Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Thursday, June 11, 2020

BAGAIMANA “HUKUM” BEKERJA? [episode 2]


(Sebuah draf naskah sinetron. Nama, tempat, dan peristiwa hanya rekaan belaka)


Keterangan Sandra di hadapan petugas piket dan penyidik:

“Jadi begini Pak: sekitar jam 6 saya bangun tidur, terus langsung sholat. Setelah mandi, saya langsung berangkat ke minimarket. Memang sih, sebelum sampai di minimarket, saya sempat mampir  sarapan nasi uduk di warung Mak Ichi di Pasar Kecamatan. Setiba di minimarket, sekitar jam 7 pagi, saya langsung ke arah rolling door untuk membuka gembok. Nah, kaget saya Pak… batang gemboknya sudah lepas. Langsung saya teriak: Jok.. Jok.. Jokooo…!“

Keterangan Joko di hadapan penyidik:
“Saya sedang pasang standar motor di halaman minimarket, lalu Saya lihat Sandra teriak di dekat rolling door sambil nunjuk gembok yang sudah rusak. Waktu itu saya langsung minta Sandra nelpon Ko Abun. Sewaktu Sandra menelpon, saya foto kondisi gembok yang sudah rusak itu pake HP. Selanjutnya, foto gembok itu saya upload ke Facebook. Ini Pak fotonya… (dalam foto itu tampak wajah Joko dengan mata sayu. Sedangkan foto gemboknya hampir tak tampak)“

Keterangan Ko Abun di hadapan penyidik:
“Sejak semalam perasaan saya memang tidak enak Pak, seperti firasat buruk kalo hari ini saya bakal dapat kerugian. Waktu pagi tadi Sandra telepon, tiba-tiba saja badan saya merinding, dan benar aja: saya kemalingan. Tadi, sewaktu di jalan menuju kantor Polsek, sudah saya hitung jumlah kerugian: 10 Kg beras premium = 160 rebu + 10 bungkus susu = 760 rebu + 12 kaleng dencis = 240 rebu + telur 2 karton = 60 rebu + Chiki 7 bungkus = 77 rebu + 4 kotak tusuk gigi: 24 rebu. Jadi total barang yang dimaling itu nilainya 1 juta 321 rebu. Itu belum termasuk harga gembok yang rusak. Saya beli gembok itu 80 rebu. Belum lagi kerugian saya karena minimarket hari ini tutup. Rata-rata keuntungan saya dari minimarket adalah 3 juta/hari. Jadi, total kerugian saya sebenarnya 4 juta 401 rebu Pak…”

Setelah selesai diperiksa, Ko Abun dan kedua pegawainya dipersilakan untuk pulang. “Dalam waktu dua-tiga hari ke depan, segera kami kabarkan perkembangan perkaranya ya Ko…” Ujar seorang petugas sambil mengantar Ko Abun menuju pagar Kantor Polsek. Sekilas, tampak Ko Abun menyelipkan sesuatu ke kantong celana petugas itu.

Hari berganti. Minimarket Indohoy mulai beroperasi kembali. Di Kantor Polsek Kecamatan Kadung Susah, Kanit Reskrim telah menunjuk Bripka Soleh untuk menangani Laporan Polisi Ko Abun, dkk. Bripka Soleh, di antara rekan sejawat, dikenal sebagai penyidik yang punya integritas dan tanpa kompromi. Walaupun usianya sudah 35 tahun, tapi dia belum menikah. Menurut pengetahuan rekan-rekannya, alasan Bripka Soleh belum menikah dikarenakan takut akan mengganggu pengabdiannya pada Negara. Selain dikenal taat beribadah, beredar kabar jika Bripka Soleh juga memiliki berbagai kemampuan supranatural.

----------bersambung------------

Jenderal Berjanggut Merah dan Indah dari Zaman Tiga Negara (Guan Yu)

Guan Yu (Hanzi: 關羽) (160 - 219) adalah seorang jenderal terkenal dari Zaman Tiga Negara. Guan Yu dikenal juga sebagai Kwan Kong, Guan Gong, atau Kwan Ie, dilahirkan di kabupaten Jie, wilayah Hedong (sekarang kota Yuncheng, provinsi Shanxi), ia bernama lengkap Guan Yunchang atau Kwan Yintiang.



Guan Yu merupakan jenderal utama Negara Shu Han, ia bersumpah setia mengangkat saudara dengan Liu Bei (kakak tertua) dan Zhang Fei (adik terkecil).
Pada masa Pemberontakan Sorban Kuning, tepatnya tahun 188, tiga orang rakyat jelata bertemu di kabupaten Zhuo. Mereka adalah Liu Bei, Guan Yu dan Zhang Fei, yang memiliki hasrat yang sama untuk berjuang membela negara dan mengembalikan ketentraman bangsa Tiongkok yang sedang bergejolak. Tak lama, mereka bertiga bersumpah sehidup semati untuk menjadi saudara di kebun persik yang terletak di halaman belakang rumah milik Zhang Fei. Liu Bei sebagai kakak tertua, diikuti dengan Guan Yu dan Zhang Fei.

Guan Yu bertempur bersama Liu Bei dan Zhang Fei dalam menumpas Pemberontakan Sorban Kuning. Tak lama, semenjak negeri Tiongkok dikuasai oleh Dong Zhuo, Liu Bei dan kedua saudaranya bergabung dalam angkatan perang Gongsun Zan. Gongsun sendiri saat itu ikut dalam suatu koalisi penguasa daerah yang menentang Dong Zhuo. Dong menempatkan Hua Xiong untuk menjaga celah Sishui. Hua Xiong seakan tidak terkalahkan setelah membunuh 4 perwira pasukan koalisi, yaitu Bao Zhong, Zu Mao, Yu Shen dan Pan Feng. Guan Yu yang hanya seorang pemanah berkuda menawarkan diri untuk mengalahkan Hua Xiong. Saat tak ada pemimpin koalisi yang percaya, Guan Yu berjanji untuk memberikan kepalanya apabila gagal. Guan Yu kembali dengan kepala Hua Xiong saat anggur merah–yang dituang Cao Caosebelum Guan Yu pergi–masih hangat.

Dikenal sebagai seorang jendral yang tangguh, Guan Yu dibujuk Cao Cao untuk menjadi pengikutnya saat ketiga bersaudara tercerai berai karena kejatuhan Xuzhou dan XiapiZhang Liao, seorang jendral Cao Cao dan kawan lama Guan Yu mencoba membujuk sang jendral untuk menyerah. Guan Yu bersedia atas dasar 3 kondisi :

Guan Yu takluk kepada kekaisaran Han, bukan kepada Cao Cao.

Kedua istri Liu Bei harus dilindungi dan diberi penghidupan yang layak

Guan Yu akan segera meninggalkan Cao Cao setelah tahu keberadaan Liu Bei

Dengan kondisi itu, Guan Yu dapat menyerah tanpa melanggar sumpah saudara. Cao Cao dengan gembira menyanggupinya. Bahkan Guan Yu diberi banyak hadiah, yang hampir semuanya ia kembalikan ke Cao Cao kecuali kuda merah, kuda andalan yang sebelumnya dimiliki oleh Lu Bu.

Saat bertempur melawan Yuan Shao di Pertempuran Baimajin, Cao Cao menugaskan Guan Yu untuk melawan 2 jendral besar Yuan, yaitu Yan Liang dan Wen Chou. Guan berhasil membinasakan keduanya dan mengakibatkan hubungan Yuan Shao dan Liu Bei–yang saat itu berlindung pada Yuan Shao–memburuk. Liu Bei akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Yuan Shao. Pada saat yang bersamaan, Guan Yu yang mengetahui di mana Liu Bei memutuskan meninggalkan Cao Cao dan melakukan perjalanan untuk bertemu saudaranya. Cao Cao tak dapat menahannya dan akhirnya membiarkan Guan Yu pergi.

