(Sebuah draf naskah sinetron. Nama, tempat, dan peristiwa hanya rekaan belaka)
Jam telah menunjukkan pukul 23:00 WIB. Kicau jangkrik berebut ruang dengan bunyi tokek, sesekali disela oleh suara kodok di kejauhan. Bripda Herman mengambil senter kecil dari loker dashboard, turun dari mobil, lalu berjalan perlahan menuju rumah di perempatan jalan itu. Bripka Soleh mengawasi keadaan sekitar dari dalam mobil. Bripda Herman langsung menuju samping kiri rumah itu: sebuah rumah dengan ukuran sekitar 36 m2, berdinding papan dengan atap seng yang mulai renta. Lampu 5 Watt berwarna biru tua, tergantung di ujung atap depan rumah.
Bripda Herman mengendap ke arah belakang, sesekali terdengar cekikik suara anak kecil dan seorang lelaki dewasa dari dalam rumah. “hmm… masih belum tidur rupanya.” Herman membatin dalam hati. Sesampai belakang, suasana semakin gelap. Herman menyalakan senter dan mengarahkan sinarnya ke kanan dan kiri, terlihat sebuah sumur bertiang kayu dengan tumpukan sampah di sisinya. Bergegas Herman menuju tumpukan sampah itu, dengan perlahan dan penuh ketelitian tangannya mengais tumpukan sampah. “Eureka…!” teriak Herman dalam hati ketika sinar senternya tertuju pada bungkus Chiki, kotak susu dan kaleng sardencis. Selanjutnya, segera Herman membawa barang temuannya untuk dihadapkan pada Sang Komandan.
“Gimana Man, dapat barangnya?” Tanya Bripka Soleh sesaat setelah Herman masuk ke dalam mobil.
“Siap Ndan, ini bungkus Chiki, kotak susu, dan kaleng sardencis.”
“Alhamdulillah. Mantap Man, dapat bonus kaleng sardencis kita!” seru Bripka Soleh kegirangan.
Hari makin larut, pukul 01:00 dini hari. Bripka Soleh memerintahkan rekannya untuk mengarahkan mobil menuju musholla di samping minimarket. “Kita tidur di sini Man…” ujar Bripka Soleh sambil mengenakan jaket dan turun dari mobil.
“Saya tidur dalam mobil saja Ndan,” jawab Herman.
“Ya sudah.”
Bripka Soleh langsung menuju pintu musholla, dan ternyata tidak terkunci. “Alhamdulilah, rejeki anak soleh.” Kata Bripka Soleh dalam hati. Dia langsung menuju pojok musholla, merebahkan tubuh, berdo’a, dan tak lama langsung tertidur. Di dalam tidurnya, Bripka Soleh bermimpi melihat laut dan sepasang kekasih. Sepasang kekasih itu adalah dirinya bersama Asih Purwasih, kekasihnya yang telah meninggal dunia 9 tahun lalu. “Asih… Asih… Asih…!!!” igau Bripka Soleh.
“Pak… Pak, bangun Pak” seorang lelaki membangunkan Bripka Soleh.
“Astaghfitullah…” Bripka Soleh beristighfar.
“Sudah masuk waktu subuh Pak.” Ujar lelaki itu sambil membenarkan letak sarung bermotif cobra yang dikenakannya.
Bripka Soleh terhenyak kaku. Ditatapnya wajah lelaki itu dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Lalu dia beranjak bangun, berjalan ke arah mobil untuk membangunkan Bripda Herman, seterusnya mereka mengambil wudhu. Orang-orang mulai berdatangan ke musholla. Lelaki bersarung motif cobra itu mengumandangkan iqomah, shalat subuh berjama’ah segera dilakukan. Bripka Soleh tepat berdiri di belakang lelaki bersarung motif cobra, sorot matanya seakan tak mau beranjak dari gambar cobra di sarung itu. Bripka Soleh memejamkan mata agar lebih khusuk dalam shalatnya, namun gambar cobra itu justru semakin meliuk dan menari dalam pikirannya.
