarannya terhadap musik bertolak belakang dengan situasi pada zaman itu, terlebih saat Ian bersekolah di sekolah bergengsi yang dikenal memiliki murid dengan kualitas akademis baik. Langkah berani diambil Ian, dia hijrah menuju Ibukota selepas SMA.
“Saya dulu sering bolos, saya enggak nakal anaknya, malah cenderung diem. Sekolah ya karena takut aja sama orang tua. Sekolah saya sekolah bagus semua, sekolah Katolik,  SMP di Santo Yosef dan SMA di St. Albertus,” tukas Ian pada Metrotvnews.com.

Bisa dibilang, modal Ian ke Jakarta hanya tekad ingin jadi musisi. Selebihnya nekat. Berangkatlah Ian ke Jakarta di akhir dekade 60-an bersama sahabatnya dari Malang, Abadi Soesman. “Saya pergi dari Malang gara-gara musik, saya berhenti sekolah karena musik. Waktu itu umur saya masih 17 tahun,” beber Ian.
Ian yang pada awalnya bermain untuk band yang tampil di klub-klub malam dan hotel pun merasa jengah dengan kehidupan musisi yang tak pasti pada zaman itu.

“Sekitar tahun 1975, masa susah saya, sebelum bergabung God Bless. Masa paling susah untuk menentukan saya terus atau enggak (di musik). Waktu itu di band Irama Abadi, saya diajak ke Jakarta dan tinggal di satu kamar tidur diisi 6 orang, tidur di tikar. Saking enggak tahannya saya pernah pulang naik motor dari Jakarta ke Malang,” ujar Ian sambil tertawa.
Lagi-lagi musik menariknya begitu kuat, keluh dan peluh tak membungkam hasrat Ian muda. Tak lama meratapi nasib, Ian bergulat lagi dengan Ibukota.
Sekembalinya ke Jakarta, Ian masih terngiang akan kampung halamannya di Malang, kerinduan-kerinduan yang muncuk akibat kerasnya hidup di Jakarta, “(Dulu) Masih ada penyesalan ke Jakarta, tapi enggak mungkin balik ke Malang, udah enggak ada rumah di Malang, dicemooh juga kalau kembali.”

Tuhan memberkati God Bless

Pada tahun 1975 Ian masuk ke God Bless, band yang sebelumnya sering membawakan lagu milik band lain seperti Deep Purple dan Genesis. Mendapat suntikkan personel baru, God Bless percaya diri merilis album debut mereka.

Butuh keberanian atau mungkin lebih tepatnya nekat untuk merilis album rock di zaman itu. Selain tidak diminati oleh perusahaan rekaman, musik rock yang terdengar liar juga kurang menjanjikan dari segi komersial.

Pramaqua menjadi perusahaan rekaman yang merilis album debut God Bless, bukan karena mereka melihat potensi pasar rock, tetapi lebih kepada hubungan baik antara Ian dan petinggi Pramaqua. Johannes Soerjoko, pendiri Aquarius (Aquarius bersama Prambors Rasisonia membuat Pramaqua) menjalani masa kecil bersama Ian, dia kerap bermain di rumah Ian di Malang.

“Album pertama God Bless yang bikin Pramaqua. Dulu pakai mixer radio untuk recording, mixernya udah 24 track, merknya saya ingat Schlumberger,” kata Ian.
Salah satu kenangan masa perjuangan Ian bersama God Bless adalah mereka mampu memaksimalkan apapun yang ada dengan modal utama semangat. Bahkan, Ian melahirkan berbagai karya-karya besar tanpa menggunakan gitarnya sendiri, karena ia memang belum punya.

“Album pertama God Bless itu bukan pakai gitar saya, saya pertama punya gitar tahun 2000. Itu yang beli sendiri. Kalau dipinjami sering, ditaruh rumah sampai lama, gitarnya Abadi (Soesman) saya bawa pulang sampai akhirnya kayak gitar saya sendiri,” kenang Ian sambil terkekeh.

Meski nama God Bless selangit, hal itu tidak sama dengan mereka berhasil meraup rupiah yang berlimpah. Kesampingkan pikiran bahwa rockstar se-zaman Ian seperti rockstar sepuh di Inggris atau Amerika Serikat.