Dalam perjalanan tersebut, Guan Yu semakin terkenal karena ia berhasil melewati 5 kota Cao Cao dan membunuh 6 perwira yang menghalanginya. Diawali dengan mengawal kereta yang membawa kedua isteri Liu Bei melewati celah Dongling (sekarang: FengFeng, provinsi Henan), Guan dihentikan oleh Kong Xiu yang menolak memberi izin tanpa surat resmi dari Cao Cao. Guan Yu tak memiliki pilihan lain selain membunuhnya.

Selanjutnya Guan Yu tiba di luar kota Luoyang. Gubernur kota itu, Han Fu membawa 1000 prajurit untuk menghalangi Guan Yu. Asisten Han Fu, Meng Tan maju untuk berduel dengan Guan Yu. Ia mencoba menjebak Guan Yu, tetapi kuda Guan Yu lebih cepat dan Meng Tan tewas terbelah golok Guan Yu. Saat itu Han Fu berhasil memanah lengan Guan Yu. Tanpa takut, Guan Yu mengejar Han Fu dan menebasnya.

Saat melewati celah Sishui (sekarang: Xingyang, provinsi Henan), penjaga celah tersebut, Bian Ximemimpin 200 anak buahnya untuk menjebak Guan Yu di sebuah kuil. Salah seorang pendeta memperingati Guan Yu yang berhasil mengatasi jebakan dan membunuh Bian Xi.

Wang Zhi, gubernur Xingyang mencoba jebakan yang sama. Berpura-pura baik kepada Guan Yu, ia menempatkan Guan Yu di sebuah tempat peristirahatan. Malamnya ia menyuruh Hu Ban, anak buahnya, untuk membakar tempat tersebut. Ternyata ayah Hu Ban (Hu Hua) pernah menitipkan surat pada Guan Yu, yang disampaikan Guan Yu kepada Hu Ban. Hu Ban lalu membocorkan rencana Wang Zhi dan membantu Guan Yu melarikan diri. Saat dikejar, Guan Yu berhasil membunuh Wang Zhi.

Akhirnya rombongan Guan Yu tiba di tepi selatan sungai Kuning. Saat hendak menyebrang sungai, Qin Qi yang berusaha menghalangi, menemui ajalnya di ujung golok Guan Yu.

Selama perjalanan tersebut, Guan Yu juga berhadapan dengan Xiahou Dun yang tetap tidak ingin memberi jalan pada Guan Yu sampai Zhang Liao menyampaikan padanya pesan Cao Cao untuk mengizinkan Guan Yu pergi. Saat itu Liu Bei sudah pindah ke Runan. Di akhir perjalanan, Guan Yu bertemu Zhang Fei yang murka pada Guan Yu karena menduga ia telah berkhianat. Guan akhirnya bisa membuktikan dengan mengalahkan Cai Yang yang mengejarnya demi membalaskan dendam atas terbunuhnya Qin Qi, keponakannya.
Sangharama Bodhisattva adalah gelar atau sebutan lain untuk jendral ini. Jenderal yang sangat gagah dan setia ini menjadi pengikut Buddha setelah bertemu dengan seorang bhiksu bernama Pu Jing di gunung Yuquan. Saat itu arwahnya sedang menuntut balas atas perbuatan para jendral Wu yang memenggal dirinya. Ia berteriak "kembalikan kepalaku!!" Bhiksu Pu Jing lalu berkata, "Kepada siapakah Yan Liang, Wen Chou, dan para panglima lain yang kepalanya kau tebas berteriak?" Guan Yu lalu sadar dan berlindung kepada Sang Triratna dan Dhamma. Keberadaan Bhiksu Pu Jing sendiri disebutkan dalam sejarah dan tempat gubuknya berdiri di gunung Yuquan sekarang menjadi kuil Yuquan.
Guan Yu bernama lengkap Yunchang (bernama asli Changsheng), berasal dari Hedong dan pernah menjadi buron di distrik Zhuo. Saat Liu Bei mengumpulkan pasukan di desanya, Guan Yu dan Zhang Fei membantunya untuk melawan para pemberontak. Liu Bei kemudian diangkat menjadi Gubernur Pingyuan, sedangkan Guan Yu dan Zhang Fei sebagai walikota. Mereka bertiga tinggal bersama dalam satu atap bagaikan saudara. Saat Liu Bei membunuh Che Zhou, gubernur Xuzhou, dia memerintahkan Guan Yu untuk mengatur pemerintahan kota Xiapi, sedangkan ia mengatur di Xiaopei.

Pada tahun ke-5 JianAn (200 M), Cao Cao menguasai wilayah Liu Bei dan Liu Bei mencari suaka pada Yuan Shao. Cao Cao berhasil menangkap Guan Yu dan mengangkatnya menjadi perwira, dengan pangkat Pian Jiangjun (Letnan Jendral). Yuan Shao mengirim jendralnya Yan Liang untuk menyerang Liu Yan di Baima, dan Cao Cao membalas dengan mengirimkan Zhang Liaosebagai panglima pelopor. Guan Yu yang melihat payung kebesaran Yan Liang langsung memburunya dan membunuh Yan Liang. Ia membawa kepala Yan Liang sedangkan pasukan Yuan Shao mundur dari pertempuran. Guan Yu dianugerahi gelar Hanshou Tinghou (MarquisHanshou).

Awalnya Cao Cao merasa puas dengan Guan Yu tetapi lama kelamaan tahu bahwa Guan Yu ragu untuk menetap. Akhirnya ia memerintahkan Zhang Liao untuk menemui dan membujuknya. Jawab Guan Yu, "Saya sangat memahami penghormatan yang diberikan Cao Cao, namun jendral Liu (Bei) juga telah memperlakukan saya dengan baik maka saya bersumpah untuk mati bersamanya dan tak akan mengkhianatinya. Saya tak akan tinggal di sini selamanya, tetapi saya mau menorehkan jasa besar sebelum pergi untuk membayar kebaikan Cao Cao." Zhang Liao menjelaskan hal itu kepada Cao Cao yang terkesan dengan kebaikannya. Melihat Guan Yu membunuh Yan Liang, Cao Cao mengerti Guan Yu akan segera meninggalkannya, maka ia segera membanjirinya dengan hadiah. Guan Yu menyegel semua hadiah itu sambil menyerahkan surat pengunduran diri sebelum pergi menyusul Liu Bei. Cao Cao mencegah anak buahnya mengejar sambil berkata "Semua punya tuannya masing-masing, janganlah kita memburunya."

Tak lama Liu Bei bergabung dengan Liu Biao. Saat Liu Biao meninggal, Cao Cao mengamankan Jingzhou dan Liu Bei harus mengungsi ke selatan. Liu Bei mengutus Guan Yu membawa beberapa ratus kapal untuk menemuinya di Jiangling. Cao Cao mengejar sampai ke jembatan Changban sehingga Liu Bei harus menyeberanginya untuk bertemu Guan Yu dan bersamanya pergi ke Xiakou. Sun Quan mengirim pasukan untuk membantu Liu Bei bertahan dari Cao Cao, hingga Cao Cao menarik mundur pasukannya. Liu Bei kemudian menentramkan wilayah Jiangnan, mengadakan upacara penghormatan korban perang, mengangkat Guan Yu sebagai gubernur Xiang Yang dan menggelarinya Dangkou Jiangjun (Jendral yang Menggentarkan Penjahat). Guan Yu ditempatkan di utara sungai Kuning.

