Hampir lima dekade Ian Antono malang melintang di jagat musik Indonesia, merasakan pahit manisnya pasang surut panggung rock Tanah Air, sampai 'dikebiri' hak ciptanya oleh industri musik, namun ia masih tetap tegak berdiri.
Entah sudah berapa ratus panggung ia taklukkan dengan lengkingan gitarnya, yang jelas Ian Antono masih tetap berkarya di usianya yang ke-64.
Berawal dari masa kecil yang memang dekat dengan dunia musik, ditambah hasrat bermusik yang tak terbendung, Ian menjadi salah satu legenda musik rock Indonesia. Namun semua itu bukan perkara mudah, Ian harus jatuh bangun bergulat dengan jalan hidup yang dia pilih itu.
Beruntung saat kecil Ian Antono mendapat paparan musik yang lebih dari anak seusianya, rumah Ian di Malang kerap dijadikan tempat berkumpul untuk ngeband. Belum lagi, kediaman Ian digunakan sebagai tempat radio amatir. Hal itu membuat Ian memiliki referensi musik lebih luas karena bisa mendengarkan siaran dari Australia yang kerap memutar lagu-lagu yang sedang menjadi tren di Amerika dan Eropa.
Band zaman dulu masih aliran enggak jelas, zamannya the Shadows. Di rumah ada alat band, dari kecil telinga sudah dibiasakan mendengar musik. Kebetulan orangtua saya bebas, seneng lah kalau rumahnya untuk ngumpul-ngumpul. Pertama saya belajar instrumen drum,” kenang Ian.
Kegemarannya terhadap musik bertolak belakang dengan situasi pada zaman itu, terlebih saat Ian bersekolah di sekolah bergengsi yang dikenal memiliki murid dengan kualitas akademis baik. Langkah berani diambil Ian, dia hijrah menuju Ibukota selepas SMA.
“Saya dulu sering bolos, saya enggak nakal anaknya, malah cenderung diem. Sekolah ya karena takut aja sama orang tua. Sekolah saya sekolah bagus semua, sekolah Katolik, SMP di Santo Yosef dan SMA di St. Albertus,” tukas Ian pada Metrotvnews.com.
Bisa dibilang, modal Ian ke Jakarta hanya tekad ingin jadi musisi. Selebihnya nekat. Berangkatlah Ian ke Jakarta di akhir dekade 60-an bersama sahabatnya dari Malang, Abadi Soesman. “Saya pergi dari Malang gara-gara musik, saya berhenti sekolah karena musik. Waktu itu umur saya masih 17 tahun,” beber Ian.
Ian yang pada awalnya bermain untuk band yang tampil di klub-klub malam dan hotel pun merasa jengah dengan kehidupan musisi yang tak pasti pada zaman itu.
“Sekitar tahun 1975, masa susah saya, sebelum bergabung God Bless. Masa paling susah untuk menentukan saya terus atau enggak (di musik). Waktu itu di band Irama Abadi, saya diajak ke Jakarta dan tinggal di satu kamar tidur diisi 6 orang, tidur di tikar. Saking enggak tahannya saya pernah pulang naik motor dari Jakarta ke Malang,” ujar Ian sambil tertawa.
Lagi-lagi musik menariknya begitu kuat, keluh dan peluh tak membungkam hasrat Ian muda. Tak lama meratapi nasib, Ian bergulat lagi dengan Ibukota.
Sekembalinya ke Jakarta, Ian masih terngiang akan kampung halamannya di Malang, kerinduan-kerinduan yang muncuk akibat kerasnya hidup di Jakarta, “(Dulu) Masih ada penyesalan ke Jakarta, tapi enggak mungkin balik ke Malang, udah enggak ada rumah di Malang, dicemooh juga kalau kembali.”
Tuhan memberkati God Bless
Pada tahun 1975 Ian masuk ke God Bless, band yang sebelumnya sering membawakan lagu milik band lain seperti Deep Purple dan Genesis. Mendapat suntikkan personel baru, God Bless percaya diri merilis album debut mereka.
Butuh keberanian atau mungkin lebih tepatnya nekat untuk merilis album rock di zaman itu. Selain tidak diminati oleh perusahaan rekaman, musik rock yang terdengar liar juga kurang menjanjikan dari segi komersial.