Industri musik yang bobrok membuat mereka kini bahkan tidak bisa merasakan hasil jerih payah. “Kayak sapi perah bener, cari (bukti) royalti God Bless. Satu sen aja enggak pernah (dapat), tanya saja pemain (God Bless) lain. Tanya label rekaman pernah ngasih royalti saya enggak, dari dulu orang mikir (jadi musisi terkenal) enak . Di surat kontrak ada, tapi duitnya enggak ada,” jelas Ian.

Kekesalan ini membuat Ian sempat meninggalkan God Bless. Dia mencari rupiah dengan cara-cara lain, kasarnya setiap kemungkinan yang ada Ian jalani. Selama tidak melenceng dari musik.

Ian ikut membidani lahirnya album-album musisi top lain. Duo Kribo (Achmad Albar dan Utjok Harahap), Berlian Hutauruk, Ikang Fawzi, Nicky Astria, hingga Iwan Fals, adalah mereka yang mengecap tangan dingin Ian sebagai penata musik. Seolah memang dilahirkan untuk musisi terkemuka tanah air, kekesalan Ian terhadap industri musik justru membawa babak baru dalam sejarah musik di Indonesia.

“Yang menghidupi saya itu sebagai arranger, bisa beli rumah, kendaraan itu dari arranger. Kalau orang bilang uang saya datang dari God Bless itu salah. Konser God Bless berapa kali sih dalam sebulan. Kalau royalti jelas, saya mungkin jaya. Itu alasan kenapa saya bikin Gong 2000, karena (royalti di God Bless) enggak jelas dan semua kebuka setelah saya bikin Gong 2000,” kata Ian.
Tapi, dalam masa-masa sulit itu Ian justru melahirkan lagu hebat, “Rumah Kita”. Lagu yang dibuat Ian karena terinspirasi akan harmoni masa sulit saat tinggal di rumah kontrakan di daerah Tebet, Jakarta Selatan.

“Saya pernah tinggal di Tebet, mess saya yang legend di Tebet Timur, banyak musisi yang lahir di situ. Rumah kontrakan kamarnya tujuh, kecil rumahnya tapi tingkat. Semua lahir dari situ, dari Grass Rock, Aquarius, Utjok (Harahap). Yang bingung dulu bisa aja makan, walaupun sampe makan di warteg ngutang. Setelah sekarang kita baru inget kalau dulu susah, dulu pas ngejalani enggak merasakan apa-apa,” kata Ian. “(Lagu) ‘Rumah Kita’ itu lahir pas di Tebet,” lanjut Ian.

Gonta-ganti personel di tubuh God Bless, terhitung sampai sekarang formasi God Bless telah berubah lebih dari 15 kali, menurut Ian bukan karena mereka saling tidak cocok atau sering bertengkar. “Yah namanya musisi jaman dulu, satu band saja tidak bisa jadi pegangan. Jadi kita semua bebas, mau cari uang di mana saja. Tidak mesti di God Bless,” kata Ian.
Yang kerap terjadi di tubuh God Bless hanyalah kesalahpahaman kecil yang biasa terjadi di setiap band. Ian justru membeberkan bahwa mereka memiliki kebiasaan yang unik. Para personel God Bless memilih diam saat marah, jauh dari sumpah serapah dan debat kusir.

“God Bless itu paling aneh, kalau berantem enggak pakai mulut. Latihan (tetap) jalan, cuma suasananya enggak enak. Pemicunya masalah sepele, masalah terlambat, masalah susunan lagu juga bisa. God Bless paling sering ketinggalan pesawat, karena nungguin Iyek (Ahmad Albar) kelamaan mandi ,” kenang Ian tertawa.

Peristiwa magis nan tragis
Cobaan bagi Ian bukan hanya soal buruknya perlindungan hak cipta musisi yang jelas terlihat, tetapi juga hal-hal yang tak kasat mata dan tak masuk logika. Singkatnya, Ian pernah mengalami suatu masa mendadak sakit dan tidak bisa bermain gitar.

“Yang enggak pernah lupa, saya muntah darah di Jogja, saya ke dokter tapi dokternya bilang aneh karena saya tidak apa-apa, sampai saya enggak bisa main gitar dalam dua tahun,” ujar Ian.