Saat Liu Bei menentramkan Yizhou, dia mengutus Guan Yu untuk menjaga Jingzhou. Guan Yu mendapat kabar Ma Chao menyerah. Karena ia belum pernah berkenalan, maka ia mengirim surat pada Zhuge Liang, "Siapa yang dapat menandingi kemampuan Ma Chao?" Untuk menjaga perasaan Guan Yu, Zhuge Liang menjawab, "Ma Chao sangat pandai dalam seni literatur dan seni perang, lebih kuat dan berani dari kebanyakan orang, seorang pahlawan yang dapat menandingi Qing atau Peng dan dapat menjadi tandingan Zhang Fei yang hebat, tetapi dia bukan yang dapat menandingi Sang Jendral Berjanggut Indah" (yaitu Guan Yu). Guan Yu bangga membaca surat itu dan menunjukkannya pada tamu-tamunya yang hadir.

Guan Yu pernah terkena panah pada lengan kirinya, walaupun lukanya sembuh, tetapi tulangnya masih terasa sakit terutama pada saat hawa dingin ketika hujan turun. Seorang tabib bernama Hua Tuo berkata "Ujung panahnya diberi racun, dan telah menyusup ke dalam tulang. Penyembuhannya dengan cara membedah lengan dan mengikis tulang yang terinfeksi racun sebelum menjadi parah di kemudian hari." Guan Yu langsung menyingsingkan lengan baju dan meminta sang tabib menyembuhkannya. Saat dibedah, Guan Yu makan dan minum dengan perwiranya walaupun darah terus mengucur dari lengannya. Selama proses itu berlangsung, Guan Yu menengguk arak, bersenda gurau dan bermain Weiqi(GO) melawan Ma Liang seperti biasa.

Tahun ke-24 Jian An (219), Liu Bei mengangkat diri menjadi Raja Hanzhong dan mengangkat Guan Yu menjadi Qian Jiangjun (Jendral Garis Depan). Pada tahun yang sama, Guan Yu memimpin tentaranya untuk menyerang Cao Ren di benteng Fan. Cao Cao mengirim Yu Jin untuk membantu Cao Ren. Saat itu musim dingin dan hujan turun teramat derasnya sehingga meluapkan air sungai Han. Akhirnya ketujuh pasukan yang dipimpin Yu Jin seluruhnya hanyut. Yu Jin menyerah pada Guan Yu yang lalu mengeksekusi Pang De. Perampok daerah Liang yaitu Jia dan Lu direkrut oleh Guan Yu untuk membantunya dalam pertempuran tersebut. Sejak itu nama Guan Yu terkenal di seluruh dataran Tiongkok.

Cao Cao lalu mendiskusikan dengan para pembantunya apakah relevan untuk memindahkan ibukota negara ke Xudu untuk menghindari pertempuran dengan pasukan Guan Yu yang terkenal kuat. Sima Yi menolak ususlan itu dan mengusulkan hal lain. Dia memperkirakan bahwa Sun Quan juga tidak akan membiarkan Guan Yu meraih kemenangan berikutnya, oleh sebab itu Sima Yi menyusun strategi dan mengirim utusan kepada Sun Quan, memohon agar pasukannya menyerang pasukan Guan Yu dari belakang dan sebagai imbalan maka Sun Quan akan mendapatkan Jiangnan—hal ini juga bertujuan agar pasukan di benteng Fan akan bergabung juga dengan Sun Quan untuk memperkuat aliansi. Cao Cao akhirnya menerima usulan ini.

Perseteruan antara Guan Yu dan Sun Quan pada awalnya terjadi ketika Sun Quan mengirimkan utusan ke Guan Yu untuk mengungkapkan keinginannya mempersunting anak perempuan dari Guan Yu untuk dipersandingkan dengan anak laki-lakinya. Tetapi Guan Yu menghina utusan tersebut dan menolak proposal yang diajukan. Sun Quan sangat marah dan merasa terhina dengan penolakan itu dan menyimpan dendam terhadap Guan Yu. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh Sima Yi untuk memperlemah posisi Guan Yu.

Disamping itu ada juga hal lain yang turut memperlemah posisi Guan Yu dalam peperangan ini. Mi Fang, Gubernur Nanjun di kota Jiangling dan Jenderal Fu Shiren, yang bertugas di Gong An, yang menjadi bagian dari pasukan Guan Yu merasa Guan Yu tidak pernah menganggap mereka. Bahkan sejak terakhir kalinya Guan Yu mengirimkan pasukan ke medan perang, Mi Fang and Fu Shiren hanya ditugaskan untuk menjaga suplai persediaan makanan dan senjata di garis belakang dan tidak terlibat sama sekali dalam setiap peperangan. Isu tersebut terdengar oleh Guan Yu dan dia memutuskan akan menjatuhkan hukuman kepada mereka setelah kembali dari medan perang. Mendengar berita itu, Mi Fang and Fu Shiren sangat ketakutan. Sun Quan menggunakan kesempatan ini untuk menggoyahkan loyalitas mereka dengan memerintahkan pasukan mereka untuk menyerah, dan akhirnya hal itu terjadi, sehingga pasukan Wubisa menguasai daerah tersebut. Cao Cao lalu mengutus Xu Huang untuk membantu Cao Rendalam mempertahankan benteng Fan dari gempuran pasukan Guan Yu; Guan Yu tidak berhasil dalam misinya untuk menaklukkan Cao Cao dan akhirnya mundur, akan tetapi pasukan Sun Quan telah menguasai Jiangling dan menyandera istri-istri dan anak-anak dari pasukan Guan Yu. Hal ini membuat perpecahan di dalam pasukan Guan Yu. Akhirnya Sun Quan mengirimkan jenderal-jenderalnya untuk menangkap Guan Yu dan kemudian menghukum mati Guan Yu beserta anaknya Guan Ping di Lingju.

Dian Lue: Ketika Guan Yu mengepung kota Fan, Sun Quan mengirim utusan untuk membantu. Ia memerintahkan utusan itu untuk tidak terburu-buru, tetapi mengirimkan pegawai sipil berpangkat tinggi kepada Guan Yu. Guan Yu kesal dengan keterlambatan itu, apalagi saat itu ia sudah menangkap Yu Jin sehingga ia mencela "Jika kalian gurita kecil berani menyerang kota Fan, tidakkah kau pikir saya dapat menghancurkan kau?"

Pei Song Zhi: Hamba pikir walaupun Shu dan Dongterlihat akur, tetapi terdapat kecurigaan berlebihan antara keduanya akan kepentingan satu sama lainnya. Ini sebabnya mengapa Sun Quan diam-diam menyerang Guan Yu. Menurut Lu Meng Zhuan (Biografi Lu Meng) : "Pasukan gerilya telah disiapkan dalam kapal besar dan rakyat jelata yang menyamar sebagai pedagang diperintahkan untuk mengayuh kapal tersebut." Jika memang ada niat baik untuk membantu dari pihak Wu, mengapa Sun Quan merahasiakan pasukan itu?

(7)Shu Ji (Buku Shu): Guan Yu dan Xu Huang adalah teman dekat dan saling berkomunikasi walau terpisah jarak yang jauh. Namun mereka hanya membicarakan hal-hal sepele yang tidak berhubungan dengan urusan kemiliteran. Saat bertempur, Xu Huang berteriak "Siapa yang dapat mengambil kepala Guan Yu akan dihadiahkan seribu keping uang emas!" Guan Yu terkejut dan bertanya "Kakak, mengapa kau berbicara seperti itu?" Jawab Xu Huang,"Ini adalah urusan negara."

