Apriyan Sucipto

Apriyan Sucipto
Rimba Raya

Thursday, May 14, 2020

Cetak Uang atau Hutang Lagi..




Kemapanan Perum Percetakan Uang Negara Republik Indonesia (Peruri) sebagai pencetak uang rupiah, nampaknya akan terusik. Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam penyediaan dan pengedaran uang mulai geram dengan berbagai masalah yang timbul beberapa tahun belakangan. Masalah yang timbul kebanyakan karena mutu uang yang dihasilkan Peruri kurang baik.

Kondisi ekonomi di Indonesia seringkali dilaporkan terpuruk, angka kemiskinan tinggi, banyak kesenjangan sosial, utang negara pun menumpuk. Sederhananya, ini karena pendapatan kita tidak sebanding dengan pengeluaran. Pembangunan dimana-mana, impor ini itu, belum lagi korupsi yang merajalela. Padahal masyarakat tidak cukup mampu membayar pajak, sumber daya dalam negeri kurang dikelola dengan baik, dan sebagainya. Wajar kalau kemudian pemerintah memilih berutang kepada negara lain

Biaya cetak uang yang dikeluarkan oleh BI tidak sebanding dengan mutu uang yang dihasilkan oleh Peruri. Untuk keperluan mencetak uang, BI mengeluarkan biaya cetak uang kertas selitar Rp4 miliar per tahunnya. Ongkos cetak yang dikenakan oleh Peruri juga termasuk mahal. Untuk setiap 1.000 lembar uang kertas, BI memperkirakan ongkos sekitar AS$55.

Mahalnya biaya cetak uang, sebenarnya disebabkan oleh mahalnya bahan baku pembuat uang yang masih diimpor dari luar negeri. Atas hal tersebut, sebenarnya BI merencanakan akan membangun pabrik kertas di dalam negeri untuk menghemat biaya cetak uang kertas. Selain itu, nantinya juga akan dikembangkan pembuatan uang kertas dengan bahan baku dari serat abaka.

Menurut Deputi Direktur Direktorat Pengedaran Uang, Lucky Fathul, ongkos cetak di Peruri relatif lebih mahal dari pada ongkos cetak di luar negeri. Kemahalan ongkos tersebut disinyalir karena di Indonesia, Peruri bisa melakukan monopoli. Pasalnya, Peruri adalah satu-satunya perusahaan percetakan uang yang ada.

Saat ini, Peruri memang merupakan satu-satunya perusahaan percetakan uang yang ada di Indonesia ini. Peruri merupakan salah satu perusahaan milik Departemen Keuangan. Padahal di lebih dari 95 negara di dunia, pencetakan uang negara dilakukan oleh Bank Sentral.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2000 yang terbit pada 7 Juni 2000 menegaskan Peruri merupakan badan usaha tunggal di bidang percetakan uang. Entah bagaimana prosesnya, satu bulan kemudian berdasarkan Keppres No. 96 Tahun 2000 disebutkan, industri percetakan uang merupakan usaha terbuka dengan persyaratan tertentu. Namun, tetap saja belum ada perusahaan yang bergerak di bidang pencetakan uang lain yang muncul.

Kewenangan BI

Kewenangan BI dalam mengedarkan uang merupakan kewenangan yang diperoleh dari UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Dalam UUBI diatur beberapa kewenangan BI, antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah (Ps. 2 UUBI).
Selain itu, Bank Indonesia juga berwenang menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan, dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah.

Dalam pasal 20 UUBI disebutkan secara jelas bahwa Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik, dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran. Bank Indonesia juga wajib memberikan pelayanan penukaran uang kepada masyarakat.

Mengenai pencabutan atau penarikan uang, ada beberapa pertimbangan yang menjadi dasar bagi BI untuk mencabut atau menarik uang dari peredaran. Uang dicabut atau ditarik dari peredaran oleh BI jika telah diedarkan cukup lama (5-7 tahun).

Tingkat pemalsuan uang yang dinilai cukup tinggi juga menjadi salah satu pertimbangan untuk dicabut atau ditariknya uang dari peredaran.  Selain itu, apabila jumlahnya yang beredar di masyarakat relatif sedikit atau peranannya sudah diganti dengan yang baru, BI juga dapat mencabut atau menarik uang tersebut dari peredaran. Terhadap uang yang dicabut, BI memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menukarkan uangnya dalam wantu 10 tahun tanpa biaya.

Dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan UUBI, Bank Indonesia secara operasional wajib menyediakan uang kartal yang cukup, sesuai jenis pecahan, waktu dan tempat, serta kualitas yang layak edar.
Dalam rangka memenuhi hal tersebut, tentu saja BI tidak dapat bekerja sendirian. BI membutuhkan percetakan guna mencetak uang tersebut. Dan karena Peruri merupakan satu-satunya perusahaan percetakan uang yang ada, BI bekerjasama dengan Peruri dalam hal mencetak uang kartal.

Pencetakan uang
Secara operasional, pencetakan uang kartal tidaklah semudah yang kita bayangkan. Ada beberapa tahap yang harus dilalui sebelum sampai pada tahap pencetakannya sendiri. Dalam tahap-tahap tersebut, sangat diperlukan kejujuran dan itikad baik dari masing-masing pihak. Pasalnya, peluang terjadinya "permainan" sangat besar.
Secara garis besar, proses pencetakan uang dimulai dengan perencanaan uang yang akan dicetak. Setelah itu, dilanjutkan dengan pengadaan bahan uang, pencetakan uang, distribusi uang, dan terakhir adalah penarikan dan atau pencabutan uang. Keseluruhan proses ini melibatkan berbagai pihak, yaitu BI, Peruri, dan pemasok bahan baku uang.
Kemudian, Peruri akan mengajukan rencana desain  uang kepada BI. Tentunya dalam desain yang diajukan tersebut, Peruri telah memenuhi ciri-ciri uang. Setelah itu, Dewan Gubernur memberikan persetujuan atas desain uang dan menentukan security features (pada bahan uang dan teknik cetak).

Setelah Dewan Gubernur menyetujui desain uang dan security features, dimulailah mencari pemasok bahan baku uang tersebut. Tahap ini dilakukan oleh Peruri  dengan persetujuan dari Bank Indonesia. Tahap ini merupakan tahap yang rawan akan KKN karena biasanya akan ada beberapa pemasok yang ikut tender dan penentuannya akan dilakukan oleh BI.
Dalam prinsip dasar pengadaan uang yang tertuang dalam Peraturan Dewan Gubernur mengenai Manajemen Logistik Bank Indonesia, disebutkan bahwa pengadaan bahan uang dilakukan dengan pemilihan langsung (minimal 3 pemasok), kecuali mendesak dapat dilakukan penunjukan langsung. Pemasok yang diundang adalah pemasok dalam dan luar negeri.

Pengalaman pahit
Tahap tender pemasok bahan baku uang, merupakan tahap yang sangat rentan. Walaupun telah diatur mengenai pertimbangan dalam memilih pemasok, integritas dan itikad baik dari masing-masing pihak yang terlibat sangat diperlukan. Yang menjadi pertimbangan dalam memilih calon pemasok adalah  kualitas bahan baku, harga yang ditawarkan, jadwal pengiriman, dan juga harus memperhatikan diversifikasi risiko.

Peruri sendiri pernah mengalami kejadian tak mengenakkan dalam proses pengadaan bahan baku uang kertas untuk pecahan Rp1.000 dan Rp5.000 yang melibatkan BI, Peruri, dan pemasok PT Pura Barutama.
Anggota Komisi II DPR-RI, Suryanto, menemukan mutu kertas yang tidak sesuai dengan standarisasi yang ditentukan Perum Peruri. Suryanto menjelaskan bahwa menurut informasi yang diperoleh komisi II, kertas produksi PT Pura Barutama tidak memenuhi standar yang ditentukan. Padahal menurut Perum Peruri, pencetakan uang kertas harus memenuhi standar dengan melewati dua tahapan pencetakan uang, yaitu tahap offset dan tahap intaglio. 
Kertas-kertas tersebut kemudian perlu diganti. Ini terkait dengan unsur bisnis, meskipun pada akhirnya Perum Peruri harus menanggung kerugian. Setelah itu, yang muncul adalah saling tuding antara Perum Peruri dan PT Pura Barutama, Kudus.

Disinyalir oleh beberapa pihak, adanya unsur KKN dalam tender pencetakan uang tersebut kepada PT Pura Barutama. Akan tetapi, hal itu langsung dibantah Aulia Pohan selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia. Aulia membantah adanya unsur KKN dalam proses tender pemasok bahan uang kertas antara PT Pura Barutama dengan BI.

Hambatan teknologi
Pengalaman pahit tidak hanya dirasakan oleh Peruri. BI juga pernah merasakan pengalaman tersebut. Pengalaman tersebut dikarenakan kemampuan Peruri yang terbatas dalam mencetak uang. Peruri tak bisa mencetak uang dengan hologram.
Prinsip dasar pencetakan uang berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 2/17/PBI/2000 tanggal 20 Juli 2000, pencetakan uang diutamakan pada perusahaan dalam negeri (Peruri), kecuai Peruri sudah full/over capacityatau Peruri belum menguasai teknologi cetak yang dipersyaratkan. Selain itu, uang yang dicetak harus memiliki security features yang baik, sehingga membantu masyarakat membedakan uang yang asli dengan yang palsu.