“Tangan saya enggak bisa main gitar, bentuknya gini (menunjukkan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis berhimpitan) kayak orang lepra. Tiap hari saya cuma bengong, diajak ke laut sama bini saya. Ada ceritanya, saya ke Amerika (Serikat), katanya disuruh nyebrang laut, tapi nyatanya sembuh. Balik dari sana saya bikin Gong 2000. Musikalitas enggak ilang,” lanjut Ian.

Hingga saat ini, Ian masih tidak bisa mencerna secara logis apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Tetapi, dia yakin bahwa itu bagian dari buah persaingan di industri yang keras. Musibah itu terjadi pada saat Ian hengkang dari God Bless di akhir dekade 80-an.
Empedu industri musik Indonesia

Meski Ian mengakui God Bless tidak rajin mengisi kantong, tetapi dia menyadari bahwa God Bless adalah sesuatu yang besar. God Bless bukan semata urusan bermusik yang lantas menghasilkan uang, God Bless adalah keluarga bagi Ian. Hal itu pula yang membuat Ian ogah mengurus urusan gono-gini royalti.

“Percuma ke pengadilan malah habis duitnya, malah digorok pengacara. Makanya saya bilang dunia musik di indonesia itu kabur, padahal setiap (rumah) karaoke (lagu God Bless) dinyanyiin. Setiap tahun (God Bless) dikasih (royalti) Rp200 ribu, saya bilang ambil saja sekalian uang itu,” ujarnya kesal.

Ian mengaku bahwa penghargaan terhadap karyanya justru diterima dari negara tetangga, “Lebih enak Malaysia, saya dapat royalti ‘Zakia’, royalti terbesar dalam hidup saya itu dari ‘Zakia’. (Di Indonesia) Copyright master rekaman dipegang sama label seumur hidup, hak lagu di musisi. Itu kenapa saya bikin ‘Song Book I’ karena saya ingin menyelamatkan lagu saya, kasarnya daripada lu (label yang tidak memberi royalti) yang jual lebih baik gua yang jual.”

Pengalaman ini membuat Ian kini menempuh jalur label independen. Sistem titip jual dengan menggandeng distributor dirasa Ian lebih ideal. Misi “pemutihan” karya-karya Ian yang jika dihitung keseluruhannya mencapai 400 lagu terus berlangsung, direkam ulang agar Ian juga memiliki rekaman master dari karyanya sendiri.

“Daripada menuntut mending berbuat, yang penting melawan dengan perbuatan. Rencananya Mei (rilis lagu God Bless yang direkam ulang) , karena Mei ulang tahun God Bless, (lagunya) campur-campur terserah konsepnya yang penting (punya) master,” kata Ian.
Kini, God Bless jadi salah satu band dengan personel yang terbilang masih lengkap jika dibandingkan beberapa band yang tumbuh di dekade 70-an, mereka bukan hanya masih kuat secara fisik, tetapi juga eksis dalam band secara utuh.

Ian Antono bersama God Bless bukan hanya hidup untuk musik, tetapi musik yang hidup dalam tiap hembus nafas mereka. “Saya berpikir apa karena namanya ‘God Bless’ (Tuhan memberkati) makanya God Bless itu masih jalan,” kata Ian sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

Monday, June 8, 2020

Raden Ayu Lasminingrat


Tokoh perempuan yang mendapatkan pendidikan modern jauh sebelum R.A Kartini dan Dewi Sartika ialah Raden Ayu Lasminingrat. Lahir di Garut, tahun 1843. Ayahnya bernama R.H. Moehamad Moesa dan Ibunya bernama R.A. Rija. Kecerdasan yang dimiliki oleh R.A. Lasminingrat dipengaruhi oleh kakak iparnya yaitu kontroleur DR. H.D Levyssohn Norman. Di rumah Levysohn ia diajarkan menulis, membaca, belajar bahasa belanda dan memperoleh didikan barat lainnya.

Kepandaiannya dalam berbahasa Belanda di buktikan dengan menyadur cerita-cerita bahasa Belanda ke dalam bahasa sunda dengan tepat, hasil sadur tersebut kemudian dibukukan dan dijadikan bahan bacaan di sekolah pribumi. Salah satu karyanya adalah Warnasari (2 jilid) yang berasal dari buku vertelsels het wonderland voor kindere, kleinen groot karangan Marchenvon Grimm dan J.A.A Goeverneur.