(8)Shu Ji (Buku Shu): Sun Quan memerintahkan pasukannya untuk menyerang dan menangkap Guan Yu serta putranya, Guan Ping. Sun Quan ingin keduanya hidup-hidup sebagai tameng serangan Shu dan Wei. Tetapi anak buahnya berdalih "Membiarkan sarang serigala sama saja mengasuh bencana di kemudian hari. Cao Cao telah mengalaminya,sampai harus memindahkan ibukotanya. Bagaimana mungkin kita membiarkannya hidup?" Maka, Guan Yu dan putranya dihukum mati.

Pei Song Zhi: Hamba ingin menegaskan Buku Wu, yang mengatakan Sun Quan mengirimkan jendral Pan Zhang untuk menghambat jalur larinya Guan Yu yang kemudian dieksekusi mati di tempat. Jarak antara Lin Ju dan Jiangling sekitar 200 sampai 300 mil, sehingga Guan Yu tidak mungkin dibiarkan hidup sampai Sun Quan dan perwiranya selesai berdebat apakah perlu melepaskannya. Pernyataan "Sun Quan ingin keduanya hidup-hidup sebagai tameng serangan Shu dan Wei" adalah tidak benar. Wu Li (Buku Kronologis Negeri Wi) mengatakan "Sun Quan mengirim kepala Guan Yu ke Cao Cao saat perwiranya menyiapkan pemakaman yang layak bagi sisa jasadnya."

Guan Yu dianugerahi gelar anumerta Zhuangzhou Hou (Marquis Zhuangzhou). Putranya, Guan Xingmenggantikannya. Guan Xing, bernama lengkap Anguo, jarang mempertanyakan perintah sehingga amat disukai oleh perdana menteri Zhuge Liang. Guan Xing diangkat menjadi Shizhong (Ajudan Istana) dan Zhongjiangjun (Jendral Pasukan Utama/Tengah) saat kesehatannya menurun. Beberapa tahun kemudian ia wafat dan digantikan putranya, Guan Tong sebagai Huben Zhonglang Jiang (Jendral yang memiliki Kelincahan Macan). Guan Tong wafat tanpa memiliki keturunan laki-laki.

(9)Shu Ji (Buku Shu): Saat Guan Yu bertolak ke kota Fan, ia bermimpi seekor babi hutan menggigit kakinya. Yu Zi Ping berkata "Kau akan hancur pada tahun ini, dan tidak akan kembali bangkit."

(10)Shu Ji (Buku Shu): Putra Pang De, Pang Hui bertempur di bawah Zhong Hui dan Deng Ai untuk menghancurkan Shu. Saat merebut Shu, ia membinasakan seluruh anggota keluarga Guan yang masih hidup.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Catatan_Sejarah_Tiga_Negara

Eko Sulistyo : Masker, Politik dan Fashionista


Di era pandemi Covid-19, masker wajah menjadi sarana untuk mencegah penyebaran Covid-19.  Namun di tangan desainer mode, masker tidak hanya sebagai penutup wajah untuk melindungi dari virus, tapi menjadi tren mode yang memiliki personal “style” sendiri.  Adapun di Amerika Serikat (AS), masker adalah simbol politik yang merepresentasikan tindakan politik tentang cara menghadapi Covid-19 diantara pendukung kubu liberal dan konservatif.

Dalam artikel di APNews.com, 8 Mei 2020, “Face masks make a political statement in era of coronavirus”, Presiden Donald Trump telah menolak untuk memakai masker dalam beberapa kesempatan. Trump meyakini citra dan peluang terpilih kembali bisa rusak jika mengenakan masker karena akan dianggap lebih peduli dengan kesehatan masyarakat daripada pemulihan ekonomi. Sebaliknya, mantan Wakil Presiden Joe Biden menyebut Trump "bodoh" karena menyerah pada perilaku "palsu maskulin" daripada mengenakan masker.

Bagi para pendukung Trump, menolak mengenakan masker adalah sikap untuk menunjukkan seorang Republikan, dan keinginan membuka kembali kegiatan ekonomi negara. Sementara bagi pendukung liberal, tindakan pencegahan yang maksimal dan penguncian lebih lama akan memperlambat penyebaran virus. Pengenakan masker dan perdebatan “kesehatan versus ekonomi” menjadi aspek baru dalam perang budaya di Amerika Serikat sejak negeri ini dinyatakan terinfeksi Covid-19.

Sejak dunia dilanda Covid-19, banyak negara telah memberlakukan penggunaan masker kepada warganya di tempat umum.  Hal ini untuk mencegah transmisi tetesan virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.  Meski efektifitasnya masih diperdebatkan, namun masker telah menjadi bagian dari perubahan gaya hidup selain cuci tangan dan menjaga jarak fisik dalam beradaptasi dengan Covid-19.

Berbeda dengan para politisi, kini para desainer mode mulai merancang tampilan masker sebagai bagian dari tren mode yang memiliki kreatifitas seni.  Mereka melihat peluang pasar dari tren masker yang bisa mendatangkan keuntungan di tengah pandemi. Mereka seolah mendekronstruksi pendapat bahwa wajah yang terbuka mewakili modernitas dan pembebasan dari agama, patriarki, atau yang lainnya.

Seperti ditulis The Economist dalam dua artikelnya di edisi 30 Mei 2020, “Masks and covid-19” dan “Paris masked”, ada fakta yang menarik bahwa pasar masker berkembang baik di pusat mode dunia di Paris. Sejak pemerintah Perancis mewajibkan pengenakan masker di tempat umum pada 11 Mei, Paris yang elegan dan memiliki cita rasa tinggi telah mengganti masker bedah warna biru pucat dengan tampilan menyesuaikan “coronavirus chic”.

Masker hitam kemudian menjadi salah satu tren mode di kawasan modis ibukota Perancis. Ketika Presiden Emmanuel Macron mampir di sebuah sekolah mengenakan masker biru tua dengan bendera Perancis kecil di sudutnya, pabrikannya dibanjiri permintaan pesanan. Kini banyak model masker edisi terbatas di Paris dengan garis-garis Breton, simbol gaya militer Perancis terjual habis dalam hitungan menit.

Sekarang banyak negara dimana pemerintahnya mengharuskan orang mengenakan masker ketika berada di ruang publik. Banyak orang berpikir masker melindungi mereka dari hal-hal buruk di udara. Namun dalam kasus Covid-19, penularan virus disebabkan oleh tetesan (droplets) dan bukan penularan melalui udara.   Orang yang paling mungkin terinfeksi adalah yang telah melakukan kontak signifikan dengan seseorang yang terinfeksi. 

Masker menahan tetesan pernapasan yang membawa virus, sehingga berisiko lebih aman.  Dalam masa normal, pemerintah harus melakukan test uji kepada masyarakat secara acak untuk mendapatkan bukti kuat sebelum memutuskan kebijakan baru di bidang kesehatan.  Tapi karena bukan waktu yang normal, dan kebutuhan akan kecepatan membuat itu tidak mungkin.

Keberhasilan negara-negara Asia Timur dalam mengendalikan Covid-19, telah mendukung argumen penggunaan masker. Di Jepang dengan budaya memakai masker paling kuat di dunia, berhasil menjadi salah satu negara dengan tingkat infeksi Covid-19 terendah di dunia.  Di banyak kota di Asia Timur, masker telah dipakai selama bertahun-tahun untuk melindungi dari polusi atau penyakit.