----------bersambung----------
Jam telah menunjukkan pukul 23:00 WIB. Kicau jangkrik berebut ruang dengan bunyi tokek, sesekali disela oleh suara kodok di kejauhan. Bripda Herman mengambil senter kecil dari loker dashboard, turun dari mobil, lalu berjalan perlahan menuju rumah di perempatan jalan itu. Bripka Soleh mengawasi keadaan sekitar dari dalam mobil. Bripda Herman langsung menuju samping kiri rumah itu: sebuah rumah dengan ukuran sekitar 36 m2, berdinding papan dengan atap seng yang mulai renta. Lampu 5 Watt berwarna biru tua, tergantung di ujung atap depan rumah.
Bripda Herman mengendap ke arah belakang, sesekali terdengar cekikik suara anak kecil dan seorang lelaki dewasa dari dalam rumah. “hmm… masih belum tidur rupanya.” Herman membatin dalam hati. Sesampai belakang, suasana semakin gelap. Herman menyalakan senter dan mengarahkan sinarnya ke kanan dan kiri, terlihat sebuah sumur bertiang kayu dengan tumpukan sampah di sisinya. Bergegas Herman menuju tumpukan sampah itu, dengan perlahan dan penuh ketelitian tangannya mengais tumpukan sampah. “Eureka…!” teriak Herman dalam hati ketika sinar senternya tertuju pada bungkus Chiki, kotak susu dan kaleng sardencis. Selanjutnya, segera Herman membawa barang temuannya untuk dihadapkan pada Sang Komandan.
“Gimana Man, dapat barangnya?” Tanya Bripka Soleh sesaat setelah Herman masuk ke dalam mobil.
“Siap Ndan, ini bungkus Chiki, kotak susu, dan kaleng sardencis.”
“Alhamdulillah. Mantap Man, dapat bonus kaleng sardencis kita!” seru Bripka Soleh kegirangan.
Hari makin larut, pukul 01:00 dini hari. Bripka Soleh memerintahkan rekannya untuk mengarahkan mobil menuju musholla di samping minimarket. “Kita tidur di sini Man…” ujar Bripka Soleh sambil mengenakan jaket dan turun dari mobil.
“Saya tidur dalam mobil saja Ndan,” jawab Herman.
“Ya sudah.”
Bripka Soleh langsung menuju pintu musholla, dan ternyata tidak terkunci. “Alhamdulilah, rejeki anak soleh.” Kata Bripka Soleh dalam hati. Dia langsung menuju pojok musholla, merebahkan tubuh, berdo’a, dan tak lama langsung tertidur. Di dalam tidurnya, Bripka Soleh bermimpi melihat laut dan sepasang kekasih. Sepasang kekasih itu adalah dirinya bersama Asih Purwasih, kekasihnya yang telah meninggal dunia 9 tahun lalu. “Asih… Asih… Asih…!!!” igau Bripka Soleh.
“Pak… Pak, bangun Pak” seorang lelaki membangunkan Bripka Soleh.
“Astaghfitullah…” Bripka Soleh beristighfar.
“Sudah masuk waktu subuh Pak.” Ujar lelaki itu sambil membenarkan letak sarung bermotif cobra yang dikenakannya.
Bripka Soleh terhenyak kaku. Ditatapnya wajah lelaki itu dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Lalu dia beranjak bangun, berjalan ke arah mobil untuk membangunkan Bripda Herman, seterusnya mereka mengambil wudhu. Orang-orang mulai berdatangan ke musholla. Lelaki bersarung motif cobra itu mengumandangkan iqomah, shalat subuh berjama’ah segera dilakukan. Bripka Soleh tepat berdiri di belakang lelaki bersarung motif cobra, sorot matanya seakan tak mau beranjak dari gambar cobra di sarung itu. Bripka Soleh memejamkan mata agar lebih khusuk dalam shalatnya, namun gambar cobra itu justru semakin meliuk dan menari dalam pikirannya.
----------bersambung----------
No comments:
Post a Comment