R.A. Lasminingrat menikah dua kali yang pertama dengan Raden Tamtoe Sumadiningrat dari Sumedang, karena beliau wafat, ayahnya menikahkan kembali Lasmingrat dengan Adipati Aria Wiratanudatar VII (Bupati Garut Petama). R.A Lasminingrat kemudian mendirikan Sakola Kautamaan Istri, atas dasar kepeduliannya terhadap kaum perempuan. Waktu itu teman perempuannya tidak memiliki keberuntungan dalam memperoleh pendidikan dan kaum perempuan selalu termarginalkan di dalam struktur masyarakat sehingga ia berinisiatif mendirikan sekolah di lingkungan Pendopo Kabupaten Garut.

R.A Lasminingrat meninggal pada usia 105 Tahun, tepatnya tanggal 10 April 1948. Jenazahnya di makamkan di samping makam suaminya  di belakang Mesjid Agung Garut.

#tokoh
#sejarah

Cerita Silat (kisah 2 MB. Risalah dan MB. Sitorus)




Gak ada yg menyangka kalo saat masih kecil Pendekar Manja takut sama kecoa.. Kalo Mandi pagi  ketemu kecoa,, pendekar manja sudah pasti gak mau latihan silat.. Nah klo udah begini,,Eyang Guru ngebujukin Nya dengan Berdongeng..

Eyang Guru pernah bercerita tentang kisah dua ekor burung Murai yg bersahabat.. Dua ekor burung itu adalah burung yg sakti..Burung 1 bernama Risalah dan Burung ke 2 Bernama Sitorus..

Risalah burung yg sangat Pintar menari dan bersilat.. sedangkan Sitorus burung yg tenang namun bersuara besar dan Merdu.. jika pada umumnya mayoritas burung suka makan ulat, akan tetapi kedua burung unik ini malah takut sama ulat.. Nah kata Eyank. Jangan kecil hati atau bersedih Hati.. perasaan takut itu wajar..

Semua Manusia memiliki rasa itu.. malah Eyank dulu pernah lari terbirit-birit kena jurus panci melayang dari Nenek Guru.. Gara gara Eyank ketahuan nginep dirumah Janda haha. Padahal Eyank gak berbuat macem macem.. Hanya mengobati Hati sang Janda yg terluka dalam, akibat serangan jurus jurus Cinta wkwk.

Kini Pendekar Manja sudah gak takut lagi sama Kecoa kecoa busuk.. Selain hanya takut  sama Tuhan,,iya juga takut kehilangan orang yg iya sayang..

Miss U Pendekar Cantik.. Berkelebattt hehe..

Sederhana saja.. Belajar dari mas Nasirun



Apalah artinya menyebut diri sebagai manusia berbudaya kalau tak memiliki kepedulian dan berguna untuk manusia lainnya. Melalui rasa peduli itu, perupa Nasirun mengumpulkan ribuan karya seni bernilai sejarah tinggi.

Nasirun, perupa kelahiran Cilacap, 1 Oktober 1965 itu, memang seniman yang kuat dan kokoh dalam soal produktivitas dan kreativitas. Meskipun ia sudah jadi milyarder, tapi ia tetap naik motor bebek yang dibelinya sekitar tahun 1997. Kalau mau membeli mobil super car, tentu Nasirun sanggup, namun itulah sifat kesedehanaan nya.

Diawali menggambar di waktu kecil. Pada 1983, Nasirun belajar membatik dan mengukir di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia). Lalu 1987 masuk jurusan seni murni di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Jogja. Tapi kuliah di ASRI hanya mengerjakan tugas-tugas dari dosen. Baru pada 1991 terjadi akumulasi kesadaran bahwa seni lukis adalah profesi nya.

Nasirun lulus dari ISI  Institut Seni Indonesia, Yogyakarta pada tahun 1994. Beliau pernah pameran tunggal di Yogyakarta, Solo dan Jakarta, dan telah berpartisipasi dalam berbagai pameran kelompok di Indonesia, Singapura dan Belanda. Penghargaan yang diterima termasuk Lukisan Terbaik ISI Yogyakarta tahun 1991; McDonald Award, Lustrum X, ISI Yogyakarta 1994, dan dia adalah salah satu pemenang hadiah Top Ten Awards Seni Indonesia pada tahun 1997.