Di Barat, mengenakan masker seperti asing. Tapi di semua negara dimana masker menjadi kebiasaan umum, epidemi Covid-19 dapat ditekan cepat.  Seperti ditulis Alfred W. Crosby (2003), “America's Forgotten Pandemic: The Influenza of 1918”, masker juga menjadi simbol patriotisme dan berperan menekan pandemi flu Spanyol 1918 dan 1919 di AS.  Poster-poster dicetak dengan gambar laki-laki dan anak-anak dengan seruan, “Gunakan sapu tangan dan lakukan bagianmu untuk melindungiku!". 

Kini masker tidak hanya menjadi pelindung wajah yang dianjurkan untuk mencegah infeksi Covid-19. Selain di Paris, di Ibukota Lithuania, Vilnius, pada awal Mei juga berlangsung pekan mode khusus sesuai masa Covid-19 (The Jakarta Post, 6/5/2020). Tanpa catwalk, hanya papan iklan dan tidak ada kostum mewah yang dipajang, kecuali hanya masker wajah.  Dua puluh satu papan iklan tersebar di sekitar kota Warisan Dunia UNESCO menampilkan foto-foto pria, wanita dan anak-anak mengenakan masker sebagai bagian dari "Mask Fashion Week".

Masker bisa tampil kreatif dalam industri fashion dan gaya hidup baru selama pandemi.

----------
Penulis adalah Sejarawan dan Deputi di Kantor Staf Presiden (2015-2019).

Wednesday, June 10, 2020

Cerita Silat ( Fatwa sang Hyang dalam Mimpi)

Cerita Silat lanjutan. .



Dalam riuh rendah nya dunia, saat bulan mulai meninggi, serta sayup sayup suara jangrkik pun mulai menghilang.

Didalam mimpi, Sang Pendekar Manja didatangi oleh Sang Hyang Guru., dalam mimpi nya beliau berkata;

Muridku.. Aku tahu hatimu sedang Risau.. Walaupun Engkau sembunyikan lewat senyum dan Canda Tawa Mu. Aku mengenal Mu lebih dari siapapun..
Tidak semua yang di Cintai harus di miliki Muridku..
Terkadang Tuhan lebih memilih Engkau tersakiti..
daripada Engkau tersesat bersama Orang yg Kau pilih..

Bukan karena Tuhan membenci Mu.. Namun karena Tuhan menyayangi Mu.. Muridku.. Bangkit lah dan lupakanlah semua yg telah terjadi..

Ohh.. Hyang Guru..? Pendekar Manja terbangun dari tidurnya.. masih terngiang nasehat gurunya.. Kemudian Iya tersenyum..

tampak tumbuh semangat baru di Hati Nya..
Lalu Berkelebattt.........

#Pendekar Manja, Kebelet pipis hehe... . .
#JackGiar

Tuesday, June 9, 2020

Pulih di Ende


Sukarno menyebut pengasingan ke Ende membuatnya menjadi "seekor elang yang telah dipotong sayapnya".
Pengasingan di Ende membuat Sukarno terguncang dan tidak berdaya secara politik.

Namun, alih-alih tempat pembuangan, Ende justru menjadi rumah pemulihan bagi Sukarno. Di Ende-lah Sukarno menemukan pribadinya yang paling dalam, berubah dari manusia "singa podium" menjadi "manusia perenung".

#BungKarnoBapakBangsa
#JuniBulanBungKarno
#HarlahBungKarno
#BulanBungKarno

Mencari Prabu Siliwangi



Prabu Siliwangi menjadi tapal batas peralihan zaman. Sosoknya terselubung misteri antara mitos dan realitas.

Kean Santang menetapkan pilihannya beralih agama, memeluk Islam sebagai jalan hidup. Pilihan itu berseberangan jalan dengan ayahnya, Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Kean Santang (juga kerap disebut Kian Santang atau Keyan Santang) lantas pergi berkeliling Jawa untuk menimba ilmu dan memperdalam pengetahuan agama. Di sela pengembaraan, dia berganti nama menjadi Sunan Rahmat.

Dia mengemban tugas mengislamkan wilayah barat Pulau Jawa. Dan salah satu tujuan utamanya, mengajak sang ayah beralih keyakinan. Ajakan itu ditolak Sang Prabu dan para pengikutnya. Pertempuran pun tak terelakkan.

Prabu Siliwangi bersama para pengikutnya melarikan diri ke hutan Sancang –di selatan Garut. Putranya terus memburu. Demi menghindari pertempuran lebih lanjut dengan anaknya, Sang Prabu ngahiang (moksa) dan bersalin rupa menjadi Macan Putih. Sementara para pengikutnya berubah wujud menjadi Macan Sancang.
Salah satu versi cerita tutur masyarakat Sunda mengenai moksa Prabu Siliwangi di Sancang itu dihimpun Robert Wessing, antropolog University of Illinois, Amerika Serikat. Wessing menyebut cerita itu kental balutan mitos. Namun, mitos itu dapat dipahami melalui telusur konteks sosial dan historisnya, yang berkaitan dengan “perubahan politik di Jawa Barat dari kerajaan [Hindu] Vaisnava ke kerajaan Islam pada sekira 1579, serta orientasi masing-masing kerajaan,” tulis Wessing dalam “A Change in the Forest: Myth and History in West Java”, dimuat Journal of Southeast Asian Studies, Vol 24, No 1, Maret 1993.

Lantas siapakah Prabu Siliwangi, yang sosoknya melekat kuat dalam alam pikir masyarakat Sunda dan menjadi junjungan dalam cerita tutur, dan berjejak pada beragam jenis susastra Sunda?

Prabu Siliwangi menjadi tapal batas peralihan zaman. Sosoknya terselubung misteri antara mitos dan realitas.

Kean Santang menetapkan pilihannya beralih agama, memeluk Islam sebagai jalan hidup. Pilihan itu berseberangan jalan dengan ayahnya, Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Kean Santang (juga kerap disebut Kian Santang atau Keyan Santang) lantas pergi berkeliling Jawa untuk menimba ilmu dan memperdalam pengetahuan agama. Di sela pengembaraan, dia berganti nama menjadi Sunan Rahmat.

Dia mengemban tugas mengislamkan wilayah barat Pulau Jawa. Dan salah satu tujuan utamanya, mengajak sang ayah beralih keyakinan. Ajakan itu ditolak Sang Prabu dan para pengikutnya. Pertempuran pun tak terelakkan.

Prabu Siliwangi bersama para pengikutnya melarikan diri ke hutan Sancang –di selatan Garut. Putranya terus memburu. Demi menghindari pertempuran lebih lanjut dengan anaknya, Sang Prabu ngahiang (moksa) dan bersalin rupa menjadi Macan Putih. Sementara para pengikutnya berubah wujud menjadi Macan Sancang.
Salah satu versi cerita tutur masyarakat Sunda mengenai moksa Prabu Siliwangi di Sancang itu dihimpun Robert Wessing, antropolog University of Illinois, Amerika Serikat. Wessing menyebut cerita itu kental balutan mitos. Namun, mitos itu dapat dipahami melalui telusur konteks sosial dan historisnya, yang berkaitan dengan “perubahan politik di Jawa Barat dari kerajaan [Hindu] Vaisnava ke kerajaan Islam pada sekira 1579, serta orientasi masing-masing kerajaan,” tulis Wessing dalam “A Change in the Forest: Myth and History in West Java”, dimuat Journal of Southeast Asian Studies, Vol 24, No 1, Maret 1993.

Lantas siapakah Prabu Siliwangi, yang sosoknya melekat kuat dalam alam pikir masyarakat Sunda dan menjadi junjungan dalam cerita tutur, dan berjejak pada beragam jenis susastra Sunda?