Beberapa hambatan yang dialami oleh BI selama menggunakan jasa pencetakan Peruri, selain ongkosnya yang relatif mahal adalah kurangnya penguasaan teknologi yang dapat digunakan oleh Peruri. Sehingga BI sendiri berpikir jika seandainya Peruri tetap tidak dapat mengikuti pola teknologi yang ada, ada kemungkinan BI akan menyerahkan pencetakan uang pada percetakan uang di luar negeri.
Cetak di Australia

Mengenai pencetakan uang di luar negeri, ini memang dimungkinkan. Hal tersebut tertuang dalam pasal 3 Peraturan BI No. 2/17/PBI/2000. Dalam hal-hal tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pencetakan  uang pada perusahaan percetakan uang di luar negeri.
Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu itu adalah apabila perusahaan  dalam negeri tidak mampu  mencetak uang sesuai spesifikasi, bahan dan atau jumlah yang ditetapkan, maka pencetakan uang dapat dilakukan pada perusahaan luar negeri.

Hal tersebut pernah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mencetak uang kertas pecahan Rp100.000 yang dicetak sebanyak Rp50 triliun oleh percetakan uang Australia karena peruri tak mampu mencetak hologram. Padahal hologram diperlukan untuk security features.

Selain karena Peruri tak mampu membuat hologram, pencetakan pecahan uang Rp100.000 tersebut juga dikarenakan Peruri tidak dapat menyediakan bahan bakunya, yaitu polyester. BI juga mengatakan bahwa sebenarnya pencetakan tersebut dilakukan dengan cepat dan segera pada pertengahan 1999 untuk mengantisipasi kekhawatiran akan datangnya masalah komputer pada 2000.

Namun ternyata dalam perjalanannya, pihak percetakan Australia juga tidak mampu memenuhi target yang dijadwalkan oleh BI. Sehingga akhirnya, pihak percetakan uang di Australia meminta persetujuan dari BI agar sebagian pencetakan dilakukan di Thailand dengan pengawasan dari pihak Australia.

Karena BI merasa pencetakan uang tersebut sangat dipandang perlu pada saat itu, maka BI menyetujuinya. Namun sayang, uang hasil percetakan Thailand tidak sebaik yang dicetak oleh percetakan di Australia. Dan atas hal tersebut, BI telah mengajukan klaim kepada pihak percetakan di Australia.

Uang palsu
Kendala lain yang dihadapi dalam pencetakan uang adalah bagaimana membuat desain uang agar tidak mudah untuk dipalsukan, terutama di masa krisis seperti ini. Karena berdasarkan data yang dimiliki BI dan kepolisian, kegiatan pemalsuan uang meningkat jumlahnya sejak krisis moneter.

Pemalsuan uang merupakan hasil perbuatan tindak pidana melawan hukum berupa gambar yang dibuat di atas kertas atau logam dengan bentuk menyerupai uang kertas atau uang logam yang dikeluarkan oleh BI. Maksudnya, untuk diedarkan sebagai alat pembayaran yang sah di dalam wilayah RI.

Kejahatan pemalsuan uang disinyalir juga melibatkan orang-orang yang mempunyai kekuasaan. Termasuk kalangan militer dan orang-orang yang terkait dalam pencetakan uang, yaitu Peruri atau BI sendiri.

Beberapa motivasi orang dalam melakukan pemalsuan uang adalah karena alasan ekonomi. Pemalsu uang hanya akan mengambil keuntungan ekonomi dari kegiatan memalsukan uang tersebut. Namun, bisa juga pemalsuan uang didasarkan pada upaya untuk menjatuhkan wibawa suatu pemerintahan yang sah. Ini bukan hal yang mustahil.

Sebagian dari kalian mungkin berpikir, kenapa tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya saja? Toh, ini karena masalah kekurangan duit, ‘kan? Negara pun punya otoritas mencetak uang melalui Bank Indonesia. Dengan uang yang melimpah, utang jadi bisa dibayarkan, rakyat tidak lagi miskin, masalah ekonomi lain bisa terselesaikan. Tapi ternyata mencetak uang tidak sesederhana itu. Ada banyak aspek yang memengaruhi. Bahkan kalau negara nekat mencetak banyak uang baru, malah bisa bikin miskin! Lho kok bisa? Berikut ulasan nya yang sudah kita rangkum dari hipwee.com