Nasirun termasuk perupa yang diperhitungkan pada tingkat nasional dan regional. Karya-karyanya adalah usaha menafsir ulang seni tradisi (terutama wayang) dengan melakukan distorsi anatomi para tokohnya dan mengevaluasi struktur nilainya. Tak jarang, interpretasi itu dikaitkan dengan masalah sosial-politik yang sedang aktual dengan sentuhan humor dan ironi yang kental.

Nasirun seorang pelukis yang komplit. Tekniknya tinggi, imajinasinya luar biasa. Ia cerdas dan menguasai konsep, namun ia tidak meninggalkan segi estetik bahkan rasa merupakan sisi terkuat dari Nasirun. Karyanya ekspresif dan imajinatif.

Beberapa kisah inspiratif dan positif yang bisa dipetik dari pelukis yang memiliki sifat ramah dan bersahaja Nasirun.

Suatu hari, ia sedang melukis di rumahnya. Tiba-tiba ada seorang anak muda, memakai motor butut datang dan ingin melihat dia melukis.

 "Saya kemudian ambilkan kursi. Kursinya juga lebih tinggi daripada kursi saya yang saya pakai duduk sambil melukis. Saya juga ambilkan minuman dan saya melanjutkan melukis," tutur Nasirun.

Dan pemuda itu asyik melihat saya melukis. Tiba-tiba pemuda ini sambil bicara pingin membeli lukisan yang sedang saya lukis.
"Mas Nasirun, saya seneng lihat lukisan ini, Boleh ya saya beli." kata anak muda itu. "Aduh bagaimana ya mas, ini mau saya pamerkan," jawab Nasirun. "Tolonglah mas. Saya seneng sekali dan pingin memilikinya." rengek anak muda ini.

Nasirun terdiam sejenak. Sambil dalam hati memikir. Kemudian dengan bahasa yang lugu dan kerendahan hati, akhirnya dia beranikan bicara. "Tapi ini mahal mas. Seratus tujuh puluh lima juta," jawab Nasirun.

"Ya mas Nasirun. Gak apa-apa," jawab anak muda ini. Tentu saja Nasirun kaget. Dari "potongannya" anak muda ini, pakaiannya T-shirt, naik motor butut. Tetapi kok mau beli lukisan saya.

Singkat cerita, anak muda ini meminta nomor rekening Nasirun dan pulang. Esok harinya ada mobil mewah datang bersama sebuah mobil box. "Pak Nasirun, saya mau ambil lukisan. Ini bukti transfernya, " seorang bapak setengah baya menyerahkan selembar kertas. "Lho....siapa mas yang datang kemarin itu ?" tanya Nasirun terheran heran. "Itu anak bapak..." tuturnya sambil menyebut nama seorang tokoh nasional, pengusaha ternama di Indonesia.

Kisah unik lainya, suatu hari Nasirun pernah diremehkan oleh pegawai dealer ketika mau beli sebuah mobil seharga Rp 400 juta. Semua yang datang ke dealer itu disambut para sales dengan senyum dan minuman teh botol sambil dijelaskan sistem cicilan. Tapi Nasirun karena potongan rambutnya gondrong, pakai celana pendek tidak ada satupun yang mau melayani.

Sampai kemudian istrinya datang dan membawa uang cash Rp 400 juta, Nasirun kemudian memanggil seorang sales dan ia bilang mau beli cash. Tentu saja sales itu malu dan bingung melayani. Lari ia menggambilkan teh botol. Nasirun senyum dan cerita.

"Rasa minumannya sudah tidak enak. Karena dari hati yang terpaksa bukan dari hati yang ikhkas." Itulah Nasirun. Seorang pelukis yang unik. Sikap hormat seorang Nasirun kepada teman, sahabat dan tamu-tamunya, kebersahajaan yang luar biasa, adalah kunci awal yang menjadikan karyanya menyentuh hatin orang.

Teknik melukis, piawai memainkan warna dan pemahaman tentang lukisan yang indah, adalah modal dasar bagi seorang pelukis sukses. Yang lebih utama justru kesuksesan dia menaklukkan dirinya. Karya yang indah adalah ramuan penguasaan atas teknik melukis dengan kebersihan hati dan kebersahajaan.

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...