Catatan awal mengenai Prabu Siliwangi samar-samar terekam dalam cerita pantun Langga Larang, Babakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi. Keempat cerita pantun itu disebut dalam teks Siksa Kandang Karesian yang berbahasa dan beraksara Sunda Kuna, bertarikh 1518 M.

Namun, para peneliti kajian Sunda kehilangan narasi awal tersebut. Pasalnya, keempat cerita pantun itu lenyap tak berjejak. Kendati begitu, “dengan bukti ini sudahlah jelas bagi kita, bahwa dalam tahun 1518 M Prabu Siliwangi sudah jadi tokoh cerita pantun,” tulis Amir Sutaarga, filolog pada Museum Gajah (kini, Museum Nasional) dalam Prabu Siliwangi.

Menariknya, sosok Prabu Siliwangi masih tampil di banyak karya sastra, terutama cerita pantun Sunda sekira akhir abad ke-16. Seorang linguis asal Belanda, Fokko Siebold Eringa, yang menggarap cerita pantun Loetoeng Kasaroeng sebagai objek disertasinya, berhasil menghimpun tigapuluh tujuh judul cerita pantun yang dikenal luas masyarakat Sunda. Namun dalam banyak cerita pantun tersebut, Sang Prabu justru tak ditempatkan sebagai tokoh utama yang memiliki peran besar dalam cerita. Sebaliknya, tulis Eringa dalam Loetoeng Kasaroeng: Een Mythologisch Verhaal uit West Java (1949), diterbitkan sebagai seri Verhandelingen van het Koniklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkekunde, (VKI), deel 8. 1949, tokoh utama yang tampil dalam cerita ialah para putranya: Jaka Susuruh, Guru Gantangan, dan Munding Laya Dikusuma. 

Kaitan rekam jejak Sang Prabu dalam karya sastra abad ke-16 dengan kenyataan zaman pernah diungkap Jacobus Noorduyn, filolog asal Belanda yang menggeluti beragam naskah Sunda. Dia mengambil pijakan dari teks Bujangga Manik yang memuat kekayaan detail topografi wilayah Jawa, Bali, dan berbagai lokasi di tanah Sunda yang dilalui Bujangga Manik, pujangga kelana asal Pakuan.

Sesaat akan menyeberangi perbatasan Sungai Ci-Pamali (sungai di Brebes), batas wilayah Sunda, Bujangga Manik terlebih dulu singgah di wilayah Arega Jati dan Jalatunda –keduanya tak dikenali. Teks itu menghubungkan Jalatunda, yang biasanya mengacu pada tempat pemandian (patirthan), sebagai tempat melestarikan kenangan (sakakala) terhadap Siliwangi. Potongan kecil informasi dalam teks Bujangga Manik menunjukkan bahwa Siliwangi telah menjadi tokoh historis saat teks itu ditulis.

“Kisahnya sudah dikenal pada masa itu, serta suatu peristiwa penting dalam hidupnya pasti telah terhubung dengan Jalatunda atau area yang lebih spesifik,” tulis J. Noorduyn dalam ”Journeys through Java: Topographical Data from an Old Sundanese Source”, Bijdragen tot de taal, land- en volkenkunde 138, 1982.

Narasi agak lengkap mengenai laku hidup Prabu Siliwangi tersua dalam beberapa manuskrip yang digubah pada abad ke-19: Tjerita Prabu Anggalarang, Babad Pajajaran, Babad Siliwangi, dan Wawatjan Tjarios Prabu Siliwangi. Namun muatan teks manuskrip-manuskrip tersebut, “kurang artinya sebagai sumber sejarah, tetapi lebih banyak merupakan karya sastra yang ditulis dalam bentuk tembang,” ujar Sutaarga.

Prabu Siliwangi tidak hanya hidup dalam teks dan rangkaian cerita. Namanya pun kerap digunakan sebagai legitimasi politik para bupati dan bangsawan Sunda. Menurut Sutaarga, dalam berbagai naskah yang kebanyakan ditulis abad ke-19, nama Prabu Siliwangi dimuat untuk memenuhi kebutuhan para bupati yang berkuasa di berbagai kabupaten di Jawa Barat, khususnya Priangan. Mereka ingin mengaitkan hubungan trahnya dengan Prabu Siliwangi lewat babad-babad keluarga yang memuat pohon kekerabatan.
Identifikasi Siliwangi. 

Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, sebuah manuskrip yang digubah di bawah lindungan Pangeran Arya Carbon dari Cirebon dan selesai ditulis tahun 1720, tokoh Prabu Siliwangi disebut sebagai raja Sunda yang beribukota di Pakuan-Pajajaran. Informasi serupa didapat dalam banyak manuskrip yang berasal dari pertengahan abad ke-19. Apakah realitas teks yang menghubungkan Prabu Siliwangi dengan salah seorang raja Sunda adalah realitas historis?

Hasan Djafar, ahli epigrafi, mengatakan Prabu Siliwangi tidak pernah disebut dalam sumber-sumber primer yang berasal dari prasasti dan naskah Sunda Kuna yang muatannya dapat dipercaya. Dari 23 prasasti dari masa kerajaan Sunda yang telah diteliti, 11 prasasti menyebut nama raja-raja Sunda tapi tak satu pun menyebut nama Prabu Siliwangi. Hal itu bisa dipahami karena, “Prabu Siliwangi bukan nama seorang raja dan nama gelar seorang raja, tetapi julukan bagi salah satu di antara deretan raja-raja Sunda,” ujar Hasan Djafar kepada Historia.

Sumber dari karya sastra lumrahnya menyelaraskan Prabu Siliwangi sebagai raja Pajajaran. Namun, kaitan Sang Prabu dengan kerajaan Pajajaran ditolak C.M. Pleyte, etnolog asal Belanda. Pleyte mengajukan pandangannya bahwa Prabu Siliwangi tidak pernah menjadi penguasa Pajajaran.

“Prabu Siliwangi sama dengan Prabu Wangi dari Carita Parahiyangan, yang telah tewas di tanah lapang Bubat,” tulis Pleyte dalam “Raden Moending Laja di Koesoema. Een Oude Soendasche Ridderroman. Met een inleiding over den Toekang Pantoen”, dimuat Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde (TBG), XLIX. Menurutnya, Prabu Siliwangi identik dengan Prabu Wangi atau Prabu Maharaja dari kerajaan Sunda.
Sejatinya, terdapat dua arus besar pendapat dari para ahli Sunda mengenai identifikasi Prabu Siliwangi. Pendapat pertama dilontarkan Ayatrohaedi, arkeolog Universitas Indonesia, yang mengidentifikasi Prabu Siliwangi dengan tokoh Raja Sunda Niskala Wastukancana. Hal itu disampaikannya dalam “Tunas Bersemi di Bumi Subur”, dimuat Proceedings Seminar Sejarah dan Budaya II Tentang Galuh. Menurutnya, Siliwangi berasal dari kata “silih” yang berarti “ganti”, sedangkan “wangi” berarti “harum”; atau bermakna menggantikan seseorang yang harum atau tersohor namanya.

Raja yang harum dan tersohor namanya, menurut Ayatrohaedi, adalah Prabu Maharaja yang gugur di tanah lapang Bubat. Walau tahta kerajaan sementara sempat diisi Buni Sora selama enam tahun, Ayatrohaedi memandang Niskala Wastu Kancana merupakan raja pengganti Prabu Maharaja yang berjasa besar membangun kerajaan Sunda. Masa bertahtanya pun cukup lama, 104 tahun (1371-1357), hingga mangkat di Nusalarang.