1. Kalau uang dicetak banyak dan dibagikan cuma-cuma, otomatis masyarakat jadi pegang banyak duit. Tapi kondisi ini malah bikin mereka makin konsumtif
Logikanya nih, jika setiap masyarakat di Indonesia tiba-tiba diberi uang Rp100 juta, mereka akan berubah jadi konsumtif dan membeli apa yang sebelumnya tidak bisa dibeli, misalnya aja mobil. Hal itu akan membuat permintaan mobil jadi naik. Otomatis produsen mobil bekerja keras meningkatkan produksi mobilnya. Kalau tidak mampu mengikuti permintaan pasar, ketersediaan mobil di pasaran jadi habis. Soalnya menaikkan jumlah produksi itu ya berarti harus menambah jumlah pekerja, upah mereka, dan lain-lain. Pada akhirnya juga sama aja toh?

2. Daya beli yang tinggi, akan membuat harga barang naik, bisa-bisa telur aja harganya 1 miliar/kg! Kondisi ini pernah dialami Zimbabwe.
Untuk kasus mobil di atas, produsen sebenarnya masih punya pilihan lain, yaitu menaikkan harga barang jualannya! Dan tidak cuma berlaku untuk kendaraan saja, barang kebutuhan pokok juga bakalan naik gila-gilaan. Naiknya harga barang secara terus menerus ini nama “ekonomi”nya adalah inflasi. Salah satu negara yang pernah mengalami inflasi besar-besaran adalah Zimbabwe. Sejak 2008, mata uang negara ini terus mengalami keterpurukan. Di sana, harga telur aja bisa mencapai 100 miliar dolar Zimbabwe! Kebayang ‘kan ada berapa banyak uang yang beredar di sana…

3. Karena merasa punya banyak uang, orang jadi tidak lagi produktif. Jangan heran kalau dalam waktu dekat negara itu malah jadi miskin. 
Kita aja nih, mungkin kalau ditanya, apa yang akan kita lakukan kalau dikasih uang 1 miliar setiap bulan, jawabannya pasti santai-santai di rumah sambil nonton TV, liburan ke luar negeri, atau hal menyenangkan lainnya. Kita tentu tidak akan mau lagi bekerja, berbagai profesi jadi kehilangan pekerjanya, petani akan malas menanam padi, nelayan akan malas melaut, dan seterusnya. Negara jadi kehilangan produktivitasnya karena masyarakat jadi menggantungkan hidupnya pada impor.

4. Nilai mata uang di negara tersebut jadi turun, kebayang ‘kan gimana jadinya kalau uang sudah tidak lagi dianggap berharga?
 
Bukannya bikin kaya raya, mencetak terlalu banyak uang malah akan membuat nilai mata uang itu sendiri turun. Logikanya, bayangkan saat kamu belum bekerja, uang selembar 100 ribu akan terasa banget nilainya. Mau pakai aja harus mikir-mikir. Sekarang coba dibalik, apa jadinya kalau kamu mendapat uang 100 ribu secara cuma-cuma setiap hari, tidak perlu bekerja dan berusaha! Tentu nilainya akan turun kan. Uang tersebut tidak seberharga saat kamu masih sulit mendapatkannya.

Hal ini juga berlalu kalau suatu negara nekat mencetak terlalu banyak uang. Mata uang di sana malah turun nilainya. Ini karena harga barang juga ikut menyesuaikan jumlah uang yang beredar. Misalnya es cendol yang biasanya Rp10 ribu, melejit jadi Rp1 juta. Jumlah yang terlalu besar itu membuat uang jadi tidak berguna. Dulu, negara Jerman pernah merasakan kondisi ini. Kebanyakan mencetak uang membuat uang di Jerman tidak lagi berharga. Sampai-sampai banyak dijadikan pajangan di rumah, dibuang, atau dipakai menyalakan api! Gila, ‘kan…

Selain alasan-alasan di atas, mencetak uang juga tidak semudah yang dibayangkan karena untuk membuat uang baru butuh biaya produksi yang tidak sedikit. Uang yang akan dipakai jual beli harus memenuhi standar pembuatan yang ditentukan negara. Kalau uang kertas harus terbuat dari kapas kualitas terbaik, plus campuran bahan kimia agar uang tersebut awet. Nah, sudah paham kan kenapa mencetak uang baru bukanlah solusi terbaik mengatasi kemiskinan atau membayar utang negara ini?


No comments:

Post a Comment

KEBIJAKAN PIMPINAN DAERAH MEMBANGUN KABUPATEN KONSERVASI

Komitmen politik pemerintah daerah untuk membangun Kabupaten Lampung Barat berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tampak pada visi dan misi ...