Pramaqua menjadi perusahaan rekaman yang merilis album debut God Bless, bukan karena mereka melihat potensi pasar rock, tetapi lebih kepada hubungan baik antara Ian dan petinggi Pramaqua. Johannes Soerjoko, pendiri Aquarius (Aquarius bersama Prambors Rasisonia membuat Pramaqua) menjalani masa kecil bersama Ian, dia kerap bermain di rumah Ian di Malang.
“Album pertama God Bless yang bikin Pramaqua. Dulu pakai mixer radio untuk recording, mixernya udah 24 track, merknya saya ingat Schlumberger,” kata Ian.
Salah satu kenangan masa perjuangan Ian bersama God Bless adalah mereka mampu memaksimalkan apapun yang ada dengan modal utama semangat. Bahkan, Ian melahirkan berbagai karya-karya besar tanpa menggunakan gitarnya sendiri, karena ia memang belum punya.
“Album pertama God Bless itu bukan pakai gitar saya, saya pertama punya gitar tahun 2000. Itu yang beli sendiri. Kalau dipinjami sering, ditaruh rumah sampai lama, gitarnya Abadi (Soesman) saya bawa pulang sampai akhirnya kayak gitar saya sendiri,” kenang Ian sambil terkekeh.
Meski nama God Bless selangit, hal itu tidak sama dengan mereka berhasil meraup rupiah yang berlimpah. Kesampingkan pikiran bahwa rockstar se-zaman Ian seperti rockstar sepuh di Inggris atau Amerika Serikat.
Industri musik yang bobrok membuat mereka kini bahkan tidak bisa merasakan hasil jerih payah. “Kayak sapi perah bener, cari (bukti) royalti God Bless. Satu sen aja enggak pernah (dapat), tanya saja pemain (God Bless) lain. Tanya label rekaman pernah ngasih royalti saya enggak, dari dulu orang mikir (jadi musisi terkenal) enak . Di surat kontrak ada, tapi duitnya enggak ada,” jelas Ian.
Kekesalan ini membuat Ian sempat meninggalkan God Bless. Dia mencari rupiah dengan cara-cara lain, kasarnya setiap kemungkinan yang ada Ian jalani. Selama tidak melenceng dari musik.
Ian ikut membidani lahirnya album-album musisi top lain. Duo Kribo (Achmad Albar dan Utjok Harahap), Berlian Hutauruk, Ikang Fawzi, Nicky Astria, hingga Iwan Fals, adalah mereka yang mengecap tangan dingin Ian sebagai penata musik. Seolah memang dilahirkan untuk musisi terkemuka tanah air, kekesalan Ian terhadap industri musik justru membawa babak baru dalam sejarah musik di Indonesia.
“Yang menghidupi saya itu sebagai arranger, bisa beli rumah, kendaraan itu dari arranger. Kalau orang bilang uang saya datang dari God Bless itu salah. Konser God Bless berapa kali sih dalam sebulan. Kalau royalti jelas, saya mungkin jaya. Itu alasan kenapa saya bikin Gong 2000, karena (royalti di God Bless) enggak jelas dan semua kebuka setelah saya bikin Gong 2000,” kata Ian.
Tapi, dalam masa-masa sulit itu Ian justru melahirkan lagu hebat, “Rumah Kita”. Lagu yang dibuat Ian karena terinspirasi akan harmoni masa sulit saat tinggal di rumah kontrakan di daerah Tebet, Jakarta Selatan.
“Saya pernah tinggal di Tebet, mess saya yang legend di Tebet Timur, banyak musisi yang lahir di situ. Rumah kontrakan kamarnya tujuh, kecil rumahnya tapi tingkat. Semua lahir dari situ, dari Grass Rock, Aquarius, Utjok (Harahap). Yang bingung dulu bisa aja makan, walaupun sampe makan di warteg ngutang. Setelah sekarang kita baru inget kalau dulu susah, dulu pas ngejalani enggak merasakan apa-apa,” kata Ian. “(Lagu) ‘Rumah Kita’ itu lahir pas di Tebet,” lanjut Ian.
Gonta-ganti personel di tubuh God Bless, terhitung sampai sekarang formasi God Bless telah berubah lebih dari 15 kali, menurut Ian bukan karena mereka saling tidak cocok atau sering bertengkar. “Yah namanya musisi jaman dulu, satu band saja tidak bisa jadi pegangan. Jadi kita semua bebas, mau cari uang di mana saja. Tidak mesti di God Bless,” kata Ian.