Tapak jasanya sebagai raja tersua dalam beberapa prasasti. Prasasti Kawali IA, dari wilayah Astana Gede, Kawali, Ciamis, yang berasal dari abad ke-15, menyebut Niskala Wastu Kancana sebagai Prebu Raja Wastu yang bertahta di ibukota Kawali. Dialah yang memperindah kadaton Surawisesa, membuat parit yang mengelilingi ibukota, memberikan kemakmuran bagi seluruh desa, dan melaksanakan kebajikan agar lama jayanya di dunia. Namanya pun disebut dalam Prasasti Kabantenan I (abad ke-16) dan Batu Tulis, Bogor (1533 M).

Pendapat berbeda dikemukakan Amir Sutaarga dalam Prabu Siliwangi dan Saleh Danasasmita dalam Tokoh Prabu Siliwangi dalam Perspektif Sejarah. Kedua ahli itu mengidentifikasi Prabu Siliwangi sebagai Sri Baduga Maharaja, cucu Niskala Wastu Kencana, yang bertahta pada 1482-1521 dan memindahkan pusat kekuasaan ibukota di Pakuan-Pajajaran. Pada masanya kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaan. Sri Baduga Maharja membangun kembali dan memperindah ibukota Pakuan, memariti sekeliling ibukota Pakuan, membuat monumen berupa gugunungan, membuat jalan yang diperkeras dengan batu (ngabalay), membuat hutan lindung (samida), dan membuat Talaga Warena Mahawijaya.

“Tidaklah mengherankan bahwa Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja sampai dua kali mengalami pemberkatan (diwastu) dan masa pemerintahannya merupakan masa kejayaan dan kemakmuran,” ungkap Sutaarga.

Terkait perbedaan pendapat itu, kemunculan sosok Prabu Siliwangi dapat dibaca sebagai sebuah fenomena zaman, gejala peralihan antara tatanan lama dan tatanan baru. Menurut Hasan Djafar, fenomena ini mirip dengan sosok Brawijaya yang dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai raja Majapahit akhir sebelum ditundukkan Demak.

“Prabu Siliwangi di wilayah barat Jawa, dan Brawijaya di wilayah timur Jawa, menjadi tapal batas antara tatanan lama dan baru. Kedua sosok itu merupakan gejala peralihan kepercayaan, agama, dan masa kejayaan,” ujar Hasan Djafar.


Ian Antono



Hampir lima dekade Ian Antono malang melintang di jagat musik Indonesia, merasakan pahit manisnya pasang surut panggung rock Tanah Air, sampai 'dikebiri' hak ciptanya oleh industri musik, namun ia masih tetap tegak berdiri.

Entah sudah berapa ratus panggung ia taklukkan dengan lengkingan gitarnya, yang jelas Ian Antono masih tetap berkarya di usianya yang ke-64.

Berawal dari masa kecil yang memang dekat dengan dunia musik, ditambah hasrat bermusik yang tak terbendung, Ian menjadi salah satu legenda musik rock Indonesia. Namun semua itu bukan perkara mudah, Ian harus jatuh bangun bergulat dengan jalan hidup yang dia pilih itu.

Beruntung saat kecil Ian Antono mendapat paparan musik yang lebih dari anak seusianya, rumah Ian di Malang kerap dijadikan tempat berkumpul untuk ngeband. Belum lagi, kediaman Ian digunakan sebagai tempat radio amatir. Hal itu membuat Ian memiliki referensi musik lebih luas karena bisa mendengarkan siaran dari Australia yang kerap memutar lagu-lagu yang sedang menjadi tren di Amerika dan Eropa.

Band zaman dulu masih aliran enggak jelas, zamannya the Shadows. Di rumah ada alat band, dari kecil telinga sudah dibiasakan mendengar musik. Kebetulan orangtua saya bebas, seneng lah kalau rumahnya untuk ngumpul-ngumpul. Pertama saya belajar instrumen drum,” kenang Ian.

Kegemarannya terhadap musik bertolak belakang dengan situasi pada zaman itu, terlebih saat Ian bersekolah di sekolah bergengsi yang dikenal memiliki murid dengan kualitas akademis baik. Langkah berani diambil Ian, dia hijrah menuju Ibukota selepas SMA.
“Saya dulu sering bolos, saya enggak nakal anaknya, malah cenderung diem. Sekolah ya karena takut aja sama orang tua. Sekolah saya sekolah bagus semua, sekolah Katolik,  SMP di Santo Yosef dan SMA di St. Albertus,” tukas Ian pada Metrotvnews.com.

Bisa dibilang, modal Ian ke Jakarta hanya tekad ingin jadi musisi. Selebihnya nekat. Berangkatlah Ian ke Jakarta di akhir dekade 60-an bersama sahabatnya dari Malang, Abadi Soesman. “Saya pergi dari Malang gara-gara musik, saya berhenti sekolah karena musik. Waktu itu umur saya masih 17 tahun,” beber Ian.
Ian yang pada awalnya bermain untuk band yang tampil di klub-klub malam dan hotel pun merasa jengah dengan kehidupan musisi yang tak pasti pada zaman itu.

“Sekitar tahun 1975, masa susah saya, sebelum bergabung God Bless. Masa paling susah untuk menentukan saya terus atau enggak (di musik). Waktu itu di band Irama Abadi, saya diajak ke Jakarta dan tinggal di satu kamar tidur diisi 6 orang, tidur di tikar. Saking enggak tahannya saya pernah pulang naik motor dari Jakarta ke Malang,” ujar Ian sambil tertawa.
Lagi-lagi musik menariknya begitu kuat, keluh dan peluh tak membungkam hasrat Ian muda. Tak lama meratapi nasib, Ian bergulat lagi dengan Ibukota.
Sekembalinya ke Jakarta, Ian masih terngiang akan kampung halamannya di Malang, kerinduan-kerinduan yang muncuk akibat kerasnya hidup di Jakarta, “(Dulu) Masih ada penyesalan ke Jakarta, tapi enggak mungkin balik ke Malang, udah enggak ada rumah di Malang, dicemooh juga kalau kembali.”

Tuhan memberkati God Bless

Pada tahun 1975 Ian masuk ke God Bless, band yang sebelumnya sering membawakan lagu milik band lain seperti Deep Purple dan Genesis. Mendapat suntikkan personel baru, God Bless percaya diri merilis album debut mereka.

Butuh keberanian atau mungkin lebih tepatnya nekat untuk merilis album rock di zaman itu. Selain tidak diminati oleh perusahaan rekaman, musik rock yang terdengar liar juga kurang menjanjikan dari segi komersial.

Pramaqua menjadi perusahaan rekaman yang merilis album debut God Bless, bukan karena mereka melihat potensi pasar rock, tetapi lebih kepada hubungan baik antara Ian dan petinggi Pramaqua. Johannes Soerjoko, pendiri Aquarius (Aquarius bersama Prambors Rasisonia membuat Pramaqua) menjalani masa kecil bersama Ian, dia kerap bermain di rumah Ian di Malang.

“Album pertama God Bless yang bikin Pramaqua. Dulu pakai mixer radio untuk recording, mixernya udah 24 track, merknya saya ingat Schlumberger,” kata Ian.
Salah satu kenangan masa perjuangan Ian bersama God Bless adalah mereka mampu memaksimalkan apapun yang ada dengan modal utama semangat. Bahkan, Ian melahirkan berbagai karya-karya besar tanpa menggunakan gitarnya sendiri, karena ia memang belum punya.

“Album pertama God Bless itu bukan pakai gitar saya, saya pertama punya gitar tahun 2000. Itu yang beli sendiri. Kalau dipinjami sering, ditaruh rumah sampai lama, gitarnya Abadi (Soesman) saya bawa pulang sampai akhirnya kayak gitar saya sendiri,” kenang Ian sambil terkekeh.

Meski nama God Bless selangit, hal itu tidak sama dengan mereka berhasil meraup rupiah yang berlimpah. Kesampingkan pikiran bahwa rockstar se-zaman Ian seperti rockstar sepuh di Inggris atau Amerika Serikat.

Industri musik yang bobrok membuat mereka kini bahkan tidak bisa merasakan hasil jerih payah. “Kayak sapi perah bener, cari (bukti) royalti God Bless. Satu sen aja enggak pernah (dapat), tanya saja pemain (God Bless) lain. Tanya label rekaman pernah ngasih royalti saya enggak, dari dulu orang mikir (jadi musisi terkenal) enak . Di surat kontrak ada, tapi duitnya enggak ada,” jelas Ian.

Kekesalan ini membuat Ian sempat meninggalkan God Bless. Dia mencari rupiah dengan cara-cara lain, kasarnya setiap kemungkinan yang ada Ian jalani. Selama tidak melenceng dari musik.

Ian ikut membidani lahirnya album-album musisi top lain. Duo Kribo (Achmad Albar dan Utjok Harahap), Berlian Hutauruk, Ikang Fawzi, Nicky Astria, hingga Iwan Fals, adalah mereka yang mengecap tangan dingin Ian sebagai penata musik. Seolah memang dilahirkan untuk musisi terkemuka tanah air, kekesalan Ian terhadap industri musik justru membawa babak baru dalam sejarah musik di Indonesia.

“Yang menghidupi saya itu sebagai arranger, bisa beli rumah, kendaraan itu dari arranger. Kalau orang bilang uang saya datang dari God Bless itu salah. Konser God Bless berapa kali sih dalam sebulan. Kalau royalti jelas, saya mungkin jaya. Itu alasan kenapa saya bikin Gong 2000, karena (royalti di God Bless) enggak jelas dan semua kebuka setelah saya bikin Gong 2000,” kata Ian.
Tapi, dalam masa-masa sulit itu Ian justru melahirkan lagu hebat, “Rumah Kita”. Lagu yang dibuat Ian karena terinspirasi akan harmoni masa sulit saat tinggal di rumah kontrakan di daerah Tebet, Jakarta Selatan.

“Saya pernah tinggal di Tebet, mess saya yang legend di Tebet Timur, banyak musisi yang lahir di situ. Rumah kontrakan kamarnya tujuh, kecil rumahnya tapi tingkat. Semua lahir dari situ, dari Grass Rock, Aquarius, Utjok (Harahap). Yang bingung dulu bisa aja makan, walaupun sampe makan di warteg ngutang. Setelah sekarang kita baru inget kalau dulu susah, dulu pas ngejalani enggak merasakan apa-apa,” kata Ian. “(Lagu) ‘Rumah Kita’ itu lahir pas di Tebet,” lanjut Ian.

Gonta-ganti personel di tubuh God Bless, terhitung sampai sekarang formasi God Bless telah berubah lebih dari 15 kali, menurut Ian bukan karena mereka saling tidak cocok atau sering bertengkar. “Yah namanya musisi jaman dulu, satu band saja tidak bisa jadi pegangan. Jadi kita semua bebas, mau cari uang di mana saja. Tidak mesti di God Bless,” kata Ian.
Yang kerap terjadi di tubuh God Bless hanyalah kesalahpahaman kecil yang biasa terjadi di setiap band. Ian justru membeberkan bahwa mereka memiliki kebiasaan yang unik. Para personel God Bless memilih diam saat marah, jauh dari sumpah serapah dan debat kusir.

“God Bless itu paling aneh, kalau berantem enggak pakai mulut. Latihan (tetap) jalan, cuma suasananya enggak enak. Pemicunya masalah sepele, masalah terlambat, masalah susunan lagu juga bisa. God Bless paling sering ketinggalan pesawat, karena nungguin Iyek (Ahmad Albar) kelamaan mandi ,” kenang Ian tertawa.

Peristiwa magis nan tragis
Cobaan bagi Ian bukan hanya soal buruknya perlindungan hak cipta musisi yang jelas terlihat, tetapi juga hal-hal yang tak kasat mata dan tak masuk logika. Singkatnya, Ian pernah mengalami suatu masa mendadak sakit dan tidak bisa bermain gitar.

“Yang enggak pernah lupa, saya muntah darah di Jogja, saya ke dokter tapi dokternya bilang aneh karena saya tidak apa-apa, sampai saya enggak bisa main gitar dalam dua tahun,” ujar Ian.

“Tangan saya enggak bisa main gitar, bentuknya gini (menunjukkan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis berhimpitan) kayak orang lepra. Tiap hari saya cuma bengong, diajak ke laut sama bini saya. Ada ceritanya, saya ke Amerika (Serikat), katanya disuruh nyebrang laut, tapi nyatanya sembuh. Balik dari sana saya bikin Gong 2000. Musikalitas enggak ilang,” lanjut Ian.

Hingga saat ini, Ian masih tidak bisa mencerna secara logis apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Tetapi, dia yakin bahwa itu bagian dari buah persaingan di industri yang keras. Musibah itu terjadi pada saat Ian hengkang dari God Bless di akhir dekade 80-an.
Empedu industri musik Indonesia

Meski Ian mengakui God Bless tidak rajin mengisi kantong, tetapi dia menyadari bahwa God Bless adalah sesuatu yang besar. God Bless bukan semata urusan bermusik yang lantas menghasilkan uang, God Bless adalah keluarga bagi Ian. Hal itu pula yang membuat Ian ogah mengurus urusan gono-gini royalti.

“Percuma ke pengadilan malah habis duitnya, malah digorok pengacara. Makanya saya bilang dunia musik di indonesia itu kabur, padahal setiap (rumah) karaoke (lagu God Bless) dinyanyiin. Setiap tahun (God Bless) dikasih (royalti) Rp200 ribu, saya bilang ambil saja sekalian uang itu,” ujarnya kesal.

Ian mengaku bahwa penghargaan terhadap karyanya justru diterima dari negara tetangga, “Lebih enak Malaysia, saya dapat royalti ‘Zakia’, royalti terbesar dalam hidup saya itu dari ‘Zakia’. (Di Indonesia) Copyright master rekaman dipegang sama label seumur hidup, hak lagu di musisi. Itu kenapa saya bikin ‘Song Book I’ karena saya ingin menyelamatkan lagu saya, kasarnya daripada lu (label yang tidak memberi royalti) yang jual lebih baik gua yang jual.”

Pengalaman ini membuat Ian kini menempuh jalur label independen. Sistem titip jual dengan menggandeng distributor dirasa Ian lebih ideal. Misi “pemutihan” karya-karya Ian yang jika dihitung keseluruhannya mencapai 400 lagu terus berlangsung, direkam ulang agar Ian juga memiliki rekaman master dari karyanya sendiri.

“Daripada menuntut mending berbuat, yang penting melawan dengan perbuatan. Rencananya Mei (rilis lagu God Bless yang direkam ulang) , karena Mei ulang tahun God Bless, (lagunya) campur-campur terserah konsepnya yang penting (punya) master,” kata Ian.
Kini, God Bless jadi salah satu band dengan personel yang terbilang masih lengkap jika dibandingkan beberapa band yang tumbuh di dekade 70-an, mereka bukan hanya masih kuat secara fisik, tetapi juga eksis dalam band secara utuh.

Ian Antono bersama God Bless bukan hanya hidup untuk musik, tetapi musik yang hidup dalam tiap hembus nafas mereka. “Saya berpikir apa karena namanya ‘God Bless’ (Tuhan memberkati) makanya God Bless itu masih jalan,” kata Ian sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...