Yang kerap terjadi di tubuh God Bless hanyalah kesalahpahaman kecil yang biasa terjadi di setiap band. Ian justru membeberkan bahwa mereka memiliki kebiasaan yang unik. Para personel God Bless memilih diam saat marah, jauh dari sumpah serapah dan debat kusir.
“God Bless itu paling aneh, kalau berantem enggak pakai mulut. Latihan (tetap) jalan, cuma suasananya enggak enak. Pemicunya masalah sepele, masalah terlambat, masalah susunan lagu juga bisa. God Bless paling sering ketinggalan pesawat, karena nungguin Iyek (Ahmad Albar) kelamaan mandi ,” kenang Ian tertawa.
Peristiwa magis nan tragis
Cobaan bagi Ian bukan hanya soal buruknya perlindungan hak cipta musisi yang jelas terlihat, tetapi juga hal-hal yang tak kasat mata dan tak masuk logika. Singkatnya, Ian pernah mengalami suatu masa mendadak sakit dan tidak bisa bermain gitar.
“Yang enggak pernah lupa, saya muntah darah di Jogja, saya ke dokter tapi dokternya bilang aneh karena saya tidak apa-apa, sampai saya enggak bisa main gitar dalam dua tahun,” ujar Ian.
“Tangan saya enggak bisa main gitar, bentuknya gini (menunjukkan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis berhimpitan) kayak orang lepra. Tiap hari saya cuma bengong, diajak ke laut sama bini saya. Ada ceritanya, saya ke Amerika (Serikat), katanya disuruh nyebrang laut, tapi nyatanya sembuh. Balik dari sana saya bikin Gong 2000. Musikalitas enggak ilang,” lanjut Ian.
Hingga saat ini, Ian masih tidak bisa mencerna secara logis apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Tetapi, dia yakin bahwa itu bagian dari buah persaingan di industri yang keras. Musibah itu terjadi pada saat Ian hengkang dari God Bless di akhir dekade 80-an.
Empedu industri musik Indonesia
Meski Ian mengakui God Bless tidak rajin mengisi kantong, tetapi dia menyadari bahwa God Bless adalah sesuatu yang besar. God Bless bukan semata urusan bermusik yang lantas menghasilkan uang, God Bless adalah keluarga bagi Ian. Hal itu pula yang membuat Ian ogah mengurus urusan gono-gini royalti.
“Percuma ke pengadilan malah habis duitnya, malah digorok pengacara. Makanya saya bilang dunia musik di indonesia itu kabur, padahal setiap (rumah) karaoke (lagu God Bless) dinyanyiin. Setiap tahun (God Bless) dikasih (royalti) Rp200 ribu, saya bilang ambil saja sekalian uang itu,” ujarnya kesal.
Ian mengaku bahwa penghargaan terhadap karyanya justru diterima dari negara tetangga, “Lebih enak Malaysia, saya dapat royalti ‘Zakia’, royalti terbesar dalam hidup saya itu dari ‘Zakia’. (Di Indonesia) Copyright master rekaman dipegang sama label seumur hidup, hak lagu di musisi. Itu kenapa saya bikin ‘Song Book I’ karena saya ingin menyelamatkan lagu saya, kasarnya daripada lu (label yang tidak memberi royalti) yang jual lebih baik gua yang jual.”
Pengalaman ini membuat Ian kini menempuh jalur label independen. Sistem titip jual dengan menggandeng distributor dirasa Ian lebih ideal. Misi “pemutihan” karya-karya Ian yang jika dihitung keseluruhannya mencapai 400 lagu terus berlangsung, direkam ulang agar Ian juga memiliki rekaman master dari karyanya sendiri.
“Daripada menuntut mending berbuat, yang penting melawan dengan perbuatan. Rencananya Mei (rilis lagu God Bless yang direkam ulang) , karena Mei ulang tahun God Bless, (lagunya) campur-campur terserah konsepnya yang penting (punya) master,” kata Ian.
Kini, God Bless jadi salah satu band dengan personel yang terbilang masih lengkap jika dibandingkan beberapa band yang tumbuh di dekade 70-an, mereka bukan hanya masih kuat secara fisik, tetapi juga eksis dalam band secara utuh.
Ian Antono bersama God Bless bukan hanya hidup untuk musik, tetapi musik yang hidup dalam tiap hembus nafas mereka. “Saya berpikir apa karena namanya ‘God Bless’ (Tuhan memberkati) makanya God Bless itu masih jalan,” kata Ian sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
No comments:
Post a Comment